Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Cemburu
Begitu gerbang besar kastil Ceaseton terlihat di kejauhan, kelegaan terasa menggantung di udara. Hujan rintik yang sempat membasahi perjalanan mereka perlahan berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang samar. Mereka disambut oleh para penjaga gerbang dan beberapa ksatria lain yang berjaga. Orion memimpin kelompok mereka memasuki halaman utama kastil.
Begitu kaki Kate menyentuh tanah, rasa lelah luar biasa menghantam tubuhnya. Ia turun perlahan dari kuda, sembari berusaha menahan rasa pusing yang masih membekas. Tanpa banyak bicara, ia mengucapkan salam singkat lalu memutuskan untuk segera kembali ke kamarnya. Langkahnya agak goyah, tapi tetap mantap. Di sampingnya, Danzzle cepat-cepat menyusul.
"Aku harus melihat keadaanmu besok. Kau perlu menstabilkan Arcanemu dulu sebelum berpikir untuk meningkatkan kekuatanmu lagi," kata Danzzle dengan suara lembut.
Kate menoleh lelah, tetapi mengangguk kecil. Ia tahu Danzzle benar. Tubuhnya masih terasa kosong, dan Arcane di dalam dirinya masih terasa bergolak tidak stabil, seolah berusaha mencari bentuk yang baru.
"Baiklah," jawab Kate lirih.
Sesampainya di lorong menuju kamarnya, Danzzle menghentikan langkah. Ia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi ramuan berwarna biru keunguan dan menyerahkannya pada Kate.
"Minum ini sebelum tidur," kata Danzzle. "Ini akan membantumu menenangkan arus Arcanemu."
"Terima kasih, Danzzle," ucap Kate menerima botol itu dengan tangan gemetar ringan.
Danzzle tersenyum tipis, menepuk ringan bahu Kate sebelum membiarkannya pergi ke kamarnya.
Di sisi lain halaman, dari bawah kanopi kayu, Orion berdiri diam. Matanya mengikuti setiap gerak Kate dan Danzzle. Bagaimana Danzzle berbicara dengan lembut, bagaimana Kate tampak nyaman bersama pria itu. Ada rasa asing mencengkram hatinya, sebuah rasa yang sulit ia namai.
Sejak perjalanan itu, sejak Kate bersandar di dadanya, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang tidak ingin ia akui. Orion mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, mencoba menepis perasaan itu. Tetapi tatapan matanya tetap tertuju pada punggung mungil Kate yang perlahan menghilang di balik lengkungan lorong batu.
***
Di dalam kamarnya, Kate menutup pintu perlahan dan menyandarkan tubuh di balik pintu. Tangannya masih memegang botol ramuan dari Danzzle. Ia menatap cairan itu sesaat, sebelum akhirnya tersenyum kecil. Ia tau seberapapun keras ia berusaha terlihat kuat di depan semua orang, ia tetap membutuhkan bantuan.
Dengan hati-hati, Kate membuka botol itu dan meneguk isinya perlahan. Rasa hangat segera menyebar di dalam tubuhnya, menenangkan denyutan liar Arcanenya sedikit demi sedikit. Di luar jendela, langit malam menggantung tenang. Sedangkan di dalam hati Kate, badai yang belum selesai meski perlahan mulai mereda.
***
Keesokan paginya, matahari baru saja naik, membiaskan sinar keemasan lembut di sepanjang dinding kastil. Kate bangun lebih awal dari biasanya. Meski tubuhnya masih terasa berat, ia memaksa dirinya bergerak. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak ingin membiarkan kelemahan menguasai lebih lama.
Ia menyelinap keluar, melewati lorong-lorong sepi, menuju tempat yang hanya ia dan Danzzle yang tahu, sebuah rumah kaca tua tersembunyi di balik salah satu tembok luar kastil, dipenuhi tanaman liar dan suara gemericik air dari kolam kecil. Saat Kate tiba, Danzzle sudah menunggunya, berdiri di bawah bayang-bayang pohon besar sambil mengikat rambutnya yang agak berantakan.
"Datang juga," sapa Danzzle sambil tersenyum tipis.
Kate membalas dengan anggukan kecil, mengatur napasnya. Tanpa banyak basa-basi, Danzzle segera mengarahkan Kate ke tengah rumah kaca.
"Untuk sekarang, kita fokus pada satu hal dulu. Menstabilkan Arcanemu," kata Danzzle.
