NovelToon NovelToon
Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri
Popularitas:218
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”

Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.

Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 — Jurnal Kakaknya

Reina terengah-engah, tubuhnya ambruk bersandar di dinding koridor lantai tiga. Ia kembali. Tangan dan lututnya sakit karena benturan dengan beton, tapi sekarang ia menyentuh lantai keramik yang dingin dan nyata. Ia berada di dunia yang seharusnya.

Kepalanya pusing. Ia melihat ke jam dinding digital di ujung koridor: 01:15 P.M.

Reina menarik napas, mencoba mencerna waktu. Ia dan Zio masuk ke lift pukul 11:11 A.M. Ia merasa berada di Lantai Tujuh hanya selama sepuluh hingga lima belas menit paling lama—cukup waktu untuk berjalan ke tengah koridor loker, membuka loker berdarah itu, dan berlari kembali setelah Zio menghilang.

Seharusnya ini masih sekitar pukul 11:30 A.M., maksimal 11:45 A.M.

Tapi sekarang sudah pukul 01:15 P.M.

Dua jam.

Reina telah menghabiskan dua jam di dimensi yang ia rasa hanya selama sepuluh menit.

Daren benar: Lantai Tujuh adalah void tersier. Ia menelan waktu, mengubah durasi, dan mungkin, realitas.

Dua jam. Itu adalah waktu yang cukup bagi Zio untuk benar-benar hilang, atau untuk sesuatu yang buruk terjadi padanya.

Reina mengeluarkan ponselnya, tangannya masih gemetar. Ia segera menghubungi Zio.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.

Frustrasi dan rasa bersalah memukul Reina seperti gelombang pasang. Ia telah membawa Zio ke sana. Ia yang menekan tombol itu. Zio hanya ingin konten, tapi sekarang Zio lenyap.

Rasa bersalah. Daren bilang, Lantai Tujuh menyerap rasa bersalah.

Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru.

“Reina! Kamu di mana saja? Astaga!”

Naya muncul dari tikungan, wajahnya pucat pasi dan mata memerah.

“Kenapa kamu panik, Naya?” tanya Reina.

“Kamu dan Zio. Kalian hilang! Kalian nggak ada di kelas dari jam istirahat! Guru-guru udah mulai cari. Aku tahu kalian ke Gedung Lama! Aku bilang ke Daren kalau aku nggak tahu, tapi—” Naya terdiam, menatap Reina dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Kamu kenapa basah? Dan lututmu berdarah?”

Reina mengabaikan pertanyaannya. “Zio. Dia hilang, Naya. Dia hilang di Lantai Tujuh.”

Naya menutup mulutnya dengan kedua tangan, air mata langsung mengalir di pipinya. “Ya Tuhan. Itu benar. Itu benar, kan? Rumor itu benar?”

Reina mengguncang bahu Naya dengan lembut, mencoba menenangkan. “Tenang, Naya. Lantai itu nyata. Tapi aku harus cari tahu kenapa Zio hilang. Dan kenapa aku bisa kembali.”

“Kamu kembali setelah dua jam! Waktu itu... waktu itu aneh!” Naya menangis. “Dua tahun lalu juga gini. Kakaknya Daren, dia hilang. Dan Aksa... dia juga kembali setelah lima jam, tapi langsung menghilang lagi setelah itu!”

Jeda yang terjadi terasa mencekik.

“Apa? Daren punya kakak? Dan dia hilang di sana?” Reina bertanya.

Naya mengangguk histeris. “Dia nggak pernah ngomongin itu. Tapi kata orang, kakaknya Daren lah yang pertama kali ‘memanggil’ lantai itu. Terus dia hilang. Makanya Daren kayak patung es, dia trauma berat.”

Ternyata, Daren bukan hanya Penjaga Reputasi. Ia adalah korban. Korban yang tahu terlalu banyak.

“Naya, kamu lihat tas aku?” tanya Reina.

“Itu dia! Daren yang bawa. Dia bilang dia mau simpan di ruang OSIS,” kata Naya.

Reina langsung berlari menuju ruang OSIS di lantai 4. Ia harus menemukan sesuatu yang bisa mengaitkan Aksa, Daren, dan Lantai Tujuh.

