NovelToon NovelToon
TITIK NOL TAKDIR

TITIK NOL TAKDIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Berbaikan / Spiritual / Penyesalan Suami / Duniahiburan / Matabatin / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:673
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."

Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.

Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27: SATU LANGKAH PULANG: KETENANGAN YANG DIREBUT RINA

Udara subuh di pesisir itu bukan lagi sekadar dingin; ia terasa seperti bilah silet yang disapukan perlahan ke pori-pori kulit, namun Rina tetap tidak bergeming. Ia berdiri mematung di ambang pintu kamar, menatap ruang tamunya yang masih diselimuti remang abu-abu. Di atas meja kayu tua yang serat-seratnya tampak lelah, Kompas Biru Tua milik Bara masih menunjukkan perilaku yang tidak masuk akal. Jarumnya tidak lagi menunjuk utara, melainkan bergetar liar, berputar-putar seperti gasing yang kehilangan poros, menciptakan bunyi gemeretak logam halus yang seolah sedang menghitung mundur sesuatu yang tak terlihat.

Di samping kompas itu, sehelai daun kering milik Mala tergeletak. Daun itu tampak rapuh, namun ada kejanggalan pada urat-uratnya yang samar-samar berpendar keperakan saat terkena sisa cahaya lampu jalan. Rina menghela napas panjang, merasakan sensasi laut yang mendebur hebat di dalam rongga dadanya—sebuah resonansi dingin yang ditinggalkan oleh kehadiran gaib semalam. Ia tahu, keheningan rumah ini sedang terancam. Ia bisa merasakan frekuensi spiritual yang sangat tinggi sedang menekan Mala di dalam tidurnya.

Rina menyadari, untuk menyelamatkan kewarasan anak-anaknya, ia harus menjadi konduktor bagi kebisingan takdir. Ia harus sengaja melangkah keluar dari "Gema Tenang" yang selama ini ia jaga melalui sujud-sujud panjangnya. Ia harus menarik "Arus Takdir" yang menyakitkan itu ke dalam dirinya sendiri, membiarkan dirinya menjadi perisai yang dihantam badai agar anak-anaknya bisa bernapas di balik punggungnya.

"Ibu benar-benar akan pergi ke tempat bising itu?" suara serak Arka memecah sunyi dari balik koridor gelap.

Rina berbalik perlahan, menatap putranya yang berdiri dengan mata mengantuk namun tajam. Arka, dengan segala keterbatasannya, adalah radar yang paling sensitif di rumah ini. Anak itu memegang pinggiran tembok, jemarinya yang kecil gemetar.

"Iya, Arka. Ibu harus pergi," jawab Rina lembut, meskipun hatinya terasa seperti diremas. "Jaga Kak Mala. Kalau dia terbangun dan mulai menangis karena merasa sepi, bisikkan padanya bahwa Ibu sedang pergi untuk menjemput ketenangannya. Bilang padanya, ayahnya tidak pernah lupa jalan pulang."

"Tapi Kompas itu... dia ketakutan, Bu," Arka menunjuk ke arah meja dengan jari telunjuknya yang kurus. "Bunyinya seperti jantung yang sedang dipaksa berlari."

Rina mendekat, berlutut di depan Arka, dan menggenggam tangan kecil itu. "Itu karena Ibu sedang membawa sebagian getarannya, Sayang. Ibu akan membawa kebisingan ini keluar dari rumah kita. Doakan Ibu kuat menghadapi mereka."

Ia mencium kening Arka lama, menghirup aroma sabun dan sisa mimpi anaknya. Saat ia bangkit dan mengambil kunci rumah, logam itu terasa sangat berat di tangannya, seolah ia sedang menggenggam beban seluruh samudera. Setiap langkah yang ia ambil menjauh dari pintu rumah terasa seperti sedang merobek jembatan takdir yang telah ia anyam dengan sabar. Ia bukan lagi sekadar istri yang menunggu dengan pasrah; ia adalah seorang komandan yang sedang menuju medan perang logika.

Konfrontasi di Gedung Kaca

Gedung perusahaan maritim itu berdiri angkuh, fasad kacanya memantulkan langit Jakarta yang kelabu dan penuh polusi. Di dalam lobi yang megah, di mana lantai marmernya begitu mengilap hingga bisa memantulkan ketakutan seseorang, Rina melihat sosok-sosok yang telah lama menjadi duri dalam batinnya. Bude Lastri dan Santi sudah duduk di sana, mengenakan pakaian yang terlalu formal untuk sebuah kunjungan kekeluargaan. Di antara mereka, duduk seorang pria paruh baya berkacamata dengan setelan jas mahal—seorang pengacara yang ditunjuk perusahaan untuk membereskan "masalah" administratif ini.

