Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
"Wa ... Wa ... Wa! Tuh, ada Denok!" pekik Galuh sambil menunjuk dengan semangat ke arah seorang wanita ber-body aduhay.
Denok berjalan anggun, rambut hitamnya bergoyang seirama langkah, bibirnya merekah senyum manis yang menggoda siapa saja yang melihat. Baju berwarna merah membalut kulit tubuhnya yang putih bercahaya.
Jantung Dewa langsung berdetak kencang, seolah-olah hendak melompat keluar dari dadanya. Dia sampai bisa mendengar gema detakannya sendiri, seperti genderang perang. Wajah manis rupawannya memerah, bibirnya tersungging senyum penuh harapan.
Sementara itu, Denok berjalan perlahan sambil menenteng payung. Matahari siang itu terik sekali, cahaya menyengat membuat peluh membasahi pelipis siapa pun yang berada di luar ruangan. Entah mengapa, Denok tetap tampak segar, seperti bunga yang mekar meski panas terik menyiksa.
"Sana samperin! Jangan bengong kayak patung," desis Galuh sambil mendorong punggung Dewa.
"Baca mantranya, cepat!" tambahnya lagi dengan nada mendesak.
"Baca mantranya dengan penuh hati dan setulus hati," nasihat Ryan tak kalah heboh. "Kalau enggak, nanti dia malah balik benci sama kamu. Ingat, hati-hati! Jangan sampai keder di tengah jalan."
Dengan langkah kaki bergetar seperti anak ayam kehujanan, Dewa berjalan menuju arah Denok. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak hatinya. Namun, tepat ketika bibirnya siap membaca mantra rahasia itu, sesuatu yang tak pernah dia duga terjadi.
Seorang pria lain datang lebih dulu, mendekati Denok dengan penuh percaya diri. Tanpa basa-basi, mereka berhadapan, lalu berpelukan erat. Itu bukan sekadar pelukan biasa, tetapi pelukan mesra yang jelas sekali memperlihatkan kedekatan mereka.
Mata Dewa langsung terbelalak, seperti bola matanya hendak meloncat. Gelas berisi jus alpukat yang sejak tadi dia pegang jatuh dari tangannya, menghantam tanah dan pecah berkeping-keping. Cairan hijau kental itu mengalir deras, persis seperti hatinya yang mendadak remuk redam.
"Ter-nyata ... dia sudah punya kekasih," batin Dewa. Suaranya tercekat di kerongkongan, matanya berkaca-kaca. Seluruh semangat yang sejak tadi dia kumpulkan runtuh begitu saja.
Galuh dan Ryan ikut terkejut bukan main. Mereka sempat mengira Denok diam-diam menyimpan rasa kepada Dewa, karena dulu sempat terlihat tanda-tanda kecil. Namun, kenyataan yang mereka saksikan hari ini sungguh menampar.
"I-tu pacarnya Denok?" bisik Ryan, wajahnya ikut muram.
"Mana aku tahu," jawab Galuh, nada suaranya berat. "Setelah lulus SMA, aku sama dia juga jarang kontak lagi."
"Bukannya dulu Denok pernah bilang suka sama seseorang tapi terhalang status sosial?" Ryan mengingat-ingat.
"Iya," jawab Galuh pelan. "Bahkan dia pernah cerita suka sama pria yang menolongnya waktu kemah. Dan bukannya itu ... kamu, Wa?"
Dewa hanya mengangguk lemah. Ingatan itu memang jelas. Malam dingin di hutan, Denok hampir jatuh ke jurang dan Dewa yang menolong dengan penuh keberanian. Sejak saat itu, Dewa diam-diam berharap. Akan tetapi, rupanya harapan itu hanya kisah sepihak.
Kini, Denok dan pria itu menoleh. Mereka menatap Dewa dengan senyum ramah, seolah-olah tidak ada hati yang sedang hancur di depan mereka.
Galuh, yang bisa merasakan sakit hati temannya, spontan menarik tangan Dewa agar menjauh. Dia tak tega melihat pemuda itu berdiri lebih lama di depan pemandangan menyakitkan.
"Galuh?" Suara Denok terdengar lembut. Dia tersenyum tipis. "Aku dengar kamu akan menikah dengan Bagja."
"Memangnya kenapa?" balas Galuh, wajahnya berubah sinis.
"He-he-he ... enggak nyangka saja," jawab Denok sambil tertawa kecil. "Dulu, kan, kalian sering bertengkar. Eh, sekarang malah mau menikah." Dia tersenyum lebar. "Selamat, ya. Semoga pernikahannya langgeng. Doakan aku juga, semoga cepat menyusul."
