NovelToon NovelToon
TANGAN IBLIS HATI MALAIKAT

TANGAN IBLIS HATI MALAIKAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Balas Dendam / Raja Tentara/Dewa Perang / Ahli Bela Diri Kuno
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dhamar Sewu

Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27Kebangkitan Sang Penghisap Jiwa

Kilatan petir hitam membelah langit meski tak ada hujan. Getaran dari lubang hitam yang terbuka memancar hingga ke akar bumi, menciptakan retakan-retakan di dinding gua bawah tanah tempat ritual barusan dilakukan. Jiang Hao berdiri di tengah kehancuran, wajahnya dilumuri amarah dan keputusasaan. Di hadapannya, Ying’er berdiri dalam ketidakpastian. Ia hidup … namun kehilangan dirinya sendiri.

“Ying’er … ini aku. Jiang Hao,” bisiknya, suara patah dan lirih.

Namun gadis itu hanya menatap kosong. “Jiang … Hao?” Ia menyentuh wajahnya sendiri, seolah memikirkan sebuah nama yang pernah penting, namun kini seperti debu yang tertiup angin.

Di sisi lain, pria berjubah hitam yang mengintai mereka sejak lama—Zhou Wan, Tetua Sesat dari Sekte Bayangan Retak—tertawa sambil mengangkat cermin kuno di tangannya. Cermin itu bergetar hebat, memantulkan bayangan hitam besar: sesosok iblis bersayap delapan yang menguap seperti asap dan mulai merasuk ke dalam tubuh Ying’er yang terbuka jiwanya karena ritual.

“Dia sekarang pintu. Dan melalui dirinya, Sang Penghisap Jiwa akan hidup kembali. Kau yang membukakan jalannya, Jiang Hao. Kau, dengan ‘cinta sucimu’!”

Teriakan Jiang Hao meledak. “Zhou Wan!!!”

Aura hitam kehijauan mengamuk dari tubuhnya, melesat seperti petir liar. Dalam sekejap, ia menebas bayangan yang melindungi tubuh Zhou Wan, mematahkan pelindung spiritualnya.

Namun, cermin itu menyerap sebagian serangan Jiang Hao, menyemburkan balik gelombang energi iblis yang memukul mundur pria bertangan satu itu hingga ia terlempar ke pilar batu.

Tubuhnya berdarah, tapi matanya tak kehilangan cahaya. Ia berdiri lagi, tubuh gemetar, tangan kanannya berkedut hebat—tangan iblis itu makin sulit dikendalikan.

Sementara itu, makhluk bersayap delapan—Sang Penghisap Jiwa—mulai mengambil bentuk fisik dari tubuh Ying’er. Sayapnya menjulur ke langit-langit gua, tubuhnya menyerupai manusia tetapi wajahnya datar seperti cermin, memantulkan ketakutan semua orang yang melihatnya.

“AKU … LAHIR KEMBALI.”

Jeritannya memecahkan stalaktit, membuat para tetua dari berbagai sekte yang memantau dari kejauhan terpaksa turun tangan.

Mu Zhen tiba-tiba melesat, melindungi Jiang Hao yang tersungkur. “Cepat! Kita harus segel makhluk itu sekarang! Kau masih bisa menyelamatkannya, Hao’er!”

Jiang Hao menatap Ying’er yang kini menjadi medium iblis. Air matanya jatuh tak terbendung.

“Aku tak akan menyegelnya … aku akan membawanya kembali!”

Ia berdiri perlahan, menatap lawan yang bukan hanya makhluk kegelapan, tapi juga gadis yang ia cintai. Lalu, dengan suara yang nyaris seperti doa, ia berkata,

“Jika satu-satunya cara untuk menemuimu adalah melangkah ke neraka … maka aku akan berjalan dengan senyuman.”

Dan ia melompat masuk ke pusaran energi kegelapan yang menyelubungi tubuh Ying’er.

Langkah ke Neraka Gelap. Sunyi. Dinginnya menusuk seperti ratusan jarum menembus tulang. Tapi Jiang Hao tidak takut. Di sinilah ia sekarang—dalam pusaran kesadaran Ying’er, tempat Sang Penghisap Jiwa membangun takhtanya.

Ia berjalan di atas tanah merah seperti darah, dengan langit kelam yang tak menunjukkan bintang atau bulan. Di sekelilingnya, bayangan menggeliat, berbisik-bisik dengan suara orang mati. Ada suara tangis anak-anak, jerit wanita, dan tawa hampa lelaki tua. Semua itu, suara jiwa-jiwa yang telah diserap oleh makhluk itu selama ribuan tahun.

Tiba-tiba, suara melodi kecapi terdengar samar—petikan yang kacau, menyayat, seolah dimainkan oleh tangan yang tak mengerti kasih sayang.