Di atas meja marmer di depan mereka, sebuah amplop cokelat tebal tergeletak diam. Bagi orang lain, itu mungkin hanya tumpukan uang. Bagi Rina, itu adalah sebuah nisan yang terbuat dari kertas.

"Akhirnya kau datang juga, Rina. Kami pikir kau sudah benar-benar kehilangan akal sehat di rumah itu," Bude Lastri membuka percakapan dengan suara tajam yang menggema di langit-langit lobi. Tidak ada basa-basi, tidak ada pelukan hangat. Hanya ada tuntutan atas sebuah keputusan.

Rina duduk dengan punggung tegak, mengabaikan rasa dingin yang semakin menusuk di dadanya. "Saya datang karena ingin menyelesaikan apa yang harus diselesaikan, Bude. Bukan untuk mendengarkan penghakiman."

"Selesaikan? Bagus kalau begitu!" Santi menimpali, suaranya naik satu oktav. "Lihat amplop itu, Rina. Di dalamnya ada kepastian. Ada biaya sekolah Mala, ada terapi Arka, ada masa depanmu. Berhentilah bersikap seolah suamimu akan muncul dari balik pintu lobi ini dengan mukjizat. Dunia tidak bekerja seperti itu."

"Kepastian menurut siapa, Santi? Menurut perusahaan asuransi yang ingin cepat-cepat menghapus kerugian mereka?" Rina menatap Santi dengan mata yang begitu dingin hingga saudaranya itu harus membuang muka sejenak.

"Ibu Rina," sang pengacara menyela dengan nada suara yang telah dilatih untuk terdengar empati namun tetap profesional. "Kami sangat memahami duka Anda. Namun, secara hukum, batas waktu tiga puluh hari yang kami berikan hampir habis. Jika Anda tidak menandatangani surat pernyataan hilang ini sekarang, prosedur santunan akan masuk ke jalur birokrasi yang jauh lebih rumit. Perusahaan hanya ingin membantu Anda menutup bab yang menyakitkan ini."

Rina merasakan resonansi di dadanya berdenyut kencang, seolah ada ombak yang menghantam tulang rusuknya dari dalam. Ia menatap amplop tebal itu. Di dalamnya ada godaan logis yang sangat masuk akal. Ia butuh uang itu. Tagihan listrik sudah menunggak, dan tabungannya mulai menipis. Namun, setiap sel di tubuhnya berteriak bahwa menandatangani kertas itu adalah sebuah pengkhianatan spiritual.

"Menutup bab ini," Rina mengulang kalimat pengacara itu dengan nada getir, "berarti saya setuju untuk membunuh nama Bara di atas kertas, sementara saya tahu napasnya masih menggetarkan doa-doa saya. Kalian meminta saya untuk mengakui kematian yang belum diputuskan oleh Tuhan."

"Imanmu itu sudah melampaui batas kewarasan, Rina!" Bude Lastri menggebrak meja pelan, wajahnya memerah. "Kau membiarkan anak-anakmu hidup dalam ketidakpastian hanya demi sebuah harapan kosong? Logika macam apa yang kau pakai untuk memberi makan anak-anakmu besok pagi?"

"Logika seorang istri yang tidak akan menukar martabat suaminya dengan lembaran rupiah," jawab Rina tegas, suaranya stabil meskipun tangannya di bawah meja gemetar hebat. "Saya ke sini bukan untuk uang ini. Saya menuntut laporan pencarian terakhir yang kalian hentikan secara sepihak. Di mana tanggung jawab moral kalian sebagai perusahaan yang mempekerjakannya?"

"Tanggung jawab kami sudah ada di depan matamu!" Santi berteriak, menarik perhatian beberapa karyawan yang lewat. "Jangan sok suci, Rina. Kami tahu kau kesulitan membayar tagihan! Berhenti berlagak jadi martir sementara anak-anakmu butuh makan!"

Rina memejamkan mata sejenak. Kebisingan ini adalah persis seperti yang ia harapkan. Ia membiarkan setiap kata-kata kasar itu masuk ke dalam batinnya, menyerap kebisingan duniawi ini sepenuhnya. Ia merasa setiap hinaan itu seperti sebuah beban berat yang ia ambil alih dari pundak Mala di rumah. Ia membiarkan harga dirinya diinjak-injak di tengah lobi gedung megah ini, menjadikannya sebagai tumbal spiritual agar suaminya memiliki jalur pulang yang sunyi dan damai.

