Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
Mereka memutuskan untuk bergerak cepat. Pagi berikutnya, keempatnya meninggalkan Reruntuhan, membawa perbekalan minimal dan tekad yang besar. Perjalanan ke selatan menuju lokasi yang ditandai Wijaya sebagai Kota Cahaya yang Tersembunyi, Aeloria, membawa mereka melintasi perbukitan kering dan lembah yang tertutup kabut.
Dua hari memasuki perjalanan, mereka mencapai sebuah jalur sempit yang diselimuti kabut tebal, dikenal sebagai Lembah Bisikan. Ratih dan Wijaya berjalan di depan, sibuk membahas ukiran kuno dan potensi jebakan, sementara Jaya dan Dara berjalan di belakang.
Kabut tebal itu membuat jarak pandang hanya sejengkal. Jaya, yang ahli dalam menavigasi, menjaga Dara tetap dekat, sesekali memegang pergelangan tangannya untuk memastikan gadis itu tidak tersesat.
"Kabut ini terasa berat," bisik Dara, suaranya sedikit tegang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan energi sihir yang ia rasakan sedikit tertekan oleh lingkungan ini.
"Fokuskan pandanganmu padaku," kata Jaya lembut. Ia berhenti sebentar, membalikkan badan, dan meraih kedua tangan Dara. Mata mereka bertemu di tengah hamparan kabut putih yang sunyi.
"Dara," Jaya memulai, suaranya lebih serius dan pelan dari yang pernah Dara dengar. "Aku tidak tahu apa yang menanti kita di Aeloria. Mungkin ada bahaya lebih besar dari yang pernah kita bayangkan."
Dara mengangguk, menunggu.
"Jika terjadi sesuatu padaku... jika kita berhadapan dengan bahaya yang tidak bisa kuatasi..." Jaya berhenti, menelan ludah. "Aku ingin kau tahu bahwa melindungimu dan melihat senyummu adalah tujuan terbesarku. Bukan busurku, bukan taktikku, bukan kemenangan."
Jaya mengangkat tangannya, menyentuh lembut pipi Dara yang dingin karena kabut.
"Aku... aku mencintaimu, Dara," bisiknya, kata-kata itu keluar dengan jujur dan tanpa paksaan. Itu adalah pengakuan yang sederhana, tanpa puisi, tetapi terasa mengikat seperti sumpah.
Wajah Dara memerah, dan matanya berkaca-kaca. Ia tidak pernah mengira dinding pelindung yang ia bangun di sekelilingnya akan dirobohkan dengan kata-kata setulus ini.
"Jaya..." Dara menarik napas. "Aku juga mencintaimu. Sejak kita pertama bertarung bersama. Kau adalah jangkarku di tengah kekacauan ini."
Tanpa kata-kata lagi, Jaya mendekat dan mencium pugung tangan Dara. Itu bukan ciuman terburu-buru, melainkan ciuman yang dipenuhi janji dan kehangatan yang kontras dengan dinginnya kabut. Sebuah janji yang disaksikan oleh Lembah Bisikan dan disembunyikan dari dunia.
wajah dara memerah, karena ini pertama kali dia merasakan begitu dicintai dan dinginkan, walau ditengah kekacauan yang melanda.
"Wijaya! Ada yang tidak beres!"
Saat berlari maju, mereka melihat Ratih mundur selangkah, Liontin Api Biru memancarkan cahaya yang bergetar. Wijaya sudah menghunus pedangnya, postur tubuhnya tegang.
Di depan mereka, kabut mulai menggumpal. Bukan gumpalan air, tetapi gumpalan bayangan yang bergerak. Dari kegelapan itu, muncul dua sosok yang tidak menyerupai makhluk hidup mana pun yang pernah mereka lihat.
Mereka adalah Penjaga Sunyi (Silent Watchers): makhluk seperti bayangan setinggi pria dewasa, namun terbuat dari materi hitam pekat yang tampak mengisap semua cahaya di sekitarnya. Mereka tidak memiliki wajah, hanya topeng mulus dan sepasang mata putih pucat yang memancarkan kebencian dingin.
"Mereka bukan boneka Leluhur Bayangan," bisik Ratih, suaranya tercekat. "Mereka adalah penjaga kuno. Mereka menjaga jalan masuk ke Aeloria!"
Penjaga Sunyi 1 bergerak lebih cepat dari perkiraan, meluncur seperti bayangan yang terlepas. Targetnya adalah Ratih dan kedua Liontin di lehernya. Wijaya segera maju, mengayunkan pedangnya ke Penjaga itu.
Clang!
Pedang Wijaya menghantam tubuh bayangan itu, tetapi yang terjadi bukanlah benturan baja. Melainkan suara dingin, seolah-olah Wijaya baru saja memotong ketiadaan beku. Wijaya terhuyung mundur, tangannya mati rasa, dan energi di sekelilingnya terasa mengisap panasnya.