Kate mengangguk, meski dalam hatinya ada sedikit gugup. Energi dalam dirinya terasa masih bergolak, seperti lautan badai yang sewaktu-waktu bisa meledak.
"Rasakan Arcanemu, jangan lawan. Dengarkan iramanya," kata Danzzle pelan, suaranya seolah menenangkan.
Kate memejamkan mata, mengikuti instruksi itu. Danzzle berdiri di dekatnya, hanya sejauh satu langkah, mengawasi dengan saksama. Gelombang energi dalam tubuh Kate terasa liar pada awalnya, mengalir ke segala arah tanpa kendali. Namun perlahan dengan bantuan panduan suara Danzzle yang lembut, ia mulai menarik kembali arus itu ke dalam pusat tubuhnya. Ke dalam inti Arcane miliknya yang terluka.
Waktu berjalan tanpa mereka sadari. Danzzle sesekali membantunya dengan sedikit dorongan Arcane dari luar, mengalirkan energi hangat seperti angin musim semi yang menenangkan badai di dalam Kate.
Matahari kian meninggi, dan keringat mulai membasahi dahi Kate. Namun di balik rasa lelah itu, sudah ada perubahan. Energi Arcanenya mulai menunjukkan tanda-tanda kestabilan. Saat Danzzle akhirnya mengangkat tangannya, menghentikan sesi itu. Kate membuka matanya sedikit terkejut karena ia merasa lebih ringan dan Arcanenya lebih terkendali.
"Hasil yang bagus. Kau masih butuh latihan rutin, tapi hari ini cukup," puji Danzzle sambil tersenyum kecil.
"Terima kasih, Danzzle," ucap Kate menghela napas lega, seulas senyum tipis terukir di bibirnya.
Sebelum mereka sempat berbicara lebih jauh, bunyi dentang bel pelatihan dari lapangan utama terdengar samar. Memanggil seluruh ksatria untuk berkumpul. Danzzle melirik ke arah suara itu dan kemudian kembali memandang Kate.
"Kita harus pergi, kalau tidak mau dicurigai," kata Danzzle sambil mengulurkan tangan.
Kate menerima uluran itu, dan mereka berdua bergegas meninggalkan tempat rahasia mereka, kembali menyusuri lorong-lorong batu menuju lapangan latihan. Bersiap untuk menghadapi hari baru di Ceaseton, dengan semangat yang perlahan kembali tumbuh dalam hati Kate.
Kate dan Danzzle tiba di lapangan latihan bersama. Suasana di sana sudah cukup ramai. Para ksatria berkumpul dalam barisan rapi, pelindung dada mereka berkilat diterpa matahari pagi menjelang siang. Kate melangkah maju, berniat bergabung ke dalam formasi seperti biasa. Namun sebelum ia sempat mengambil tempat, suara dingin Orion menghentikannya.
"Kate," panggil Orion, suaranya terdengar tegas.
Kate berhenti, menoleh ke arah Orion yang menghampirinya dengan langkah mantap.
"Kau belum pulih sepenuhnya. Untuk hari ini, kau cukup mengamati dari pinggir," lanjut Orion, sembari menatap Kate dengan mata coklat gelapnya yang serius.
Kate membuka mulut, ingin membantah. Namun tatapan Orion terlalu tegas untuk dibantah. Ia menghela napas pendek, menundukkan kepala dalam kekecewaan yang tidak bisa disembunyikan.
"Baik," gumam Kate pelan.
Dengan langkah yang jelas mengandung berat di hatinya, ia berjalan menuju tepi lapangan. Di sana Kate duduk di bawah bayang-bayang pohon kecil, mengeluarkan seruling emasnya. Sambil menonton latihan yang dimulai di hadapannya, Kate memainkan seruling itu perlahan. Nada-nada ringan mengalun, tak mengganggu tapi cukup untuk menenangkannya. Ia mulai lagi berlatih menstabilkan Arcanenya lewat alunan melodi, memasuki alam jiwanya dengan penuh konsentrasi.
Sementara itu dari tengah lapangan, tanpa sengaja Orion melirik ke arah Kate. Ia melihat gadis itu duduk diam, meniup seruling emas yang berkilau di tangan, rambutnya tertiup lembut oleh angin pagi. Ada bayang tipis kekecewaan di wajah Kate, jauh dari ekspresi datar dan sendu yang biasanya mendominasi. Untuk pertama kalinya, Orion melihat sisi lain dari Kate. Sisi yang tampak lebih hidup dan lebih manusiawi.