Satu Langkah yang Menggenapi Takdir

Ribuan kilometer dari hiruk-pikuk Jakarta, di sebuah pulau yang tak tercatat di peta kargo kapal, Bara sedang bersujud di atas Cadas Sunyi. Langit di atasnya tampak begitu jernih, namun secara tiba-tiba, ia merasakan sebuah gelombang getaran yang sangat luar biasa menghantam jiwanya. Itu bukan rasa haus, bukan pula serangan panik PTSD yang biasa ia alami.

Itu adalah sebuah panggilan. Sebuah "teriakan sunyi" dari jiwa Rina yang sedang disudutkan.

Bara terengah-engah, melepaskan sujudnya. Ia memegang dadanya yang berdenyut hebat. Sinyal itu terasa seperti pegangan tangan yang sangat erat namun penuh luka. Dalam keheningan Titik Nol yang ia capai setelah menulis dengan darah, Bara menyadari sesuatu yang besar. Selama ini ia berpikir tawakal berarti hanya duduk diam menunggu takdir. Namun, di bawah langit ini, ia memahami bahwa kasih sayangnya pada keluarga adalah bagian dari rencana Ilahi.

Cintanya pada Rina, Mala, dan Arka bukan lagi sebuah keterikatan duniawi yang menghambat imannya, melainkan sebuah amanah murni yang selaras sepenuhnya Dengan kehendak Sang Pencipta. Tawakal murninya kini melahirkan sebuah kekuatan untuk bertindak.

Bara merangkak ke arah tempat ia menyandarkan Tongkat Musafir. Kayu tua yang ia bawa sejak bertemu Syeikh Tua itu terasa hangat, bergetar seirama dengan detak jantungnya yang kini selaras dengan frekuensi penderitaan istrinya. Dengan sisa tenaga yang seolah ditarik dari sumsum tulangnya, Bara berdiri tegak. Ia tidak menatap langit dengan tatapan memohon lagi; ia menatap lurus ke arah laut lepas—ke arah di mana ia tahu jantung keluarganya berdenyut.

Bara mengambil satu langkah.

Itu bukan langkah yang didorong oleh ketidaksabaran. Itu bukan langkah pembangkangan terhadap perintah untuk diam. Itu adalah langkah Tawakal Murni yang telah mencapai puncaknya. Sebuah langkah di mana ikhtiar fisik dan kepasrahan batin telah lebur menjadi satu kesatuan yang utuh. Ia bergerak karena ia merasa semesta telah membukakan pintu untuknya.

Saat kaki telanjangnya yang pecah-pecah menyentuh air laut di tepian karang tajam, sebuah keajaiban yang melawan hukum logika terjadi. Air laut itu tidak memercik ke atas. Sebaliknya, air itu menyambut telapak kakinya dengan kepadatan yang luar biasa, seolah-olah samudera itu tiba-tiba berubah menjadi hamparan sajadah yang kokoh.

Tongkat Musafir yang ia pegang menyentuh permukaan air, mengirimkan frekuensi kepulangan yang merambat jauh ke dalam palung-palung samudera. Bara mengambil langkah kedua, lalu ketiga. Ia tidak tenggelam. Setiap kali ujung kayu tongkat itu mengetuk permukaan air, sebuah lingkaran cahaya keperakan meluas, mengunci koordinat kepulangan yang kini telah direstui oleh langit.

"Rina, bertahanlah," bisik Bara, suaranya serak namun membawa otoritas seorang imam yang telah lulus ujian. "Langkah ini adalah janji-Nya yang aku jemput melalui kakiku sendiri. Aku sedang berjalan menuju kalian."

Di setiap langkahnya, Bara merasakan beban di dadanya semakin ringan. Ia tidak lagi merasa sebagai korban badai, melainkan sebagai musafir yang sedang menunaikan tugas terakhirnya: pulang sebagai manusia sejati.

Genggaman di Tengah Badai Logika

Kembali ke lobi kantor maritim yang bising, Rina mendadak tersentak. Seluruh tubuhnya menegang. Rasa dingin yang mencekam dan lelah yang luar biasa di dadanya tiba-tiba berganti dengan sebuah hentakan hangat yang sangat kuat. Ia merasakan sebuah energi yang nyata, seolah-olah ada tangan yang sangat kokoh dan hangat baru saja menggenggam jemarinya di bawah meja marmer yang dingin itu.

Getaran itu begitu kuat hingga cangkir air mineral di depannya ikut bergetar, menciptakan riak-riak kecil yang konsentris, persis seperti riak yang diciptakan tongkat Bara di tengah laut.

