Cinta seharusnya tidak menyakiti. Tapi baginya, cinta adalah awal kehancuran.
Yujin Lee percaya bahwa Lino hanyalah kakak tingkat yang baik, dan Jiya Han adalah sahabat yang sempurna. Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik senyum manis Lino, tersembunyi obsesi mematikan yang siap membakarnya hidup-hidup. Sebuah salah paham merenggut persahabatannya dengan Jiya, dan sebuah malam kelam merenggut segalanya—termasuk kepercayaan dan masa depannya.
Dia melarikan diri, menyamar sebagai Felicia Lee, berusaha membangun kehidupan baru di antara reruntuhan hatinya. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Lino, seperti setan yang haus balas, tidak akan membiarkan mawar hitamnya mekar untuk pria lain—terutama bukan untuk Christopher Lee, saudara tirinya sendiri yang telah lama mencintai Yujin dengan tulus.
Sampai kapan Felicia harus berlari? Dan berapa harga yang harus dibayar untuk benar-benar bebas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Hujan masih mengguyur vila mewah keluarga Lee, meski intensitasnya mulai mereda, seolah alam pun turut berduka atas drama yang tersembunyi di dalamnya. Di ruang tengah, lilin-lilin telah menyerah pada malam, padam satu per satu, meninggalkan hanya cahaya rembulan yang pucat untuk menembus jendela. Bayangan-bayangan panjang menari di dinding, menciptakan ilusi yang menyesatkan.
Lee Lino duduk tegak di kursinya, tubuhnya tegang bagai busur yang siap dilepaskan. Matanya, gelap dan intens, terpaku pada Lee Yujin yang tertidur pulas di sofa. Dalam keheningan yang mencekam ini, Lino merasakan badai dahsyat mengamuk di dalam dirinya. Malam ini, ia telah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengagumi kerentanan Yujin, menikmati ilusi kepemilikan yang begitu rapuh.
Yujin bergerak dalam tidurnya, tangannya meraba-raba sisi sofa, mencari sesuatu yang tak terjangkau. Saat itulah, Lino melihatnya—ponsel Yujin. Benda itu tergeletak miring di atas bantalan sofa, layarnya menghadap ke atas. Tiba-tiba, layar ponsel itu menyala terang, memecah kegelapan ruangan dan menarik perhatian Lino bagai magnet.
Sebuah notifikasi pesan masuk terpampang jelas di layar.
𝗬𝗝 (𝗖𝗵𝗿𝗶𝘀𝘁𝗼𝗽𝗵𝗲𝗿): 𝗬𝘂𝗷𝗶𝗻, 𝗮𝗸𝘂 𝗯𝗮𝗶𝗸-𝗯𝗮𝗶𝗸 𝘀𝗮𝗷𝗮 𝗱𝗶 𝘀𝗶𝗻𝗶. 𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗸𝗵𝗮𝘄𝗮𝘁𝗶𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮 𝗶𝘁𝘂. 𝗔𝗸𝘂 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗴𝗲𝗿𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗯𝘂𝗸𝘁𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗮𝗵𝘄𝗮 𝗶𝘁𝘂 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗳𝗶𝘁𝗻𝗮𝗵. 𝗔𝗸𝘂 𝘀𝘂𝗱𝗮𝗵 𝘁𝗮𝗵𝘂 𝘀𝗶𝗮𝗽𝗮 𝗽𝗲𝗹𝗮𝗸𝘂𝗻𝘆𝗮. 𝗝𝗮𝗴𝗮 𝗱𝗶𝗿𝗶𝗺𝘂. 𝗜𝗻𝗴𝗮𝘁𝗹𝗮𝗵 𝗷𝗮𝗻𝗷𝗶𝗸𝘂: 𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗿𝗻𝗮𝗵 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗟𝗶𝗻𝗼. 𝗔𝗸𝘂 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝘂𝘀𝗮𝗵𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗺𝗯𝗮𝗹𝗶 𝗮𝗸𝗵𝗶𝗿 𝗽𝗲𝗸𝗮𝗻 𝗶𝗻𝗶.
Lino membaca notifikasi itu dalam hati, setiap kata merobek hatinya dengan cemburu dan amarah. Nama kontak YJ (Christopher) adalah nama yang ia sendiri ganti, sebuah upaya sia-sia untuk mengendalikan hubungan mereka. Namun, isi pesan itu menusuk Lino tepat di jantung obsesinya.
Dengan gerakan perlahan namun pasti, Lino berdiri dari kursinya, mengabaikan suara hujan yang menampar kaca jendela. Ia berjalan mendekati sofa, langkahnya dingin dan terukur. Ia mencondongkan tubuhnya ke atas Yujin yang tertidur. Wajah Yujin terlihat begitu damai, tanpa sedikit pun menyadari bahaya yang mengintai di sampingnya.
Lino mengambil ponsel Yujin dengan tangan gemetar. Bukan karena ketakutan, melainkan karena gejolak amarah yang memuncak di dalam dirinya. Ia membuka pesan itu dan membacanya lagi, setiap kata terasa seperti tusukan belati.
"𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘱𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘯𝘺𝘢." Fitnah. Christopher tahu tentang skandal plagiat yang ia rancang.
"𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘓𝘪𝘯𝘰." Christopher masih menjadi benteng pelindung bagi Yujin, sebuah peringatan yang terus menghantuinya.
"𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘴𝘢𝘩𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳 𝘱𝘦𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪." Christopher akan kembali. Christopher akan mengungkap kebenaran. Christopher akan merebut Yujin darinya.
