Hulla ... selamat datang di novel ketigaku❤❤❤
Masih berkaitan dengan dua novelku terdahulu ya, semoga ngga bosen😆 baca dulu biar ngga bingung✌
~Menikahi Bos Mantan Suamiku~
~Kekasihku, Asisten Adikku~
"Kamu adalah hal yang paling mustahil untukku. Bahkan aku tidak percaya semua kata-katamu, sejak aku mulai mengenalmu!" Jenny Putri.
"Cinta itu seperti gigitan nyamuk. Ngga akan terasa sebelum nyamuk itu kenyang mengisap darahmu, lalu terbang pergi. Setelah itu kamu baru merasa gatal, bahkan kesal karena tidak berhasil menangkapnya. Kuharap kamu bisa menyadari sebelum nyamuk itu pergi dan hanya meninggalkan bekas merah yang gatal di dirimu." Zabdan Darrenio.
Demi menyelamatkan Jen, Darren rela mengaku sebagai calon suami Jen. Meskipun Jen selama ini tidak pernah menganggap Darren sebagai teman melainkan musuh. Karena sejak kecil, Darren selalu menjahili Jen, sehingga Jen tidak menyukai pria tersebut. Bagaimana kisah pasangan absurd ini? Yuk simak sampai akhir ...
Picture by Canva
Edited by me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikahi Musuhku
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Ananda Zabdan Darrenio bin Rendi Wicaksana dengan anak perempuan saya, Jenny Putri Atmaja binti Arian Atmaja dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan uang tunai tiga juta seratus delapan puluh ribu rupiah dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Jenny Putri Atmaja binti Arian Atmaja dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan uang tunai tiga juta seratus delapan puluh ribu rupiah dibayar tunai."
"SAH ...!" Seru tak kurang dari sepuluh orang teman Darren yang ia undang untuk menjadi saksi pernikahan mereka di ikuti oleh tamu undangan yang jumlahnya terbatas.
"Alhamdulillah ...," gumam Darren. Syukur yang sungguh keluar dari dalam hatinya. Sungguh-sungguh ia menyiapkan diri saat meminta Jen kepada Harris, satu hari setelah kujungan Jen ke rumah Darren. Yang membuat hati Darren mengkerut sesaat adalah ketika Harris meminta kesanggupan Darren.
"Dalam minggu ini, kapan kau ada waktu untuk menghalalkan Jen?" ucap Harris waktu itu. Senang? Boro-boro. Rasanya seperti tubuhmu berpisah dari nyawa beberapa detik. Lumpuh dan kosong. Lantas satu hari dipenghujung bulan adalah pilihan yang ia jatuhkan.
Tak heran bila Darren mengucap hamdalah saat ini, mengingat jumpalitan dan bingungnya menyiapkan pernikahannya seorang diri. Meski kedua belah pihak keluarga mempermudah, tetapi persiapan menikah itu sangat susah. Jadi ketika ada yang bilang menikah itu mudah, itu bohong.
Senyum Darren tak pudar dari sudut bibirnya, ia melupakan sejenak perjanjian yang ia buat dengan Jen. Tetapi, entah itu setahun, sebulan, seminggu, sehari, sejam, semenit, bahkan sedetik sekalipun, memiliki Jen adalah tujuan hidupnya, sehingga ia tetap melakukan semua sepenuh hati. Meski ia tak menyangka akan secepat ini. Pikirnya malah bisa memiliki Jen ketika Jen menjadi janda atau ketika sudah renta.
Satu persatu dokumen ia bubuhi tanda tangan, lalu segala macam rangkaian acara pernikahan yang hanya singkat-singkat saja mereka lakukan. Kecuali ketika ia menyematkan cincin di jari manis Jen dan mengecup kening wanita itu, ia lakukan berlama-lama.
"You're mine, Jen! Finally!" begitu bisiknya di atas kening Jen, yang dibalas dengan remasan keras di lengan Darren. Janjinya, tak akan mudah kulepas dirimu, Jen! Ahay😆
Jen dengan balutan kebaya dadakan, tetapi tetap sangat indah dan sempurna. Jen terlihat dewasa dan segar dengan lipstik merah cerah sedikit kontras dengan bajunya berwarna putih seperti salju. Tak ada hiasan kepala hanya veil kecil bertabur mutiara bertengger di atas rambut yang di sanggul. Rambutnya sengaja dibiarkan menjuntai sedikit, menambah kesan ayu gadis itu. Ia tak kalah sumringah saat ini. Kalian tahu bagaimana rasanya jadi pemenang? Itu yang Jen rasakan sekarang. Semua kembali normal baginya.
"Cie ... yang akhirnya sah!" Jabir sebagai jubir genk mereka ketika mereka memprovokasi musuh, termasuk Jen, maju terlebih dahulu menyelamati mereka berdua.
"Pake jarang goyang lu Ren?" timpal salah seorang teman Darren bernama Bisma. Dia sudah menikah tetapi ditinggalkan oleh istrinya.
"Jaran goyang, bege!" Jabir menoyor kepala temannya itu. "Kalau jarang goyang, itu mah elu!"
Ucapan Jabir langsung disambut dengan ledakan tawa yang membuat seluruh tamu menoleh.
"Sialan lu!" Bisma seketika bermuka masam. Ia berlalu dengan kesal setelah menyalami Darren dan Jen.
