Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.
Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.
Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.
✯
Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22
Begitu Naysa diseret menjauh oleh ayah mereka, Rada menarik napas lega. Ia pikir malam ini akhirnya bisa tenang. Tapi rupanya, nasib belum berpihak padanya.
Langkah tergesa dan aroma parfum yang sudah sangat ia kenal membuat tubuhnya menegang bahkan sebelum ia menoleh. El.
Pria itu berdiri beberapa langkah di depannya, wajahnya terlihat campuran antara marah dan frustasi.
“Jadi begini caramu melupakanku, Rada? Dengan bertunangan dengan pria lain?” Nada suaranya tajam, menusuk.
Rada memejamkan mata sejenak, menahan diri untuk tidak bereaksi. “Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apapun padamu, El. Kita sudah berakhir.”
“Kau memblokir semua nomorku! Aku mencoba menghubungimu berhari-hari. Aku menyesal, Ra. Aku… aku kangen kamu.”
Kata-kata itu yang membuat perut Rada mual. Tatapannya berubah dingin, suaranya tegas. “Jangan buat aku tambah muak, El. Kamu bahkan tidur dengan kakakku dan menikahinya. Jadi hentikan sandiwara menyedihkan ini.”
Namun El justru semakin mendekat, nadanya bergetar di antara marah dan memohon. “Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Rada! Aku—”
“Jangan menyentuhnya!”
Suara bariton itu memotong dengan tenang namun mengandung ancaman halus. Gavin datang menghampiri, langkahnya mantap, sorot matanya menusuk seperti bilah es. Tanpa berkata banyak, ia langsung menarik Rada ke sisi tubuhnya, membuat jarak di antara mereka dan El menguap dalam sekejap.
Tatapan El langsung berubah murka.
“Lepaskan dia, Gavin. Kamu tidak tahu apa-apa tentang kami!”
Gavin tersenyum tipis, tapi dingin. Senyum yang tidak pernah berarti ramah.
“Benar. Tapi yang aku tahu, dia calon istriku. Dan aku tidak suka pria lain berdiri terlalu dekat dengannya, apalagi menyentuhnya dengan tatapan seperti itu.”
Ruangan yang semula berisik oleh obrolan para tamu yang masih tersisa seolah membeku beberapa detik. Tatapan orang-orang mulai melirik ke arah mereka. Rada bisa merasakan ketegangan yang menebal di udara.
“El, jangan buat masalah di sini,” ujar Rada akhirnya, suaranya datar. “Aku sudah memilih jalanku, dan itu bukan kamu. Sudah cukup.”
El menatapnya lama, matanya merah, seperti tidak percaya mendengar ucapan itu keluar dari bibir Rada sendiri. Tapi sebelum ia sempat membalas, Gavin menggandeng tangan Rada dan membawanya pergi, meninggalkan El berdiri dengan rahang mengeras dan tatapan membunuh.
Saat mereka sudah cukup jauh, Gavin masih menggenggam tangan Rada, tapi kini lebih lembut.
“Kamu baik-baik saja?”
“Aku baik.” Jawaban Rada singkat, tapi nadanya berat.
Gavin tahu tidak ada yang “baik” dalam situasi itu. Tapi ia tidak akan pernah membiarkan El mendekati Rada lagi.
...☆...
Malam itu udara Jakarta terasa lembab setelah hujan sore. Lampu-lampu jalan memantul di kaca mobil, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di wajah Rada yang murung.
Setelah acara pertunangan yang melelahkan, Gavin dan Rada akhirnya berpamitan pulang ke apartemen mereka. Tak ada percakapan selama di mobil, hanya suara mesin dan roda kendaraan yang beradu dengan aspal jalan.
Namun tanpa mereka sadari, sebuah mobil hitam berhenti beberapa meter di belakang mobil Gavin dan di balik kemudinya, El memandangi punggung mobil itu dengan rahang mengeras.
“Aku harus tahu dimana kamu tinggal Rada…” gumamnya pelan, matanya tajam menyala oleh rasa iri dan kemarahan yang belum padam.
Sementara itu, di dalam mobil Gavin, suasana semakin dingin. Rada tiba-tiba bersuara pelan, suaranya terdengar nyaris patah:
“Aku nggak mau pulang dulu, Gavin.”
Gavin menoleh sekilas, alisnya terangkat. “Mau ke mana?”
“Klub. Aku pengen minum.” kata Rada datar.
Gavin menatap jalan di depannya lagi, rahangnya mengencang.
“Tidak.”
Rada menghela napas kesal, menatap jendela dengan pandangan kosong.
“Aku perlu menenangkan diri, Gavin. Aku cuma—”
“Kamu sudah cukup terlihat kacau malam ini, Rada,” potong Gavin datar, suaranya tetap tenang tapi tajam. “Dan aku tidak akan menambah kekacauan itu dengan melihatmu mabuk di klub. Pergi kesana bukan solusi untuk masalahmu. Aku temani kemanapun asal jangan kesana.”
“Kamu bukan siapa-siapa untuk—”
“Aku calon suamimu,” ucap Gavin cepat, nadanya lebih rendah dari biasanya, nyaris seperti desis yang menahan emosi. “Dan aku tidak akan diam saja kalau kamu menghancurkan dirimu sendiri.”
Rada terdiam. Ia menatap keluar jendela lagi, menahan diri untuk tidak membalas. Mungkin karena di dalam dirinya pun, ada bagian kecil yang tahu Gavin benar tapi ia terlalu lelah untuk mengakuinya.
Mobil melaju terus dalam diam. Lampu-lampu kota berganti cepat di luar jendela. Ketika akhirnya mereka sampai di gedung apartemen, Gavin mematikan mesin dan menoleh perlahan.
“Kamu mau aku antar sampai pintu?”
“Nggak perlu.” Rada membuka sabuk pengamannya, keluar tanpa menoleh.
Gavin memperhatikan punggungnya menghilang di balik pintu lobi. Ia tidak mengejarnya, hanya menghela napas panjang dan bersandar di kursi.
Dari kejauhan, El masih duduk di dalam mobilnya, memperhatikan Rada yang baru saja masuk. Tatapannya tajam, hampir tak waras.
“Kalau dia pikir bisa melupakan aku semudah itu… dia salah besar.”
...✯✯✯...