Jiang Hao mengejarnya. Napasnya memburu.

Hingga akhirnya ia menemukan Ying’er di sana. Duduk di atas takhta dari tulang belulang, wajahnya tenang, sangat tenang, tapi matanya hitam legam, tanpa kehidupan.

Jiang Hao menatap tajam, “Ying’er .…”

Ia melangkah pelan. Tapi dari sekeliling, ratusan sosok muncul. Bayangan hitam dengan wajah-wajah yang terus berubah. Mereka semua adalah kenangan buruk: bayangan ibunya yang dibakar hidup-hidup, ayahnya yang mengutuknya sebagai iblis, bahkan dirinya sendiri yang membunuh orang tanpa ampun.

“KAU BUKAN PENYELAMAT,” teriak makhluk-makhluk itu. “KAU ADALAH KUTUKAN!”

"KAU IBLIS!"

"IBLIS!"

Jiang Hao mencabut pedangnya, tapi ia tahu: ini bukan pertarungan fisik. Ia harus menyentuh hati Ying’er. Ia berjalan menembus kerumunan bayangan itu, membiarkan mereka mencakar, menggigit, dan membisikkan kebencian ke telinganya.

“Aku tahu siapa aku .… Aku tahu aku kotor, berdosa, penuh darah …” desisnya dengan napas berat.

Suara itu makin menggila. Tapi ia tetap melangkah.

“… tapi untukmu, Ying’er, aku akan jadi cahaya—meski hanya satu lilin di tengah neraka ini!”

Ia tiba tepat di depan Ying’er dan berlutut. Ia mengambil kecapi dari tangannya, dan mulai memetiknya—pelan, ragu. Ia tidak pandai memainkan alat musik. Tapi ia ingat, Ying’er pernah mengajar satu melodi pendek, lagu kecil tentang langit sore dan bunga liar.

Petikannya salah. Nada sumbang. Tapi itu … nyata.

Dan di dalam kekacauan gelap, sebuah titik cahaya muncul di mata Ying’er, berusaha membawa kembali kenangan yang semakin samar.

“Jiang … Hao?” suaranya lemah.

Bayangan iblis meraung. Sayap-sayap gelap membentang, mencoba menarik Ying’er kembali.

Namun tangan Jiang Hao telah menggenggam jemarinya.

“Pulanglah. Aku di sini. Aku akan terus bersamamu … bahkan jika dunia ini menolak. Aku akan bersamamu!”

Ying’er menangis.

Dan saat satu tetes air matanya jatuh ke tanah neraka itu, dalam sekejap tubuh Sang Penghisap Jiwa mulai retak.

Suara tangis berubah jadi dentuman. Bayangan di sekeliling mereka meraung kesakitan. Jiwa-jiwa terperangkap menjerit—bukan karena kesakitan, tapi karena kebebasan. Satu demi satu mereka menghilang, melayang ke atas, kembali ke langit.

Cahaya menyelimuti Ying’er dan Jiang Hao.

"Tidak mungkin!!"Sang Penghisap Jiwa mencoba bertahan, tapi tubuhnya hancur, meledak dalam badai cahaya putih keperakan.

---

Di dunia nyata, tubuh Ying’er terbaring tenang di pelukan Jiang Hao. Matanya terbuka, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat.

“Langit … biru …” gumamnya.

Jiang Hao menangis dalam senyum. Dunia bisa runtuh, tapi untuk saat ini, ia telah membawa pulang cinta yang hilang.

"Aku bersamamu," bisik Jiang Hao.

----

Bau belerang masih menggantung di udara saat cahaya fajar menembus puncak Gunung Langit Kelima. Kabut belum sepenuhnya sirna, dan udara pagi terasa berat—seolah seluruh dunia menahan napas, menunggu bencana berikutnya.

Jiang Hao duduk bersila di samping Ying’er yang tertidur di atas ranjang batu dalam paviliun kecil. Nafasnya pelan, damai, tapi tubuhnya masih lemah. Luka akibat terikat dengan Sang Penghisap Jiwa belum sembuh sepenuhnya, meski jiwanya telah dibebaskan.

Jiang Hao mengelus lembut rambutnya, lalu berdiri.

Ia tahu: waktu mereka tidak banyak.

Langkah kaki terdengar dari luar. Bukan satu, tapi puluhan.

Pintu paviliun terbuka. Di sana berdiri para tetua Sekte Langit Petir, lengkap dengan jubah ritual dan senjata pusaka di tangan mereka. Di barisan terdepan—Zhou Wan. Matanya tak menunjukkan kelelahan. Hanya tekad dingin.

“Kau telah membawa kembali Ying’er,” ujar salah satu tetua. “Itu kami akui .… Tapi dengan itu, kau juga telah mengguncang tatanan langit dan membangunkan entitas yang tak seharusnya disentuh.”