Ruang OSIS sepi. Reina mengambil tasnya yang tergeletak di meja Daren. Tasnya terasa lebih berat.

Ia membukanya. Buku-buku pelajarannya ada.

Ponselnya ada. Tapi di sela-sela buku itu, ada satu buku yang tidak seharusnya ada.

Itu adalah sebuah buku catatan bersampul kulit hitam lusuh, ukurannya sedikit lebih kecil dari buku tulis biasa.

Reina menariknya keluar. Aroma buku itu... bau yang familiar. Bau kertas dan minyak kayu putih yang selalu dipakai Aksa.

Jantung Reina berdetak kencang. Itu adalah jurnal Aksa. Jurnal yang ia cari-cari selama dua tahun, yang Aksa bawa pada hari dia menghilang.

Bagaimana ini bisa ada di dalam tasnya? Apakah Daren yang memasukkannya? Atau apakah lantai itu yang ‘mengembalikannya’ bersamanya?

Reina membuka jurnal itu dengan tangan gemetar.

Tulisannya adalah tulisan tangan Aksa yang tergesa-gesa dan sedikit tidak rapi, khas Aksa yang selalu terburu-buru berpikir.

Di halaman pertama, tertulis tanggal dua tahun lalu.

10 Maret.

Eksperimen pertama dengan frekuensi rendah berhasil. Tepat di 11:11. Void itu bergetar. Dia merespons. Dia tahu aku sedang mencari tahu.

Reina membaca tulisan itu dengan mata terbelalak. Eksperimen? Frekuensi? Aksa bukan sekadar siswa yang penasaran.

Ia membalik halaman cepat.

11 Maret.

Dia semakin kuat. Aku harus berhenti, tapi aku harus tahu. Ini bukan ruang fisik. Ini adalah cermin dari energi residual. Semakin banyak rasa bersalah yang diserap, semakin kuat dimensinya. Aku melihat... aku melihat dia. Kakaknya Daren. Dia terjebak dalam memori terakhirnya.

Reina berhenti bernapas. Aksa melihat kakaknya Daren. Aksa tahu bagaimana lantai itu bekerja.

12 Maret.

Aku salah perhitungan. Aku mencoba menutupnya, tapi dia menjebakku. Aku harus memberinya ‘kunci’ agar dia tidak menyebar. Dan aku harus memberikannya ‘korban’ yang bisa dia ambil sementara. Maafkan aku, aku tidak punya pilihan. Aku harus melindungi Reina. Aku akan mencoba membuatnya stabil di 7. Aku harus bicara dengan Daren.

Reina merasakan air matanya menetes. Korban. Siapa korban itu?

Ia membalik halaman, dan di sana, hanya ada satu nama yang ditulis tebal, dihiasi lingkaran merah:

Daren Kurniawan

Reina menatap nama itu. Jadi Aksa tidak hanya mengenal Daren, tapi mereka bekerja sama—atau Aksa mencoba memanfaatkan Daren untuk sesuatu yang berkaitan dengan Lantai Tujuh.

Jurnal itu kemudian terhenti di sana. Halaman terakhir kosong.

Reina duduk di kursi kerja Daren, mencoba mengatur napasnya.

Jurnal ini mengubah segalanya. Aksa bukan korban, ia adalah pencipta. Atau setidaknya, orang yang mengaktifkan kembali dan mempelajari Lantai Tujuh. Dia menyebutnya 'kunci' dan 'korban'.

Dan yang paling penting: Aksa sengaja melibatkan Daren, atau setidaknya mencoba.

Daren tahu Aksa. Daren tahu tentang void tersier. Daren memberinya instruksi jam 11:11.

Lalu, di mana Zio? Apakah Zio menjadi 'korban' yang Aksa maksud agar Lantai Tujuh tidak menyebar?

Reina menekan dadanya yang sesak. Rasa bersalahnya kini berlipat ganda. Aksa menghilang untuk melindungi dirinya. Dan sekarang, Reina telah membawa korban lain.

Tiba-tiba, pintu ruang OSIS terbuka pelan.

Reina refleks menyembunyikan jurnal Aksa di bawah meja.

