Ketidaksengajaan serta pengorbanan dalam sebuah kecelakaan membuat Alena langsung meninggal dan malah mengantarkan nyawa gadis itu dengan bertransmigrasi ke dalam salah satu novel favoritnya. Alena hanya menjadi adik dari salah satu teman protagonis pria—figuran. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, tanpa keterlibatan novel, dan tanpa peran.
Tapi, plotnya hancur karena suatu alasan, hidupnya tidak semulus yang dia bayangkan. Dia membantu masalah semua tokoh, namun di tengah itu, hidupnya tidak aman, ada orang yang selalu ingin mencelakainya.
____
"Aku memang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan membiarkan mereka menderita seperti alurnya."—Alena.
~•~
note:
- author 'I Am A Nobody' di wp dan di sini sama
- Tokoh utama cerita ini menye-menye, lebay, dan letoy. Jadi, ga disarankan dibaca oleh org yg suka karakter kuat dan ga disarankan untuk org dewasa 20+ membacanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Inisial Z.A?
"Kak! Ada tukang es krim!" pekik Alena sambil menunjuk ke suatu arah.
Ravael mengikuti arah telunjuknya dan menyahut. "Iya, terus kenapa?
"Ihh! Beli, lah," rengek Alena melihat ketidakpekaan kakaknya.
"Baiklah, mohon ditunggu ...."
Alena terkekeh mendengar nada formal kakaknya. Saat ini dia dan Ravael sedang berada di taman yang hanya 15 menit berkendara dari rumah. Alena tidak pernah berjalan-jalan keluar kecuali ke sekolah, dan terakhir ke rumah Audrey dan tukang bakso ketika bersama Andreas. Jadi, ketika tadi di kamarnya, dia berpikir untuk berjalan-jalan sore.
Alena bisa melihat banyak orang di taman ini, namun kebanyakan anak kecil. Tidak sedikit pula orang yang berdagang menambah keramaian.
"Kak."
Alena yang sedang memandang ke segala arah, langsung menoleh arah gadis kecil yang sangat imut di samping bangku panjang yang ia duduki.
Matanya melembut, dan bibirnya melengkung manis. "Ada apa, Dek?"
Gadis yang melihat kakak cantik itu tersenyum, lebih bersemangat. "Em ... ini buat kakak."
Gadis kecil itu menyodorkan setangkai bunga putih yang sempat di sembunyikan di belakang punggungnya.
Alena tersenyum lebar sehingga matanya menyipit seperti bulan sabit. "Beneran buat kakak?"
"Hm ...." Gadis kecil itu mengangguk malu-malu, menggoyangkan badan kecilnya ke kanan dan ke kiri.
Alena terkekeh gemas seraya mengambil bunganya. "Aaaa ... makasih ...."
"Tapi ... ini bukan dari aku, Kak."
Alena berkedip bingung. "Kalo bukan dari kamu, terus dari siapa dong?"
"Dari dia," tunjuknya ke arah mobil hitam yang berjarak sekitar 20 meter dari samping.
Alena menoleh dan hanya mengerutkan kening. Dia tidak bisa melihat karena jendela mobilnya tertutup rapat. "Sia—"
Gadis kecil itu sudah berlari menjauh.
Bahu Alena merosot. "... pa"
Lalu pandangan Alena kembali pada bunga mawar putih di tangannya. Tidak ada duri satu pun, batangnya terbungkus oleh plastik yang dirangkai indah. Dia membolak-balikkan bunga itu sampai di mana dia menemukan sebuah kertas kecil yang tergulung. Ia membukanya dan menemukan dua huruf.
'Z.A.'
Alena membolak-balik selembar kertas itu, namun hanya dua huruf itu saja. Dia mengangkat bahu.
"Itu apa, Dek?"
Pertanyaan Ravael yang tiba-tiba membuat Alena menoleh. Dia akan membuka mulut menjawab pertanyaannya, namun matanya teralihkan pada es krimnya yang terdapat di kedua tangan Ravael. Mulutnya tertutup kembali. Alena langsung mengambilnya tanpa menjawab pertanyaan Ravael.
Ravael yang melihat itu, terlihat kesal dan duduk di samping Alena. Lalu dia dengan jelas melihat bunga mawar putih di tangan kiri Alena
"Dek? Itu mawar dari siapa?" Ravael kembali bertanya penasaran kepada Alena yang sibuk menjilat es krim.
Alena menunduk melihat kertas di tangannya. "Oh? Itu dari seseorang."
Ravael terlihat lebih kesal. "Maksudnya ... siapa yang ngasih?"
"Aku juga gak tau, Kak," jawabnya acuh tak acuh.