Jiang Hao tidak menjawab.

Tetua lain berbicara, suaranya tajam, “Dan yang lebih buruk, kau membawa ajaran sesat. Teknik jiwa yang telah lenyap dari kitab terlarang, kau bangkitkan kembali.”

“Berapa lagi yang harus mati karena ambisimu?”

Jiang Hao melangkah maju, menatap mereka semua tanpa gentar.

“Jika melindungi orang yang kucintai adalah dosa … maka aku akan menanggungnya. Tapi jangan berpura-pura kalian bersih!"

Zhou Wan menyipitkan mata. “Kau lupa dirimu siapa, anak haram. Kau hanya alat dalam skema besar ini. Dan alat yang membangkang … hanya layak dihancurkan.”

Ia mengangkat tangan.

Langit berubah gelap. Petir menyambar, membentuk tombak cahaya yang melayang di udara, diarahkan pada Jiang Hao.

Namun sebelum tombak itu meluncur, suara lembut memecah keheningan.

“Berhenti.”

Ying’er berdiri di ambang pintu, tubuhnya masih lemah, tapi matanya bersinar dengan kejernihan yang belum pernah terlihat sebelumnya. Ia menatap para tetua, satu per satu.

“Selama ini kalian menyebut diriku ‘Calon Dewi’…. Tapi kalian tak pernah memperlakukanku seperti manusia. Kalian membiarkan jiwaku dicabik-cabik, demi ramalan, demi keseimbangan, demi kekuasaan kalian sendiri.”

Ia berjalan pelan ke sisi Jiang Hao, lalu menggenggam tangannya.

“Jika Jiang Hao adalah iblis, maka aku akan menjadi iblis bersamanya. Tapi aku tahu … hatinya lebih bersih dari semua kalian yang berdiri di sini.”

Suasana menjadi tegang. Beberapa murid yang berdiri di belakang mulai gelisah. Keraguan mulai tumbuh. Kebenaran, saat diucapkan dari mulut Ying’er, memecah tembok kepercayaan yang selama ini ditanamkan oleh para tetua.

Zhou Wan maju. “Kau memilih dia? Daripada jalan takdir?”

Ying’er menatapnya tajam. “Aku memilih kebenaran. Dan kebenaran tidak pernah berada di balik jubah dan sumpah kosong.”

Tiba-tiba, tombak petir melesat—bukan ke arah Jiang Hao, tapi ke Ying’er.

Refleks, Jiang Hao menarik Ying’er ke belakang, dan tubuhnya sendiri menerima hantaman itu. Tubuhnya terlempar, darah menyembur dari mulutnya.

“JIANG HAO!!” teriak Ying’er, pilu.

Tubuhnya menggigil, dan cahaya aneh mulai mengalir dari matanya.

Retakan cahaya muncul di langit. Sebuah gerbang terbuka.

Bukan ke dunia iblis, bukan pula ke surga—melainkan tempat asal energi murni jiwa, tempat semua roh berasal. Suara nyaring terdengar dari balik celah: suara yang menakutkan bahkan bagi para tetua.

“Dia … pembawa kunci keseimbangan …” bisik salah satu tetua gemetar, ketakutan.

Jiang Hao batuk darah, tapi tersenyum. “Sepertinya … ini belum berakhir.”

To be continued ✍️

1
Daryus Effendi
pegunungan menjulang tinggi dan di tutupi kabut yg tebal
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh
Dhamar Sewu: wkwk, 🙈. Maaf, bos. Untuk tambahan jumlah kata, masukan diterima 😁
total 1 replies
spooky836
sampai bila2 pun penulis dari cerita plagiat ni,tak mampu nak teruskan. cerita ini tamat di sini. kerana mc otak kosong. cerita hasil plagiat. benar2 bodoh dn sampah.
spooky836: baguslah. jangan sampai mampus di bab 26 tu. banyak dh karya lain terbengkalai macam tu je.
Dhamar Sewu: Plagiat di mana, kak? Karya siapa?
Cerita ini masih bersambung 😁oke.
total 2 replies
Abah'e Rama
lanjut 💪💪
Dhamar Sewu: Semoga suka, kak. Siap 💪🔥
total 1 replies
Zainal Tyre
coba simak dulu ya
Dhamar Sewu: Semoga suka, bos!
total 1 replies
Suki
Terinspirasi
Dhamar Sewu: Semangat, Kak 💪 hehe 😊
total 1 replies
PanGod
mantap bang. jangan lupa mampir juga ya bang🙏🏻
Dhamar Sewu: Siap, Kak. Terimakasih sudah berkunjung. Nanti setelah download aplikasinya, masih bingung ini 😁.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!