"Ibu Rina? Anda masih bersama kami?" tanya pengacara itu, alisnya bertaut melihat ekspresi Rina yang mendadak berubah menjadi sangat tenang—hampir seperti orang yang sedang bermeditasi di tengah pasar.

"Kalian tidak akan pernah mengerti," suara Rina kini terdengar berbeda. Tidak ada lagi nada defensif atau takut. Yang ada hanyalah sebuah otoritas yang tenang dan tak tergoyahkan. "Kalian bicara tentang statistik kapal yang hancur, tentang santunan kematian, dan tentang menutup bab kehidupan. Tapi saya baru saja merasakan detak jantung suami saya di sini, di ruangan ini."

"Cukup, Rina! Jangan mulai lagi dengan halusinasi itu!" Bude Lastri berdiri, wajahnya merah padam karena amarah yang memuncak. "Kami sudah berusaha membantumu, tapi kau malah menghina niat baik kami dengan omong kosong mistis ini! Tandatangani surat ini sekarang, atau kami tidak akan mau lagi mengangkat teleponmu saat rumahmu disita oleh bank!"

Rina menatap Bude Lastri dan Santi dengan tatapan iba, seolah ia sedang melihat orang-orang yang buta di tengah cahaya terang. "Bude, Santi... terima kasih atas perhatian kalian selama ini, meskipun itu dibungkus dengan ketidaksabaran yang menyakitkan. Tapi hari ini saya memutuskan untuk tidak menandatangani apa pun. Silakan ambil kembali amplop itu. Berikan pada orang yang sudah tidak punya harapan lagi. Saya masih punya banyak harapan."

Rina berdiri dengan anggun, mengabaikan amplop cokelat itu seolah benda itu hanyalah tumpukan kertas sampah yang tak berharga. Ia melangkah pergi meninggalkan lobi, mengabaikan teriakan Bude Lastri yang memanggilnya gila, tidak tahu diri, dan sombong. Saat ia melewati pintu kaca otomatis yang membuka dengan suara mendesis, Rina merasa seluruh tenaganya seperti ditarik keluar.

Ia bersandar pada pilar gedung di trotoar yang ramai, napasnya tersengal. Kebisingan yang ia ciptakan tadi—segala hinaan dan tekanan yang ia serap—telah berhasil. Ia merasakan "Arus Takdir" yang tadinya menyerang Mala kini telah tersedot sepenuhnya ke dalam dirinya sendiri. Ia lelah, sangat lelah, tetapi ia tahu Mala aman di rumah.

Arah yang Tidak Lagi Bergetar

Beberapa jam kemudian, saat matahari mulai tergelincir ke arah barat, Rina sampai di rumahnya dengan tubuh yang lunglai. Ia hampir tidak punya tenaga untuk membuka pintu. Namun, saat ia masuk, pemandangan di dalam ruang tamu menghentikan rasa lelahnya.

Arka sedang duduk di lantai, tidak lagi gelisah atau hiperaktif. Anak itu sedang menatap meja kayu dengan wajah yang damai. Di sampingnya, Mala sedang duduk tenang sambil memegang boneka lamanya, wajahnya tidak lagi pucat.

"Ibu, lihat. Kompasnya sudah lelah berputar. Dia sekarang sedang tidur nyenyak," ucap Arka pelan tanpa menoleh.

Rina mendekat ke arah meja dan tertegun. Kompas Biru Tua itu tidak lagi bergetar liar. Bunyi gemeretak logam yang menyiksa tadi pagi telah hilang sepenuhnya. Jarum kompas itu kini diam total, tegak lurus, dan menunjuk dengan stabilitas yang luar biasa ke satu arah: Timur Laut. Tidak ada lagi getaran panik, tidak ada lagi gema yang menyiksa. Hanya ada kesunyian yang bermartabat dan penuh kepastian.

"Arah ini..." Rina berbisik, jarinya yang gemetar menyentuh permukaan kaca kompas yang dingin. "Ini bukan lagi arah yang acak. Ini adalah arah laut lepas. Ini arah tempat Ayah berada."

Rina menyadari bahwa ikhtiar "kebisingan" yang ia lakukan di kantor tadi telah mengubah koordinat takdir di rumah ini. Syeikh Tua—atau apa pun kehadiran spiritual semalam—telah pergi, meninggalkan jejak kepastian melalui jarum kompas yang kini menjadi penunjuk jalan pulang yang absolut bagi Bara. Mala pun bangkit dan memeluk pinggang Rina dengan erat.

