Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Dapur sore itu berubah seperti dapur hotel bintang lima. Aroma daging panggang yang berbaur dengan rempah dan mentega memenuhi udara. Mbok Surti, yang biasanya memasak sederhana, hari itu menyiapkan hidangan mewah atas permintaan Hilda.
Di atas meja panjang, deretan hidangan tampak menggiurkan: sepiring besar beef wellington dengan lapisan pastry keemasan yang mengilap, udang galah bakar madu yang ditata rapi di atas piring porselen putih, dan sop buntut bening yang harum dengan taburan seledri dan bawang goreng.
Di sudut meja lain, salad segar dengan keju parut dan saus vinaigrette tersusun cantik di mangkuk kaca, sementara mashed potato lembut dengan saus gravy kental memenuhi mangkuk saji. Tidak lupa, kue tiramisu berlapis cokelat ditaruh di tengah meja sebagai hidangan penutup.
Amira terpaku sesaat melihat pemandangan itu. "Mbok, hari ini menunya banyak sekali. I-ini gak salah, Mbok?"
Mbok Surti hanya tertawa kecil sambil menata gelas kristal untuk minumannya. "Tidak, Non." Gelengnya. "Hari ini anak bungsu Bapak, pulang dari luar negri. Atas permintaan Ibu, si Mbok masak banyak buat makan malam sekarang ini."
"A-anak bungsu?" Amira mengernyitkan dahi.
Siapa? Batin Amira. Ia tidak pernah tahu sebelumnya kalau Hendra memiliki anak bungsu. Padanya, sejauh yang ia tahu, rumah ini tidak pernah menampilkan jejak siapa pun selain Hendra, Angga, dan Hilda. Tidak ada foto keluarga yang menempel di dinding yang bisa ia perhatikan diam-diam, hanya pigura besar berisi lukisan pemandangan, dan beberapa foto formal Hendra bersama kolega bisnisnya.
Amira berusaha mengingat kembali, mencoba menautkan potongan-potongan cerita yang pernah ia dengar dari Mbok Surti atau Hilda. Namun, tak ada satu pun yang menyebut tentang sosok anak bungsu itu.
“Ma-maaf, Mbok … ma-maksudnya anak bungsu Om Hendra itu siapa, ya?” Tanyanya ragu, suaranya nyaris seperti bisikan.
Mbok Surti sempat berhenti sejenak. Tangannya yang memegang sendok sayur ikut terhenti di udara. Ia menatap Amira dengan sorot matanya yang teduh. "Den Satria, Non."
Amira tersentak saat nama itu disebut.
"Sudah dua tahun Den Satria di luar negri." Lanjut Mbok Surti. "Kepulangannya mendadak sekali, memang. Baru malam tadi Den Satria kasih kabar, Non."
Mas Satria.
Amira terpaku, seolah telinganya menolak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia tak salah mendengar nama itu disebut berulang-ulang oleh Mbok Surti. Nama yang selama ini hanya tersimpan di relung hatinya, nama yang pernah ia coba kubur bersama masa lalu—kini muncul kembali di tengah rumah ini.
Jantung Amira berdegup kencang. Jemarinya tanpa sadar meremas ujung dress yang ia kenakan. Ada rasa tak menentu yang menyeruak—antara rindu yang tak semestinya dan takut pada kenyataan yang menunggu setelah ini.
Tak lama, terdengar suara derum mobil memasuki pekarangan rumah, melintas pelan di atas kerikil yang berderak lembut di bawah ban. Mbok Surti melongok sekilas, wajahnya terlihat tegang namun segera ditutupi dengan senyum tipis. “Sepertinya itu Den Satria." Gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Mbok Surti segera meletakkan sendok sayur yang sedari tadi digenggamnya, lalu mengusap kedua tangannya pada celemek lusuh yang menutupi pinggangnya. Sedangkan, Amira hanya mengangguk pelan. Kakinya terasa berat untuk melangkah, namun tanpa sadar, ia mengikuti gerak Mbok Surti menuju ruang tamu.
Dari balik bayangan lampu ruang tamu, sosok pria berperawakan tegap berdiri tenang. Wajahnya sebagian tertutup bayangan, namun garis rahang dan sorot matanya yang tajam sudah familiar dan tidak pernah lagi terlihat.
"Den Satria," Begitu Mbok Surti memanggilnya.
