“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07 ~ Apa aku masih waras?
Sebelumnya.
Meutia yang merasa tertekan, stress, memilih duduk berselonjor. Tak lama kemudian dia hendak beranjak saat dirasa perut bertambah sakit.
Tidak menyadari kalau di sebelahnya, ada parang bersandar pada sudut dinding. Kala berusaha berdiri, tangannya berpegangan pada sisi tajam parang. Matanya membulat saat merasakan perih menggores telapak tangannya, tapi cuma sebatas itu.
Dia tidak merintih, tak pula mengadu kepada keluarganya sampai sang ibu berteriak.
“Astaghfirullah Meutia!” Nyak Zainab histeris melihat darah menetes di sela-sela jari tangan putri bungsunya.
Wahyuni terpekik, langsung mau merebut parang yang masih dipegang oleh adiknya. Bajunya terkena tangan Meutia. “Istighfar Meutia! Istighfar Dek!”
Kening Meutia mengerut, tatapannya tidak fokus, seolah jiwanya terperangkap dalam dunia ilusi yang mulai diciptakannya. “Ini nggak sakit. Sungguh! Tia seperti mendapatkan semangat baru dikarenakan rasa ini seperti hewan menghisap darah, menggerogoti memberikan sensasi geli sekaligus perih yang mengingatkan kalau diriku masih bisa merasakan sesuatu selain rasa kebas.”
Agam berjongkok, membingkai wajah cantik adiknya, mengecoh fokus Meutia agar benda tajam dalam genggamannya terjatuh.
Wahyuni langsung menarik parang itu supaya tidak lebih dalam lagi melukai Meutia.
“Tia … Abang, kakakmu, kakak ipar, serta Nyak, para sahabat, putrimu, juga keponakanmu, masih kau anggap makhluk hidup kan, Dek? Akan tetapi mengapa seolah-olah sama sekali tak berarti bagi dirimu?”
Kepala Meutia seperti ditusuk-tusuk jarum, gelombang sakit menyerang bertepatan kesadarannya menipis, dan jeritan masa remajanya sewaktu menangisi sang ayah memenuhi pikirannya. Merenggut alam sadarnya, tubuhnya melemas dalam pelukan abang kandungnya.
Tubuh ibu hamil itu langsung dibopong, dibawa keluar rumah dan masuk ke dalam mobil. Saat sudah didudukkan pada kursi penumpang mobil. Nur Amala sigap membalut telapak tangan kiri Meutia menggunakan sobekan handuk bersih yang tadi diguntingnya.
Ayek, Rizal, Danang, terpekik terkejut dan langsung beristighfar.
Wahyuni masuk ke samping kemudi, dia ikut menemani adiknya. Melarang ibunya ikut. “Nyak dirumah saja, tak baik buat kondisi kesehatan Nyak yang belakangan ini menurun.”
“Jaga betul-betul adikmu ya, Nak.” Ia usap lembut pundak putri keduanya.
“Kita pasti akan memberikan yang terbaik buat Meutia dan bayinya. Jangan terlalu merisaukan, Nyak. Nanti malah jatuh sakit." Disalimnya punggung tangan ibunya.
“Ke puskesmas dulu!” titah Agam Siddiq.
Rizal pun langsung menjalankan mobil menuruni bukit halaman rumah keluarga baik hati yang membiayai kuliahnya dan kedua sahabatnya.
***
Meutia mendapatkan pertolongan pertama di puskesmas berjarak tidak terlalu jauh dari huniannya. Tangannya diperban agar pendarahan nya berhenti.
Kemudian dirinya di bawa ke rumah sakit kota kecil oleh keluarganya yang masih menaruh rasa khawatir.
Dalam perjalanan panjang melewati perkebunan karet itu, tak ada yang bersuara. Baik Wahyuni, Agam, Amala, serta Rizal – memilih bungkam.
Meutia sudah sadar, tapi seperti orang linglung, tidak merespon bila diajak bicara. Memandang keluar jendela, asik dengan dunianya sendiri, dia mulai nyaman bertemankan sepi.
.
.
Hampir satu jam kemudian, mobil pun telah tiba di rumah sakit Alur merah, terletak di wilayah kota kecamatan.
Meutia duduk pada kursi roda, didorong oleh seorang perawat laki-laki, dan dibawa masuk ke UGD.
Nur Amala dan Wahyuni saling menguatkan. Mereka letih tapi memilih menyembunyikan rasa lelah itu agar Meutia tidak merasa terbebani.