Tanpa bisa menahan diri, sudut bibir Orion terangkat tipis dalam senyum yang nyaris tidak kentara. Senyuman kecil yang hanya sesaat, sebelum ia kembali menatap ke depan dan memberi aba-aba pada ksatria-ksatria lainnya untuk melanjutkan latihan. Jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang bergetar halus. Sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak mau terlalu dalam menyelaminya.
***
Latihan di lapangan berjalan semakin intens. Orion berpasangan dengan Lyra dalam sesi sparring, keduanya bergerak cepat, siluet mereka berputar, menangkis, dan menyerang dalam harmoni seperti yang sudah biasa mereka lakukan. Hanya saja tak seperti biasanya, Lyra merasa hatinya dipenuhi gelombang emosi yang sulit dikendalikan.
Setiap kali matanya melirik ke arah Orion, ia melihat pria itu walau tetap fokus sesekali mencuri pandang ke arah Kate yang duduk di tepi lapangan. Dan saat Lyra melihat senyuman kecil yang sempat muncul di wajah Orion saat memandangi Kate, rasa panas mengalir di dadanya. Rasa cemburu itu menyusup menyesakkan dada.
Saat ada celah ketika mereka bertukar posisi dalam latihan, Lyra mengayunkan serangan ke samping. Tidak mengarah ke Orion, melainkan ke arah tempat Kate duduk. Gerakannya dibuat tampak seolah kehilangan kendali, seakan tidak sengaja. Kate yang tengah larut dalam permainan serulingnya, tidak menyadari ancaman itu.
Orion yang melihat lintasan serangan Lyra dengan cepat bereaksi. Dalam sekejap, ia berbalik dan menghadang serangan itu dengan tubuhnya sendiri, memblokir energi yang seharusnya menghantam Kate.
Brak!
Suara benturan keras terdengar. Orion bergeming, meski luka memerah tampak muncul di lengannya yang terkena hantaman. Ia menahan rasa sakit itu dengan wajah nyaris tanpa ekspresi, hanya sedikit mengernyit. Kate yang tersentak oleh suara itu segera menghentikan serulingnya, berdiri dengan panik. Matanya membelalak saat melihat Orion terluka.
"Orion!" seru Kate.
Lyra yang menyadari apa yang terjadi, segera berlari mendekat menampilkan wajah penuh penyesalan.
"A-aku... Maaf! Aku tidak sengaja!" kata Lyra tergesa-gesa, berusaha membela diri.
Mendengar itu Orion menatap Lyra dengan dingin, tatapannya keras bagaikan batu. Tak ada sedikit pun kehangatan dalam sorot matanya.
"Latih kendalimu," ucap Orion pendek, suaranya datar tanpa emosi.
Ia lalu berbalik meninggalkan Lyra yang terdiam, menahan rasa malu, cemburu, dan marah yang bercampur aduk di hatinya. Orion mendekati Kate yang masih menatapnya dengan penuh kekhawatiran.
"Aku baik-baik saja," kata Orion cepat sebelum Kate sempat bertanya.
Kate tampak masih ragu, kemudian ia mengangguk perlahan. Sementara itu, Lyra mengepalkan tangannya erat-erat. Ia tidak pernah merasa sefrustrasi ini melihat perhatian Orion, yang dulu hanya untuk tim dan tugas, sekarang perlahan tercuri oleh gadis yang baru datang. Dan untuk pertama kalinya, Lyra merasa ketakutan. Takut kehilangan satu-satunya orang yang diam-diam ia cintai.
Danzzle yang berada di tepi lapangan segera berjalan mendekat, begitu melihat luka di lengan Orion. Dengan gerakan tenang, ia menarik lengan pria itu dan mulai mengobatinya di tempat, tak jauh dari Kate yang masih berdiri di pinggir lapangan.
Kate memperhatikan keduanya dengan seksama. Matanya menatap lengan Orion yang terluka, dan sesekali ia mencuri pandang ke wajah Orion yang tetap tenang walaupun jelas terlihat bahwa lukanya cukup parah. Di tengah konsentrasinya itu, Kate tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah bisikan lembut menghampiri telinganya, nyaris seperti angin.
"Jangan dekat dengan dia..."
Kate terkejut, matanya membelalak kecil. Ia menoleh cepat ke sekeliling, tetapi semua orang masih sibuk berlatih dan tak ada yang memperhatikannya.
