Long Zhu, Kaisar Dewa Semesta, adalah entitas absolut yang duduk di puncak segala eksistensi. Setelah miliaran tahun mengawasi kosmos yang tunduk padanya, ia terjangkit kebosanan abadi. Jenuh dengan kesempurnaan dan keheningan takhtanya, ia mengambil keputusan impulsif: turun ke Alam Fana untuk mencari "hiburan".
Dengan menyamar sebagai pengelana tua pemalas bernama Zhu Lao, Long Zhu menikmati sensasi duniawi—rasa pedas, kehangatan teh murah, dan kegigihan manusia yang rapuh. Perjalanannya mempertemukannya dengan lima individu unik: Li Xian yang berhati teguh, Mu Qing yang mendambakan kebebasan, Tao Lin si jenius pedang pemabuk, Shen Hu si raksasa berhati lembut, dan Yue Lian yang menyimpan darah naga misterius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Halaman yang Bersih, Tamu Kotor, dan Sendok Teh
Halaman batu giok putih itu sempurna. Begitu sempurna hingga menyakitkan mata. Tidak ada satu pun goresan dari penciptaannya. Tidak ada setitik debu pun dari gunung.
Li Xian berdiri di tengah hamparan kesempurnaan yang luas itu, memegang sapu bambu.
Dia mencoba menyapu.
Skreee.
Bulu-bulu sapu yang kasar meluncur di atas permukaan yang sehalus cermin, tidak mengambil apa-apa. Itu adalah suara yang paling membuat frustrasi di dunia.
"Ini... ini bodoh," gumamnya pada dirinya sendiri setelah satu jam tidak melakukan apa-apa selain menggoreskan bambu di atas batu. Keringat menetes di wajahnya, bukan karena usaha fisik, tetapi karena tekanan psikologis.
Dia melihat ke arah Zhu Lao, yang sedang bersandar di pilar teras, mengamati ciptaan barunya.
"Zhu Lao," kata Li Xian, suaranya tegang. "Tidak ada debu! Apa yang harus kusapu?"
Zhu Lao menoleh padanya, wajahnya yang tampan tanpa ekspresi. "Jika tidak ada debu, lalu mengapa kau masih di sana? Kau seharusnya sudah selesai. Tapi kau belum. Jadi, jelas... kau belum menyapunya dengan benar."
Li Xian merasa ingin mencabut rambutnya. Ini adalah teka-teki yang tidak mungkin.
Zhu Lao mengabaikannya dan menoleh ke anggota kelompok lainnya. "Kalian semua juga butuh pekerjaan. Sekte ini tidak akan mengurus dirinya sendiri."
Dia menatap Mu Qing. "Pencuci Cangkir. Halaman sudah ada yang mengurus. Dapurku..." dia melirik ke dalam dapurnya yang sempurna, "...terlalu bersih. Itu membuatku tidak nyaman."
Dia menunjuk ke sebidang tanah subur di luar gerbang utama. "Pergi. Tanam sesuatu. Bunga, sayuran, ramuan spiritual... Aku tidak peduli. Buat tempat ini terlihat seperti ada yang hidup di sini, bukan hanya batu."
Mu Qing terkejut. Itu adalah tugas yang... normal. Dia mengangguk, mengambil cangkir yang telah dicucinya (yang sekarang menjadi tanggung jawabnya), dan berjalan ke petak tanah itu. Menyentuh tanah terasa lebih baik daripada ketegangan di halaman.
Zhu Lao menatap Tao Lin. Sang Master Pedang langsung berdiri tegak, gemetar karena antisipasi. "Leluhur! Tugas saya! Perintah apa pun!"
"Kau," kata Zhu Lao. "Terlalu berisik. Niat Pedangmu membuatku pusing. Tugasmu adalah duduk di sana," dia menunjuk ke batu datar di dekat tepi jurang, "jangan bergerak, dan jangan berpikir terlalu keras. Kau membuat angin di sekitarmu gugup."
Bagi orang lain, itu adalah penghinaan. Bagi Tao Lin, itu adalah perintah untuk bermeditasi dan menyelaraskan Dao-nya. "Ya, Leluhur! Saya akan menenangkan angin!" Dia segera melesat ke batu, duduk bersila, dan memejamkan mata, memasuki kondisi meditasi yang dalam.
"Shen Hu."
"Ya, Zhu Lao?" Shen Hu sudah selesai mengatur ubinya.
Zhu Lao menunjuk ke kompor batu yang dia ciptakan di sudut halaman. "Itu dapur luarmu. Jangan sampai apinya padam. Dan jangan sampai ubinya hangus."
Wajah Shen Hu bersinar. "Perintah yang paling bagus, Zhu Lao! Aku akan membuat ubi karamel terbaik!"
"Akhirnya," desah Zhu Lao, puas. "Damai."
Dia berbalik, jubah hitamnya berdesir, dan melangkah masuk ke dapurnya yang sempurna untuk akhirnya menyeduh secangkir teh yang telah dia rindukan sejak turun dari Takhta Semesta.
Pintu dapur tertutup.
Keheningan menyelimuti dataran tinggi. Hanya ada suara skreee... skreee... dari sapu Li Xian yang putus asa, dan senandung pelan Shen Hu.
Li Xian memejamkan mata, mencoba mengabaikan logikanya. Menyapu halaman yang bersih. Menyapu halaman yang bersih.
Apa yang harus disapu? pikirnya frustrasi. Bukan debu. Jadi apa?