Galuh melirik tajam. Senyum di wajahnya terpaksa, tetapi sorot matanya jelas penuh kejengkelan. Dia tidak benci Denok, tetapi hatinya mendadak panas. Semua orang tahu Dewa suka Denok dan sekarang melihat kenyataan ini membuatnya ingin melindungi Dewa lebih keras.
"Ya, semoga saja kamu juga cepat menikah," jawab Galuh pendek. Tanpa banyak basa-basi, dia kembali menarik tangan Dewa untuk pergi.
Biasanya Dewa selalu ceria, penuh gurauan, tetapi kini wajahnya muram, seperti robot rusak yang kehilangan daya. Ryan mencoba melucu, tetapi hasilnya nihil.
"Galuh, gimana, nih? Si Dewa kayak mesin robot mogok," bisik Ryan sambil cengar-cengir.
"Obat ampuh buat orang patah hati itu cuma satu," jawab Galuh dengan nada bak pujangga. "Temukan cinta yang baru."
"Setuju! Setuju banget!" Ryan bertepuk tangan kecil, matanya berbinar penuh ide konyol.
"Kita cariin biro jodoh buat Dewa," bisik Galuh geli. "Biar dia cepat move on dari Denok."
Ryan langsung ngakak, menepuk bahu Dewa. "Mantap tuh, Wa! Kita bikinin kamu profil. Tinggal foto, pasang status ‘patah hati, butuh pengganti’."
"Kalian jangan berisik!" bentak Dewa. Suaranya serak, tapi jelas menyimpan amarah.
"Eh, kita kan bisik-bisik," jawab Ryan tanpa dosa, tetap cuek.
Dewa mendengus, memilih pulang. Langkahnya berat, kepalanya tertunduk. Suasana hatinya terlalu buruk untuk terus bersama dua teman usil itu.
***
Kegiatan baru keseharian Bagja sekarang adalah menggoda Galuh. Setiap kali melihat calon istrinya lewat di depan jendela kamarnya, Bagja tak pernah melewatkan kesempatan.
"Hei, calon istri!" seru Bagja sambil melambaikan tangan riang. "Sedang apa? Sini main ke rumah calon suamimu!"
Galuh mendongak, menatapnya dengan dahi berkerut. "Ih, dasar nggak ada kerjaan!" balasnya ketus. "Sorry, ye! Kita belum halal. Dilarang masuk kamar laki-laki."
Bagja tertawa lepas, tawanya nyaring sampai terdengar ke rumah sebelah. Rasa lelah sehabis kerja langsung lenyap hanya dengan menggoda Galuh.
"Sebulan lagi, kan, kita halal," ucap Bagja dengan senyum penuh kemenangan. "Jadi enggak masalah kalau berkunjung ke sini."
Galuh menatap tajam. "Tetap saja belum halal. Aku takut kau ... rudapaksa."
Mata Bagja langsung membulat, wajahnya kaget setengah mati. "Ha? Kamu serius bicara begitu?!"
Galuh sempat bingung melihat ekspresinya. Baru kemudian dia mengingat kembali kalimat yang barusan keluar dari mulutnya.
"Haaaaah!" serunya, menepuk kening.
Wajah Galuh langsung merah padam, seperti kepiting rebus. Malu setengah mati, dia buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan.
Galuh makin salah tingkah. Dalam hati, dia mengumpat dirinya sendiri. "Kenapa aku ngomong kayak gitu, ya Allah!"
Bagja hanya bisa tertawa ngakak, menepuk-nepuk pahanya. "Aduh, Galuh ... Galuh ... pikiranmu ke mana-mana, sih? Sebulan lagi kita halal, tapi sudah mikir yang aneh-aneh."
“Dasar laki-laki usil! Aku nggak mau ngomong sama kamu lagi!” Galuh berlari kecil menjauh, sambil menutup telinganya.
Bagja malah tertawa puas, menikmati bagaimana setiap kali menggoda Galuh, gadis itu selalu bereaksi berlebihan. Bagi Bagja, itu bukan sekadar hiburan. Itu cara kecil untuk menunjukkan betapa dia tak sabar menunggu hari mereka benar-benar halal.
Di balik tawanya, tersimpan perasaan hangat yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Rasa syukur karena sebentar lagi Galuh akan benar-benar menjadi miliknya.
"Aku juga sudah tidak sabar," gumam Bagja.
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....