Darren hanya cengar cengir kesenangan menanggapi ocehan sahabatnya. Sementara Jen, tak sungkan bermasam muka kepada rekan-rekan Darren karena baginya, mereka adalah musuh abadi.
"Ngapain sih, kamu bawa serdadumu kemari? Mengotori mata saja!" desis Jen ketika mereka sudah duduk di pelaminan sederhana dengan backgroud rangkaian bunga besar yang melingkar.
"Mereka sebagai saksi kalau aku berhasil menaklukkan Jen yang galak," balas Darren sambil menyisihkan rambut Jen yang rasanya mengganggu mata Darren untuk menikmati kecantikan istrinya.
Buket bunga kecil ditangan Jen berhasil menimpuk kepala Darren. Bibir Jen maju dengan sebuah gerutuan kecil terdengar.
"Jaga sikap, Hani ... kamu seorang pengantin sekarang," kekeh Darren. Ia mengedipkan sebelah matanya dengan riang.
"Ingat, hanya satu tahun! Jadi ngga usah terlalu menghayati!" sungut Jen sambil menghadap kembali ke depan.
"Kau juga harus ingat, aku hanya akan menikah sekali dan itu denganmu!" ucap Darren dari sudut bibirnya.
"Terserah saja!" Jen berpaling usai menyuguhi Darren ekspresi yang kesal.
Darren terkekeh, tidak peduli apa kata Jen, yang pasti ia akan membuat Jen hanya bisa patuh padanya.
Harris sejak tadi menatap anak sambungnya dengan bahagia meski ia sempat emosional saat Rian yang menjadi wali Jen. Tetapi ia tetap berlapang dada, bagaimana pun, itu adalah hak dan kewajiban Rian. Kini ia telah mengembalikan senyumnya yang dipenuhi bahagia.
Yang paling kecewa adalah segerombol pewarta yang hanya bisa mengesah dalam ketika mereka sama sekali tidak diizinkan mengambil gambar. Mereka melihat semuanya, berinteraksi langsung, tapi tak bisa memiliki. Harris mengatur agar semua ponsel dan kamera disita saat masuk kemari. Sudah barang tentu, Harris menyiapkan yang terbaik untuk anak perempuannya. Kesederhanaan yang ekslusif.
***
Jen tak segera membersihkan diri usai acara akad digelar. Ia termangu menatap halaman belakang, saksi bahwa hidupnya kini tak lagi sebebas dulu. Menikah dengan orang yang paling tidak diingini, bukan sesuatu yang baik untuk dijadikan sandaran masa depannya. Vaya, yang tak bisa hadir karena sakit akibat strees yang menimpanya, kini tengah memberi kabar keberadaan Diego. Di penjara tentunya.
"Ngapain kamu di situ?" Suara Darren membuatnya tersentak, sehingga ia segera menoleh dan berekspresi cuek lagi.
"Lagi telponan sama Vaya, emang kenapa?"
Darren mengangkat bahunya. "Ya, enggak! Nanya aja ... kenapa ngga ganti baju?"
Jen menunduk, melihati dirinya sendiri, lalu menepuk keningnya. "Ngga ngerasa pake kebaya soalnya. Ini nyaman dan lembut banget." Jen meringis.
Lah ... kenapa aku jadi santai dan nyaman gini, bicara sama dia? Biasanya pake urat kalau ngomong? Sedahsyat inikah kekuatan ijab kobul?
Jen terus meringis hingga terkekeh dan melewati Darren yang menaikkan alisnya karena bingung melihat Jen. Dengan setia ia mengekori gerakan tubuh Jen hingga masuk ke kamar.
"Nyaman seperti saat kamu bersamaku, 'kan?" sambung Darren setelah ia kembali connect setelah speechless beberapa saat. Jen memang manis dengan senyumnya yang lebar, tapi ia malah suka melihat Jen mencucutkan bibirnya. Mungkin karena terbiasa marahan makanya Darren aneh melihat Jen tertawa.
Jen menghentikan gerakan tangannya yang melepas jepit-jepit hitam yang mengait di rambutnya. Lalu tertawa dibuat-buat. "He-he ...." Seketika tawanya surut dan berganti masam. "Pak Darren lupa, kita belum pernah bersama! Bersama tidak hanya butuh nyaman, Pak ... tapi juga cinta harus ada. Kalau cuma nyaman, kasurku juga bisa memberi kenyamanan. Lalu apa aku harusnya menikah saja dengan kasur?" sarkas Jen.
Darren mengendikkan bahunya tak peduli, "Silakan dicoba ... burung saja akan tetap tinggal di satu sarang karena nyaman. Mungkin kamu juga akan begitu!"
"Dan aku bukan burung ... aku adalah Jen yang memulai sebuah hubungan bukan dengan sebuah kenyamanan, tetapi perasaan cinta. Ingat, Ren ... hanya satu tahun. Aku akan membalasmu dengan pantas, setelah itu kau bisa pergi dengan bebas!" tegas Jen. Ia mencoba membuat batasan agar Darren tidak berpikir lebih atau berharap padanya. Jika semuanya jelas diawal, dia yakin tak akan ada luka diantara mereka.
Jen beranjak ke kamar mandi setelah beradu pandang begitu lama dan tajam dengan Darren. Ia tak kuasa melihat tatapan Darren yang sungguh tak bisa ia baca. Jika dulu ia hanya tahu Darren selalu berniat membuatnya kesal, kini ada banyak hal yang—sepertinya—direncanakan Darren.
.
.
.
.