Daren masuk, matanya langsung tertuju pada Reina. Dia tidak terlihat terkejut melihat Reina di sana.

“Aku tahu kamu di sini,” katanya, suaranya tenang, tapi ada ketegangan yang terlihat jelas di rahangnya.

“Zio hilang,” kata Reina datar.

“Ya. Aku tahu. Aku sudah memeriksa lift itu. Sensornya menunjukkan lompatan waktu. Dia tidak akan muncul di sini,” jawab Daren, berjalan mendekat.

“Kamu tahu ini akan terjadi,” tuduh Reina, bangkit berdiri. “Kamu yang ngasih tau jam 11:11! Kamu sengaja ingin kami masuk!”

Daren menghela napas panjang, mata hitamnya tampak lelah.

“Aku ingin kamu masuk. Tapi bukan untuk hilang. Aku ingin kamu tahu. Aku sudah memperingatkanmu.”

“Peringatanmu itu omong kosong! Kakakku yang membuat ini! Dia yang membuat Lantai Tujuh!” teriak Reina, hampir histeris. Ia tidak tahan lagi.

Daren membeku. Matanya melebar sedikit, menunjukkan reaksi yang jarang terlihat.

“Di mana kamu tahu itu?”

Reina terdiam. Ia tidak bisa menunjukkan jurnal Aksa.

“Aku tahu. Matamu. Caramu menatap lift itu, caramu mencari denah. Kalian sama. Dia bilang, ‘Reina adalah cermin yang bersih.’ Dia bilang kamu adalah satu-satunya yang bisa melihat realitasnya,” kata Daren, berjalan semakin dekat.

“Dia pernah bilang apa lagi tentang aku?” Reina menuntut.

“Dia bilang kamu adalah ‘exit’,” Daren berbisik.

Exit?

“Apa maksudnya?”

“Aku tidak tahu. Aku hanya anak kelas sepuluh yang panik karena kakaknya hilang. Dia—Aksa—memaksaku untuk membantunya, untuk menutup ‘gerbang’ itu. Dia bilang, lantai itu diciptakan oleh rasa bersalah yang mengumpul. Dan Aksa...” Daren menelan ludah. “Aksa adalah orang yang paling bersalah. Dia mencoba menciptakan lantai itu sebagai mesin waktu. Mesin waktu untuk memperbaiki kesalahan. Tapi dia malah menciptakan jebakan.”

Reina memejamkan mata. Mesin waktu. Dosa. Rasa bersalah. Aksa ingin memperbaiki sesuatu.

“Aku butuh tahu di mana Zio,” kata Reina, nadanya kini melunak.

Daren menatap Reina dengan tatapan yang penuh penyesalan.

“Dia bukan hilang di waktu. Dia hilang di dimensi. Rasa bersalahmu tentang membawanya ke sana akan menjadi ‘bahan bakar’ lantai itu. Zio akan kembali, tapi bukan Zio yang ini,” kata Daren.

Reina kembali teringat catatan Aksa: ...memberinya ‘korban’ yang bisa dia ambil sementara.

Zio adalah korban sementara.

Daren lalu menunjuk ke tas Reina. “Aku nggak sengaja buka tas kamu. Aku mau cari ponselmu. Tapi aku menemukan ini.”

Daren mengeluarkan sebuah amplop kecil dari sakunya. Amplop yang sudah lusuh, tertutup rapat.

“Ini jatuh dari tasmu. Aku nggak tahu apa ini. Tapi ada tulisan tangan yang sama dengan jurnal yang selalu dibawa Aksa,” kata Daren.

Reina langsung mengambil amplop itu.

Daren tahu tentang jurnal Aksa. Tentu saja. Mereka berkolaborasi.

“Aku sudah tahu,” kata Reina. “Kamu dan Aksa... kalian pernah dekat.”

Daren hanya mengangguk pelan. “Kami pernah. Sampai dia menjadi gila dengan idenya tentang lantai itu. Dan aku harus diam. Untuk menutupi kegilaan itu.”

Reina memegang amplop tua itu. Jurnal Aksa. Amplop tua. Semua ini adalah kunci untuk memahami kegilaan itu.

Ia yakin, Daren mengenal Aksa lebih pribadi daripada yang ia kira.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!