"Jangan sentuh mereka dengan senjata logam!" teriak Wijaya, menyadari bahayanya.
Sementara itu, Penjaga Sunyi 2 mengincar Jaya dan Dara.
"Lindungi Ratih!" seru Jaya pada Dara. Ia segera melepaskan panah beruntun ke Penjaga kedua. Panah-panah itu menembus tubuh bayangan itu, tetapi tidak menimbulkan luka. Panah itu hanya jatuh ke tanah, seolah-olah menembus kabut.
"Mereka hanya bisa dilukai oleh energi murni!" teriak Ratih. Ia mengangkat tangannya dan memancarkan Api Biru ke Penjaga pertama.
Api Biru, murni dan destruktif, menghantam Penjaga pertama, dan untuk pertama kalinya, makhluk bayangan itu mengeluarkan suara: jeritan sunyi yang menyayat telinga, seolah-olah kain gelap robek. Penjaga itu mundur, tubuhnya berasap.
Namun, saat Ratih fokus pada Penjaga pertama, Liontin Mata Ketiadaan di bawah pakaiannya mulai bereaksi liar. Ratih merasakan dingin yang ekstrem menjalar di sekujur tubuhnya, dan kekuatannya goyah.
"Aku... aku tidak bisa menahan keduanya!" Ratih terengah, memegangi dadanya. Kekuatan Liontin Penolak itu bereaksi terhadap kehadiran Void, mengacaukan fokusnya.
Penjaga kedua, melihat kelemahan Ratih, meluncur ke arahnya. Jaya, tanpa ragu, mengambil langkah yang berisiko. Ia tahu senjata fisiknya tidak berguna.
"Dara! Tetap berada di samping ku" teriak Jaya. "Aku akan mengalihkannya!"
Jaya berlari lurus ke Penjaga kedua. Ia tidak bermaksud menyerang, tetapi hanya untuk menarik perhatian. Penjaga kedua mengalihkan perhatiannya dari Ratih ke Jaya.
Dara segera mengumpulkan semua energi sihir murninya—terlepas dari rasa lelah yang ia rasakan—dan menciptakan dinding cahaya murni yang memisahkan Ratih dan Wijaya dari Jaya dan dirinya.
Dinding itu meledak dengan energi yang cukup kuat untuk melukai Penjaga kedua.
"Pergi! Cari Aeloria! Aku dan Jaya akan menyusul!" teriak Dara, wajahnya pucat pasi karena kehabisan energi.
Wijaya melihat peluang itu. "Ratih, sekarang! Kita harus pergi!"
Wijaya menarik tangan Ratih dan berlari menyusup ke sela-sela kabut tebal. Ratih menoleh ke belakang, melihat Jaya yang sekarang bertarung menggunakan belati pendek—senjata yang hanya efektif untuk mengalihkan perhatian—sementara Dara mati-matian mempertahankan penghalang sihir.
"Jaga dirimu!" teriak Ratih, suaranya tenggelam dalam kabut.
Saat Ratih dan Wijaya menghilang, Penjaga pertama yang terluka kembali bergabung dengan yang kedua. Mereka menyerang penghalang Dara secara bersamaan.
Dinding cahaya Dara retak, dan Jaya tahu mereka tidak akan bisa bertahan lama. Ia meraih tangan Dara, menariknya ke samping, dan mereka berdua melompat ke jurang dangkal yang tersembunyi di balik kabut tebal, menghindari serangan Penjaga Sunyi.
Dinding cahaya hancur. Kedua Penjaga Sunyi itu berdiri di tempat mereka, menatap ke arah yang berbeda: satu menatap jalur kabur tempat Ratih dan Wijaya melarikan diri, yang lain menatap jurang tempat Jaya dan Dara melompat.
Mereka mengeluarkan suara mendesis pelan, seolah-olah sedang berkomunikasi dengan Ketiadaan itu sendiri, sebelum akhirnya kembali menjadi gumpalan bayangan dan menghilang di dalam kabut.
Ratih dan Wijaya terus berlari, napas mereka terengah, tetapi Liontin Api Biru Ratih terasa semakin kuat, seolah Liontin itu tahu bahwa ia adalah satu-satunya harapan bagi mereka berempat.
Mereka berdua kini terpisah, terlempar ke dalam hutan yang tidak dikenal, dengan tugas yang sama-sama berbahaya: Ratih dan Wijaya harus mencapai Aeloria untuk mendapatkan informasi, sementara Jaya dan Dara harus bertahan hidup dan menemukan jalan untuk kembali.
Tinggalkan jejak dan komentarnya teman-teman 🙏🤗