"Kau hanya milikku, Kate..."
"Aku tidak suka dia..."
Suara itu, ia mengenal suara itu. Suara Damian. Tubuh Kate langsung menegang, rasa dingin merayap dari ujung kaki hingga kepalanya. Kepalanya berdenyut keras, membuatnya sedikit terhuyung. Tangannya gemetar, wajahnya pucat.
Orion yang baru saja selesai diperban oleh Danzzle langsung menyadari perubahan itu.
"Kate?" panggil Orion dnegan nada suara penuh kekhawatiran.
Melihat gadis itu hampir oleng, Orion bergerak cepat, menangkap tubuh mungil itu sebelum jatuh. Kate bersandar lemah di dada Orion, napasnya pendek dan tidak teratur.
"Kau harus kembali ke kamarmu," kata Orion, suaranya tegas namun lembut.
Ia menopang tubuh Kate dengan hati-hati. Kate ingin membantah, mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Namun tubuhnya tidak mau berkompromi. Gemetar halus di ujung jemarinya dan rasa tidak nyaman di dadanya membuatnya tidak bisa melawan.
"Jangan keras kepala," lanjut Orion sambil menarik tubuh Kate lebih dekat, seolah melindunginya dari dunia luar.
Dengan langkah mantap Orion membimbing Kate keluar dari lapangan, meninggalkan suara riuh para prajurit yang berlatih, dan tatapan tajam Lyra yang masih membakar di kejauhan.
***
Di tengah kegelapan abadi dunia Nether, berdiri megah sebuah kerajaan yang diselimuti suasana kelam. Pilar-pilar hitam yang kokoh menjulang tinggi di dalam ruangan luas, sementara dinding-dinding memiliki ukiran yang memancarkan kilauan ungu samar, memberikan sentuhan misterius pada kegelapan yang pekat. Di jantung kerajaan yang megah dan gelap ini, bertengger sebuah tahta batu yang diukir dengan lambang-lambang kuno.
Di atas singgasana itulah Damian bersemayam, bersandar dengan santai, satu kaki terlipat di atas lutut yang lain. Di tangannya, sebuah kristal kecil berwarna merah berdenyut perlahan, seolah-olah mengikuti detak jantung seseorang di kejauhan. Dan ketika gelombang energi halus terhembus dari dunia atas, kristal itu bergetar ringan di tangannya. Damian membuka matanya sepenuhnya. Senyum tipis dan berbahaya terbit di sudut bibirnya. Ia bisa merasakan energi Kate dan itu jauh lebih kuat dari sebelumnya.
"Bagus sekali, Kate kecilku," gumam Damian pelan. Suara itu seperti bisikan dingin yang bergema di seluruh ruangan.
Kekuatan di dalam tubuh Kate mulai berkembang, perlahan, namun pasti. Dan yang terpenting, ikatan antara dirinya dan Kate semakin erat. Damian bangkit dari tahtanya, gerakannya anggun mengintimidasi. Sayap hitamnya yang luas terbentang sejenak, menyapu debu di lantai.
Ia mengangkat tangan, memanggil seseorang. Dari balik bayang-bayang, seorang pria berseragam gelap muncul dan berlutut satu lutut di hadapannya. Sosok ini adalah tangan kanannya, seorang ksatria Nether yang telah lama menjadi alat setia Damian.
"Bersiaplah, kita akan ke Overworld. Sudah saatnya mengawasi Kate dari dekat. Jangan biarkan dia jatuh ke tangan mereka," perintah Damian, suaranya terdengar dingin.
"Seperti yang Anda perintahkan, Tuanku," jawab ksatria itu dengan tunduk penuh hormat.
Damian memutar cincin hitam di jarinya perlahan, matanya masih menatap ke arah tak terlihat, arah di mana Kate berada. "Sudah waktunya," pikirnya.
Sudah waktunya untuk menuntaskan ikatan mereka. Sudah waktunya Kate menjadi miliknya sepenuhnya seperti yang sudah ditakdirkan. Dengan langkah ringan, Damian berjalan ke balkon tinggi di ujung ruangan, membiarkan angin Nether yang berat dan panas menerpa wajahnya. Senyumnya bertambah lebar saat ia membayangkan pertemuan mereka yang sudah sangat dinantikannya dan memastikan Kate tidak akan bisa menolak lebih lama lagi.