Urat-urat di pelipis Ravael terlihat muncul. "Terus ... gak mungkin kan bunga itu tiba-tiba ada di tangan kamu tanpa ada yang ngasih?" jengkel Ravael tersenyum tertahan kelewat kesal.
Alena yang mengerti maksudnya, mengangguk polos. "Iya ... itu dari gadis kecil, tapi dia udah pergi."
Ravael menghela nafas. Dia takut ada seseorang yang jahat yang melukai Alena lewat barang itu. Ravael mengangguk dan tidak memperpanjangnya lagi.
Beberapa meter dari taman, ada seorang pria yang menjadi pengirim bunga itu di dalam mobil hitam. Tatapannya lurus ke arah Alena yang asik memakan es krimnya.
Dia sendiri tidak tahu penyebabnya, yang pasti ia merasa kesal saat tiba-tiba ada lelaki remaja di samping gadis itu. Namun, saat matanya teralihkan pada Alena lagi, ekspresi kesalnya berkurang.
Di matanya, wajah Alena terlihat manis dan imut, apalagi di sekitar mulutnya terlihat belepotan. Sedangkan bunganya ada di tangan kiri yang masih Alena genggam. Dari tadi, dia hanya memperhatikan gadis itu dari awal sampai akhir.
Sudut mulutnya terangkat. "Cari informasi tentang gadis itu, dan ... cari tahu juga hubungan dengan pria di sampingnya."
Sopir mobil sekaligus bawahan pria itu, mengangguk mengerti. "Baik, Tuan muda."
***
"Yeay!! Kita sekelompok!"
Pekikan heboh Dhita sudah terbiasa di kelas, jadi sudah tidak aneh lagi. Mereka hanya bisa menutup telinga yang berdengung.
Sudah hampir sebulan lebih Alena beradaptasi di sekolah, dengan teman sekelas pun dia sudah saling mengenal dan menyapa jika berpapasan.
Perkembangan Audrey adalah dia bisa selalu tersenyum walau tipis, seperti sekarang saat mendengar pekikan Dhita, tapi hanya kepada Dhita dan Risha. Kepada orang lain selain ketiga sahabatnya, Audrey masih sangat dingin.
Alena hanya bisa memaklumi. Sekarang juga entah kenapa, sikap Audrey menjadi cuek kepada Andreas. Malah berbalik pada ketiga sahabatnya, justru lebih baik.
Sudah cukup lama pula ketika kejadian di lapang. Mereka bertiga tidak pernah mengganggu Alena lagi, apalagi dengan perlindungan keenam bodyguard, dan ketiga sahabatnya. Alena sangat aman.
Di sisi lain, topeng Latasha juga sedikit retak walaupun dia masih membangun citra bagus selain di hadapan Alena dan yang lainnya. Tidak ada yang pernah mengusik Alena lagi. Mereka yang tidak menyukai, iri, serta cemburu kepada Alena, hanya menahan untuk tidak melakukan apapun.
Alena dan teman-temannya juga sering makan bareng dengan keenam cowok itu di kantin. Selain itu, Alena menjadi terbiasa mendapat perhatian dari teman-teman kakaknya, termasuk Andreas, Rafka dan Deva. Yang melihat juga, sudah terbiasa.
Radhit semakin gencar mendekati Dhita, jadi sekarang Dhita sedikit luluh. Begitu pula Alvin yang mulai pdkt dengan Risha.
Sikap Andreas juga tidak dingin lagi kepada Audrey, justru sekarang sebaliknya. Terkadang, Andreas mengajak mengobrol terlebih dahulu yang dibalas singkat oleh Audrey.
Saat Ini, di kelas X IPA II sedang berlangsungnya pelajaran biologi. Guru biologi membagi kelompok masing-masing empat orang dalam satu kelompok. Sangat kebetulan Alena dan ketika sahabatnya satu kelompok.
Tugas mereka adalah mencari tahu dan menulis tentang organ-organ yang terdapat dalam diri manusia serta fungsi atau penjelasannya. Tentu saja itu tidak sedikit, dan mereka harus menyelesaikannya hari Senin. Banyak murid yang mengeluh, namun di sini, hanya kelompok Alena yang bersemangat.
"Kita kerja kelompoknya di rumah lo aja, Drey. Gimana?" usul Risha
Dhita memekik setuju. "Iya, Drey! Kita sekalian main bareng, make up bareng, belanja bareng, juga tidur bareng! Bakal seru!" Ucapan Dhita melantur ke mana-mana.
Mereka bertiga hanya memutar bola matanya melihat wajah antusias Dhita, namun kata-kata Dhita tidak buruk, mereka bisa menghabiskan waktu bersama karena jarang terjadi.
"Oke," jawab Audrey datar. Tapi hatinya sangat bersemangat jika membayangkan ucapan Dhita bersama ketiga sahabatnya.