Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Langkah-langkah itu makin dekat, sampai Helena bisa merasakan getarannya di lantai. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan napasnya. Saat pintu kamar berderit sedikit, ia menahan diri untuk tidak panik.
Sosok itu berhenti di ambang pintu. Dari celah tipis, Helena bisa melihat sepatu hitam berdebu dan ujung celana gelap. Orang itu diam beberapa detik, seakan sedang mengamati isi kamar. Helena berdoa dalam hati agar bayangan tubuhnya tak terlihat.
Akhirnya, sosok itu melangkah masuk, tapi bukan menuju sudut tempat Helena bersembunyi. Ia justru mendekati meja rias. Helena menahan napas ketika melihat tangan berjaket itu mengambil saputangan putih dengan noda merah di ujungnya. Sosok itu menatap benda itu lama sekali, lalu menyelipkannya ke dalam saku.
Helena ingin melompat dan menyergapnya, tapi logikanya lebih kuat. Jika ia terburu-buru, ia bisa kehilangan kesempatan untuk mengetahui siapa orang ini.
Setelah itu, sosok tersebut meraih sesuatu dari laci meja rias~sebuah amplop tipis berwarna krem. Ia membuka sedikit, seakan memastikan isinya, sebelum menutup kembali dan memasukkannya ke dalam jaket.
Helena hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Amplop? Apa itu punya Amara? Sial! Seharusnya Helena membuka laci itu sejak lama.
Lalu tanpa suara, sosok itu berbalik dan keluar kamar. Helena mendengar langkahnya menuju pintu depan. Tak lama kemudian, suara pintu apartemen ditutup perlahan. Sunyi kembali menyelimuti ruangan.
Helena tetap diam beberapa detik, memastikan benar-benar aman. Baru setelah itu ia keluar dari persembunyian, menatap meja rias yang kini kosong tanpa saputangan dan amplop tadi.
Dalam hati ia bertekad, siapa pun orang itu, dia tahu sesuatu tentang Amara.
Helena tak mau kehilangan kesempatan. Begitu yakin pintu apartemen sudah tertutup rapat, ia segera melangkah cepat, membuka pintu dan berlari keluar lorong. Nafasnya memburu, telinganya tajam menangkap suara langkah di ujung tangga.
Ia mencondongkan tubuh melewati pagar lorong lantai dua~tepat waktu untuk melihat sosok berjaket gelap itu menuruni tangga menuju lantai dasar. Tudungnya masih menutupi kepala, membuat wajahnya sulit terlihat.
Helena segera menyusul, berusaha tetap ringan dalam langkah agar tak menimbulkan gema. Detak jantungnya kencang, tapi rasa penasarannya lebih besar dari rasa takut.
"Kalau aku bisa tahu siapa dia, aku mungkin bisa lebih dekat dengan jawaban tentang Amara."
Saat sampai di lantai dasar, ia melihat sekilas bayangan sosok itu berjalan keluar gedung apartemen. Helena mempercepat langkah, keluar tepat beberapa detik setelahnya.
Udara dingin menusuk wajahnya. Helena memicingkan mata, mencari sosok itu di keramaian trotoar. Dan di sana~ia melihatnya. Sosok berjaket itu berjalan cepat, menyusuri jalanan, menundukkan kepala seolah sengaja menghindari tatapan orang.
Helena menggenggam erat tasnya. Ia mulai mengikuti, menjaga jarak beberapa meter agar tidak ketahuan.
Namun semakin lama ia perhatikan, ada sesuatu yang menggelitik perasaannya. Gerakan orang itu terasa… familiar. Cara melangkahnya, postur bahunya~Helena yakin ia pernah melihatnya sebelumnya.
Helena terus mengikuti dengan jarak aman, langkahnya hati-hati agar tidak menarik perhatian. Jalanan sore itu cukup ramai, membuatnya sedikit lebih mudah bersembunyi di antara orang-orang. Sosok berjaket itu tidak menoleh sama sekali, seolah sudah terbiasa bergerak tanpa meninggalkan jejak.