Bukan kelelahan fisik, tapi lebih ke mental yang diuji ketahanannya. Kasihan melihat Meutia, lebih nelangsa lagi memandang dua gadis kecil, Intan dan Sabiya.
Belum lagi kondisi kesehatan Nyak Zainab kurang baik, ibu tunggal mereka itu selalu menangisi nasib putri dan cucunya. Beliau tak lagi memiliki teman bercerita, berbagi kesedihan dengan suaminya, maupun kedua sahabatnya yang sudah berpulang terlebih dahulu menghadap Sang Ilahi.
Setelah pemeriksaan di ruangan UGD usai, dan luka Meutia benar-benar tidak perlu dijahit. Ibunya Intan dan Sabiya di bawa masuk ke dalam ruangan seorang psikiater wanita.
“Asalamualaikum nyonya Rasyid,” sapa sebuah suara bersahabat.
Meutia tersenyum tulus, dia suka panggilan ini. Merasa tidak seperti seorang janda baru ditinggal mati suaminya.
“Walaikumsalam, Bu.” Balasnya seraya meraih jabat tangan dengan sosok sekitar umur empat puluh tahunan. Penampilannya sederhana namun elegan, rambut diikat dan dijepit rapi.
Anggota keluarga Meutia menunggu diluar ruangan seraya berharap-harap cemas, berdoa dalam hati.
.
.
“Saya dengar tuan Ikram sedang dinas diluar kota ya, nyonya Rasyid?” ia mencoba mengakrabkan diri.
“Panggil Meutia saja, Bu. Iya, suamiku tengah menghadiri acara seminar beberapa hari di kota provinsi.”
Dokter Ismi tersenyum lebar, menyambut antusias perbincangan dengan wanita cantik yang wajahnya sembab, kehilangan binar semangat.
“Dia janji cuma empat hari perginya, abis itu balek berkumpul lagi denganku dan kedua putri kami,” senyum Meutia tak sampai pada binar netranya.
“Bang Ikram juga bilang, akan mendampingi kelahiran anak ketiga kami. Sama seperti saat melahirkan Intan dan Sabiya.” Dia melangkah ke tempat yang kini menjadi kesukaannya, jendela.
Bu Ismi juga melihat keluar jendela, berdiri berseberangan dengan Meutia. “Ikram pasti laki-laki sangat bertanggung jawab, penyayang, humoris, dan sangat mencintaimu serta buah hati kalian, ya?”
“Dia benar-benar pelengkap bagi diri ini yang jauh dari kata sempurna,” matanya menerawang jauh.
“Tak pernah meninggikan suara, bila marah malah mengajak bercanda. Kalau aku merajuk maka dirinya akan merayu sampai terbit senyum ini. Tak pernah membuatku merasa sendirian, adanya dia mampu memenuhi setiap relung hati yang kosong. Apapun ia usahakan untuk kebahagiaan keluarga kecil kami. Bu ….”
“Ya?” Bu Ismi memandang hangat kala Meutia menoleh kepadanya.
“Anda seorang psikiater bukan? Tentu paham, tahu, mengerti caranya mengobati pasien menderita gangguan mental. Apa Ibu juga bisa membuat hatiku kembali penuh? Ibarat batre, kini hanya tinggal dua persen daya nya. Aku seperti tersesat pada labirin penuh liku-liku membingungkan. Seringkali tak mengenali diri sendiri, lupa kalau sudah menjadi ibu bagi ketiga malaikat kecil. Aku harus apa, Bu?” Meutia terlihat putus asa.
“Semua orang mengatakan sabar, belajar ikhlas, harus kuat demi kedua putriku. Bukan diri ini tak berusaha, sudah! Bahkan aku selalu menangis, berasa bersalah setiap kali memeriksa Intan dan Sabiya sewaktu mereka terlelap. Akupun merasa berdosa dikarenakan terlalu berlebihan dalam menerima takdir mendadak datangnya ini, aku ….”
Bu Ismi tetap diam, membiarkan pasiennya meluapkan segala rasa yang membuatnya kesulitan memilih kata-kata untuk mendeskripsikannya.
“Apa aku masih waras bila meyakini suamiku belum meninggal? Dia masih hidup. Seribu kali orang mengatakan kalau Ikram telah tiada, maka hati ini melakukan protes, membantah sebanyak sejuta kali. Wajarkah itu, Bu?”
“Boleh saya tahu, apa alasanmu memiliki pemikiran berbeda macam itu, berlawanan dengan kenyataan yang ada, Meutia?”
.
.
Bersambung.
#pembacaesmosi