Dia mencoba mengingat kata-kata Zhu Lao. Kau tidak melihat kisahnya. Kau tidak melihat alirannya.
Menyapu... aliran Qi?
Dia mencoba lagi. Kali ini, dia tidak mendorong sapu. Dia mencoba merasakan energi gunung saat dia bergerak. Skreee... Tetap tidak ada.
Menyapu... pikiranku sendiri? Membersihkan niatku?
Dia mencoba lagi, membersihkan pikirannya dari frustrasi. Skreee...
Tiba-tiba, dia berhenti.
Udara berubah.
Bukan angin. Bukan suhu. Itu adalah... rasa di udara. Qi spiritual yang kaya dan murni dari gunung tiba-tiba terasa... tercemar.
Ada bau seperti karat dan besi tua. Bau darah kering.
"Shen Hu," panggil Li Xian pelan. "Kau mencium itu?"
Senandung Shen Hu berhenti. Dia mengendus. "Bau. Bau busuk. Bukan ubi."
Di petak tamannya, Mu Qing berdiri, belati kecilnya sudah ada di tangannya. Di atas batu meditasinya, mata Tao Lin terbuka lebar, dipenuhi dengan niat membunuh.
Ssssrriiipp...
Itu adalah suara kain yang robek, tapi suaranya datang dari udara itu sendiri.
Sekitar tiga puluh meter dari gerbang utama, di dekat tepi jurang, sebuah retakan hitam bergerigi muncul di angkasa. Retakan itu kecil, tidak lebih besar dari manusia, dan berdenyut dengan cahaya merah marun yang sakit-sakitan.
Tangan kurus berwarna merah kehitaman mencengkeram tepi retakan itu.
Dengan suara tarikan yang basah, sesosok makhluk menyeret dirinya keluar dari ketiadaan.
tapi kulitnya tampak seperti daging kering yang ditarik erat ke tulang. Matanya adalah lubang hitam yang dipenuhi kebencian murni, dan mulutnya terbuka menganga, memperlihatkan gigi-gigi seperti jarum. Itu adalah Iblis Darah tingkat rendah, tertarik seperti ngengat ke api oleh ledakan energi kehidupan murni dari penciptaan "Sekte Langit Abadi".
Iblis itu mendesis, merasakan energi yang kaya di dataran itu.
Ia melihat Tao Lin (Ranah Raja ancaman). Ia melihat Mu Qing (kultivator es mengganggu). Ia melihat Shen Hu (aura kuat tapi aneh membingungkan).
Lalu ia melihat Li Xian.
Lemah. Muda. Ranah Perunggu. Mangsa.
Dengan jeritan yang menusuk telinga, Iblis Darah itu melesat melintasi dataran, mengabaikan yang lain, meluncur lurus ke arah Li Xian.
Li Xian membeku. Ini adalah aura yang sama dari desanya, tetapi seratus kali lebih kuat. Dia tidak bisa bergerak. Dia secara naluriah mengangkat sapu bambunya untuk bertahan.
"BERANINYA KAU MENGOTORI TANAH SUCI INI!" raung Tao Lin, menghunus pedangnya. Tapi dia terlalu jauh.
Cakar iblis, yang meneteskan racun hitam, tinggal beberapa inci lagi dari wajah Li Xian.
KLING!
Suara itu sangat kecil. Jernih.
Iblis Darah itu membeku di tengah lompatan.
Ia melihat ke bawah dengan bingung. Sebuah sendok teh perak biasa tertanam di tengah dahinya, menembus tengkoraknya yang keras.
Pintu dapur terbuka dengan pelan.
Zhu Lao berdiri di ambang pintu, wajahnya yang tampan kini gelap gulita karena amarah. Di tangannya, dia memegang cangkir porselen Mu Qing, yang mengepulkan uap harum.
"Aku," katanya, suaranya yang merdu bergetar karena jengkel, "sedang mencoba menikmati secangkir teh pertamaku dalam seratus ribu tahun."
Iblis Darah itu tidak meledak. Itu tidak berteriak.
Itu hanya... larut. Tubuh iblis itu mengering menjadi tumpukan abu hitam pekat, seolah setiap titik kehidupan dan energinya telah dihisap oleh sendok teh itu.
Abu itu jatuh ke halaman batu giok putih yang bersih.
Sendok teh itu jatuh dengan denting lembut di atas abu.
Li Xian jatuh terduduk, terengah-engah, masih mencengkeram sapunya.
Zhu Lao berjalan melewatinya, tidak meliriknya. Dia mengambil sendok tehnya, membersihkannya di jubah hitamnya yang sempurna, dan memasukkannya kembali ke jubahnya.
Dia tidak melihat ke arah murid-muridnya yang terguncang. Dia melihat ke tempat iblis itu muncul.
Retakan ruang merah itu masih ada. Berdenyut pelan. Stabil.
Zhu Lao menyesap tehnya.
"Ah," katanya pelan, nadanya bukan lagi marah, tapi penuh keingintahuan yang dingin. "Jadi, itu sebabnya tempat ini memiliki Qi yang begitu padat. Ada lubang pembuangan semesta di halaman belakangku."
Dia menoleh ke Li Xian, yang masih duduk di tanah, gemetar.
"Pekerjaanmu bertambah," kata Zhu Lao.
Li Xian mendongak, matanya yang bingung bertemu dengan mata abadi tuannya.
Zhu Lao menunjuk ke tumpukan abu hitam yang mengotori batu giok putihnya yang sempurna.
"Kau membuat halamanku kotor."
😍💪
💪