Helena menajamkan pandangan, berharap ada celah untuk melihat wajahnya. Tapi tudung jaket itu menutupi hampir seluruh kepala, dan setiap kali pria itu melewati cahaya lampu jalan atau pantulan kaca toko, ia selalu menunduk. Seakan sangat sadar dirinya sedang diawasi.
Akhirnya, langkah pria itu berhenti di pinggir jalan. Ia menoleh kanan-kiri, lalu membuka pintu sebuah mobil yang terparkir di bawah pohon besar. Helena menahan napas. Mobil itu hitam mengilap, tampak terawat, dan di sanalah dadanya mendadak berdegup lebih keras~ia merasa sangat mengenali mobil itu.
"Aku pernah melihatnya… tapi di mana?"
Pria itu masuk ke dalam mobil, pintunya tertutup rapat. Beberapa detik kemudian, mesin menyala, lampu depan berkedip, dan mobil itu meluncur pergi meninggalkan area parkir dengan tenang.
Helena berdiri kaku di trotoar, pandangannya terpaku mengikuti mobil yang makin jauh. Hatinya penuh tanda tanya. Ia tidak berhasil melihat wajah pria itu, tapi rasa akrab terhadap mobilnya membuatnya semakin curiga.
“Mobil itu…” gumamnya pelan, bibirnya nyaris bergetar.
Helena menatap mobil hitam itu sampai hilang di tikungan, rasa penyesalan menekan dadanya. Ia tahu tidak mungkin mengejar lebih jauh, jadi ia menarik napas dalam-dalam dan memutuskan kembali ke apartemen Amara.
Tangannya sedikit gemetar saat memutar kunci di pintu, tapi kali ini ia melangkah masuk dengan lebih sigap. Sunyi kembali menyambut, seolah kehadiran pria tadi hanya bayangan.
Helena berjalan cepat ke kamar, matanya langsung tertuju pada meja rias. Kosong. Saputangan sudah lenyap, begitu juga amplop misterius yang diambil pria itu. Ia menggigit bibir, mencoba mengendalikan rasa kesal.
"Kalau aku lebih berani keluar lebih cepat, mungkin aku bisa tahu lebih banyak."
Ia lalu menyusuri ruangan, membuka laci demi laci. Kebanyakan berisi kosmetik dan dokumen biasa. Tapi di bawah tumpukan majalah lama di rak dekat ranjang, Helena menemukan sesuatu: sebuah buku catatan kulit berwarna hitam. Tidak terlalu besar, tapi tebal.
Ia membukanya perlahan. Sebagian besar halaman kosong, namun di beberapa lembar awal ada tulisan tangan Amara~rapi, khas, dengan gaya huruf yang ia kenal betul.
Helena membaca cepat potongan kalimat, sebagian dalam bahasa asing, sebagian lagi seperti kode singkat. Namun ada satu kalimat yang jelas terbaca di halaman ketiga:
"Seharusnya tidak seperti ini, aku tidak ingin ada pengkhianatan diantara kita tapi terkadang perasaan tidak bisa memilih kepada siapa ia akan jatuh."
Helena menelan ludah, jemarinya meremas tepi buku. Kata-kata itu sangat aneh. Amara yang yang menulisnya, siapa yang berkhianat? Apakah Amara mengkhianati Lucian atau malah sebaliknya?
"Aku harus mencari sesuatu untuk mengetahui apa maksud tulisan Amara," Helena terus menyusuri kamar, berharap menemukan sesuatu yang lain yang bisa dijadikan petunjuk.
"Jika tidak ada disini... Apa itu artinya aku harus bertanya pada Lucian?" Monolog Helena.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam tas, suara yang terasa sangat keras di keheningan apartemen. Helena buru-buru meraihnya. Nama yang tertera di layar membuatnya kaget.
Itu adalah Lucian.
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...