"Ibu, kepalaku sudah tidak berisik lagi," ujar Mala pelan. "Tadi ada suara air yang sangat lembut bilang ke aku, 'istirahatlah, Mala. Ayah sedang berjalan'."

Rina memeluk putrinya erat-erat, air mata syukurnya jatuh mengenai bahu Mala. "Iya, Sayang. Ibu sudah mengambil suaranya. Sekarang Mala bisa tidur dengan tenang."

Saat Rina meletakkan tasnya di atas bufet, sebuah koran pagi yang tadi sempat ia ambil dari meja lobi kantor maritim terjatuh ke lantai. Koran itu terbuka pada halaman berita daerah yang biasanya terabaikan. Mata Rina terpaku pada sebuah foto buram di pojok bawah halaman tersebut.

Sebuah foto kecil yang menunjukkan bangkai kapal kayu yang terdampar di antara gugusan pulau karang tak berpenghuni. Meskipun gambarnya kasar dan hitam putih, Rina mengenali bentuk haluan kapal itu. Bentuk yang pernah Bara gambar dalam sebuah sketsa lama di belakang Buku Doa Musafirnya. Itu bukan sekadar berita kecelakaan; itu adalah bukti fisik pertama yang muncul di dunia nyata setelah berbulan-bulan segalanya hanya terkubur dalam gema spiritual.

Rina berlutut di lantai, mengambil koran itu dengan tangan yang gemetar hebat. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga ia bisa merasakannya di ujung-ujung jarinya.

"Ayah memang di sana," bisik Rina, air matanya membasahi permukaan kertas koran itu. "Langkah itu... langkah itu nyata."

Ia menatap ke arah cermin besar di ruang tamu. Tidak ada lagi bayangan tersenyum yang menenangkan dari masa lalu. Yang ada hanyalah wajah seorang wanita yang sangat lelah, matanya sembap, dan rambutnya berantakan karena badai kehidupan. Namun, di balik kelelahan itu, ada sebuah cahaya baru yang lebih terang dari sebelumnya. Gema Tenang-nya mungkin telah ia korbankan, tapi ia tahu, kehilangan ketenangan pribadi adalah harga yang sangat kecil untuk sebuah kepastian bahwa takdir kini telah mengunci koordinat kepulangan suaminya.

"Satu langkah lagi, Bara," gumam Rina sambil menatap jarum kompas yang tetap setia menunjuk ke arah Timur Laut. "Teruslah melangkah, dan aku akan menjemputmu di ujung Arus ini."

1
Tulisan_nic
semangat Bara,kamu harus bangkit segera.Keluarga menunggumu
Kartika Candrabuwana: bismillah😍👍
total 1 replies
Tulisan_nic
setuju sih,di waktu yg mendesak begitu,apa lagi anaknya demam tinggi. Lebih masuk akal menjual perhiasan dr pada cari kerja
Kartika Candrabuwana: iya betul👍
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
bab 26 keren
Kartika Candrabuwana
bsb 25 keten
Kartika Candrabuwana
bab 24 keren😍
Kartika Candrabuwana
bab 23 keren😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 22 ok👍
Tulisan_nic
Belum baca keseluruhan isi novel ini,tapi dari awal baca sudah mendapat banyak pelajaran tentang tawakal sesungguhnya,semangat berkarya Author.Aku kasih rate 5 biar semakin bersemangat /Rose//Rose//Rose//Rose//Rose/
Kartika Candrabuwana: terima kasih. 😍👍
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
iya betul😍
Tulisan_nic
Definisi ikatan batin suami istri
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Tulisan_nic
Ketika ujian hidup terasa sangat sulit😭
Kartika Candrabuwana: anak autis sungguh ujian yang berat/Sob/
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
bab 21 luar biasa.
Kartika Candrabuwana
istri yang tegar😍👍
Kartika Candrabuwana
kasihan sekali. semangat bara💪
Tulisan_nic
semakin seru,semangat Thor🫶
Kartika Candrabuwana: ok..semangat👍
total 1 replies
Tulisan_nic
semoga mustajab Do'a seorang Bapak
Kartika Candrabuwana: amiin👍
total 1 replies
Tulisan_nic
Titik pencapaian paling sakral
Kartika Candrabuwana: tawakal total
total 1 replies
Tulisan_nic
Benar adanya,setiap orang yang merasa ajal di depan mata yang terfikirkan adalah bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang di cintainya. Semangat Bara...kau akan menemukan daratan!
Kartika Candrabuwana: saya coba menyentuh hati tiap pembaca🙏
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
luar biasa teguh👍😍🤣
Kartika Candrabuwana
kalinat yang sangat menyenuh hati/Sob//Sob/😍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!