Pesan-pesan itu adalah bukti tak terbantahkan bahwa bahkan dari jarak ribuan kilometer, Christopher masih bisa mengendalikan Yujin. Lino merasa semua usahanya—manipulasi Jiya, skenario Sokcho, ancaman, bahkan skandal plagiat yang ia ciptakan—semuanya sia-sia belaka.
Akal sehat Lino yang rapuh akhirnya runtuh.
Lino mencengkeram ponsel itu kuat-kuat, buku-buku jarinya memutih. Matanya, yang hanya diterangi oleh pantulan cahaya rembulan, menyala dengan api yang berbahaya.
"Kau tidak bisa kembali, Christopher. Kau tidak bisa mengambilnya dariku. Dia sudah menjadi milikku. Aku yang ada di sini. Aku yang menjaganya. Aku yang ada di sampingnya!"
Rasa cemburu yang membakar, ditambah dengan kelelahan yang mendera, dan kesendirian di malam yang sunyi ini, meledak menjadi kemarahan posesif yang tak terkendali. Dalam benak Lino yang terdistorsi, Yujin bukan lagi seseorang yang harus ia taklukkan, melainkan sebuah objek yang harus ia kunci dan kuasai sebelum terlambat.
Lino mengabaikan pesan Christopher. Ia menggeser-geser galeri foto Yujin, mencari foto-foto Christopher dan Yujin bersama. Ia menemukan beberapa foto lama, foto selfie akrab mereka saat masih di kampus. Foto-foto itu adalah pengingat yang menyakitkan tentang masa lalu yang tak bisa ia hapus.
Lino meremas ponsel itu dengan kasar, suara gemerincing kecil dari kerangka ponsel terdengar di tengah keheningan. Ia tiba-tiba membungkuk, menatap wajah Yujin yang tertidur.
"Kau berbohong padaku. Kau berpura-pura membencinya, tetapi kau masih menunggunya. Kau masih mencarinya."
Dengan gerakan kaku, Lino mengangkat tangannya. Jemarinya yang panjang bergerak ke arah leher Yujin yang jenjang. Dorongan gelap untuk menghentikan napas yang Yujin gunakan untuk memanggil nama Christopher membanjiri dirinya. Ia ingin mengakhiri koneksi ini selamanya.
Tiba-tiba, Yujin bergerak. Ia bergumam pelan dalam tidurnya. "Christopher... Oppa..."
Gumam itu, yang seharusnya tak berarti apa-apa, adalah pemicu terakhir bagi Lino. Itu adalah konfirmasi bahwa bahkan dalam alam bawah sadarnya, Yujin memanggil pria lain.
Lino membeku. Jemarinya hanya berjarak beberapa milimeter dari kulit leher Yujin yang lembut. Keinginan gelap untuk menguasai Yujin melalui paksaan fisik membanjiri dirinya.
Namun, di detik terakhir, naluri bertahan hidup Lino, sisi pengacara yang harus menjaga alibi dan citra dirinya, menahan dorongan gilanya. Ia tersentak, menarik tangannya ke belakang dengan cepat, seolah tangannya telah menyentuh api.
Ia tidak boleh menyakitinya secara fisik.
Lino tersentak mundur, berdiri tegak. Ia menghela napas panjang, berusaha keras mengembalikan akal sehatnya yang telah hilang ditelan cemburu. Ia tahu, ia harus bertindak cepat. Ia tidak bisa membiarkan Christopher kembali. Ia tidak bisa membiarkan Yujin memiliki koneksi apa pun dengannya.
Lino menatap ponsel Yujin di tangannya. Ia segera membuka pengaturan dan memblokir kontak YJ (Christopher). Lalu, ia membuka aplikasi perpesanan lain dan mengetik pesan kepada Christopher, berpura-pura menjadi Yujin.
𝗬𝗝: 𝗔𝗸𝘂 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝗲𝗺𝘂𝗶𝗺𝘂 𝗮𝗸𝗵𝗶𝗿 𝗽𝗲𝗸𝗮𝗻 𝗶𝗻𝗶. 𝗔𝗸𝘂 𝘀𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗯𝗲𝗿𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗟𝗶𝗻𝗼. 𝗔𝗸𝘂 𝘀𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗺𝘂𝗮𝗸 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝗸𝗮𝗻𝗱𝗮𝗹𝗺𝘂. 𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗴𝗮𝗻𝗴𝗴𝘂 𝗮𝗸𝘂 𝗹𝗮𝗴𝗶.
Lino menekan tombol kirim. Itu adalah pukulan telak yang akan melukai Christopher dan membuat Yujin terlihat sebagai pengkhianat.
Dengan dingin, Lino menghapus pesan yang baru ia kirim, menutup aplikasi, dan mengembalikan ponsel Yujin ke tempat semula. Ia menyeka keringat dingin di dahinya.
Ia telah melangkah ke ambang batas, dan ia telah menarik diri, tetapi kerusakan telah terjadi. Lino tahu, ia tidak bisa lagi mengendalikan dirinya jika Christopher terus menjadi ancaman.
Lino memejamkan mata, membiarkan kelelahan dan kegilaannya meresap ke dalam dirinya. Yujin adalah miliknya. Ia akan melakukan apa pun untuk memastikan itu, bahkan jika itu berarti mengorbankan segalanya.
.
.
.
.
.
.
.
ㅡ Bersambung ㅡ