Satria menoleh dengan senyum sumringah begitu melihat sosok pembantu rumah yang sudah lama tak ia jumpai itu. "Mbok, sehat?"
Mbok Surti tersenyum lebar, matanya sedikit berkaca-kaca. “Alhamdulillah sehat, Den. Den Satria akhirnya sudah pulang dengan selamat." Ucapnya sambil menggenggam lengan kokoh Satria. "Den tunggu ya, si Mbok panggil Ibu sama Bapak dulu."
"Iya, Mbok." Angguk Satria.
Tak ada yang berubah selama ia pergi. Sorot matanya membaur ke segala penjuru rumah, menyapu tiap sudut yang dulu begitu akrab. Lukisan-lukisan yang terpajang pun masih tetap sama seperti dulu. Dengan backpack yang masih menggantung di pundaknya, ia kembali melangkah semakin masuk ke dalam rumah, seakan setiap pijakan kakinya menahan beban rindu dan cerita yang belum sempat ia ungkapkan.
Amira. Langkahnya yang perlahan membawa ia ke ruang tamu, mendadak terhenti saat mendapati Satria berdiri di sana. Sosok yang selama ini ia rindukan kini hadir di depan mata. Seperti mimpi—terlalu nyata untuk dianggap khayalan, namun terlalu sulit dipercaya bahwa akhirnya mereka kembali dipertemukan di bawah atap yang sama.
Dadanya berdegup kencang, seolah waktu yang pernah terhenti kini berdesakan keluar bersama semua kenangan yang dulu ia simpan rapat-rapat. Bibirnya ingin mengucap sesuatu, namun hanya udara yang lolos dari tenggorokannya. Ia tak tahu harus menyambut dengan senyum atau air mata.
Terlebih, ketika pria itu menoleh ke belakang dan mata mereka saling bertemu. Seketika dunia di sekitarnya seolah lenyap, menyisakan hanya detik-detik yang terasa begitu panjang. Hatinya bergetar hebat, seperti terhempas kembali ke masa lalu—ke setiap janji yang tak sempat terucap, ke luka yang pernah mereka tinggalkan begitu saja.
“A-Amira!” Suara Satria pecah, terdengar lebih parau dari yang ia bayangkan.
Satria melangkah mendekat, langkahnya sedikit terburu-buru seakan takut Amira akan lenyap jika ia tak segera meraihnya. Senyum tipis mulai terbit di sudut bibirnya, senyum yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun selain pada kekasihnya itu.
Di saat yang sama, Satria memeluk erat tubuh Amira, melepas rasa rindu yang selama ini selalu tertahan dan kini tumpah dalam balutan kehangatan yang begitu sangat ia harapkan. Seperkian detik, Amira membiarkan pelukan itu.
Satria tidak berubah. Aroma parfumnya yang selalu ia rindukan masih sama. Namun bagaimana dengan hatinya jika tahu ia telah menikah dengan Angga?
Amira tak bisa membayangkannya. Namun, secepat itu pula air matanya jatuh, merembas membasahi wajah. Mata yang selalu memancarkan aura kebahagiaan dihadapan Satria, kini justru menjadi bumerang yang menyakitkan.
Satria perlahan melepas pelukannya, seolah enggan benar-benar melepaskan kehangatan yang baru saja ia rasakan. Jemarinya terhenti di bahu Amira sebelum akhirnya ikut terlepas.
Ia menatap lurus ke wajah Amira—tatapan yang dalam, seolah ingin menghafal kembali setiap lekuk raut yang selama ini hanya hadir dalam ingatannya. Matanya berkilat lembut, namun ada sesuatu yang tertahan di balik sorot itu: rindu yang terlalu lama dipendam, juga kata-kata yang tak sempat terucap di masa lalu.
“Amira…” Panggilnya pelan, nyaris berbisik, seakan takut suaranya merusak momen yang rapuh itu.
Suara itu—suara yang selama ini Amira rindukan saat namanya terucap oleh Satria—mengalun lembut di telinganya. Namun kini, hanya dengan mendengarnya saja, pertahanan yang selama ini ia bangun runtuh seketika.
Amira semakin terisak, bahunya bergetar menahan tangis yang benar-benar tak lagi bisa ia sembunyikan. Air matanya jatuh begitu saja, mengalir tanpa izin, membasahi pipinya yang dingin. Seolah setiap butir air mata membawa pulang kenangan lama yang tak pernah benar-benar hilang.
"Hey," Jemari Satria begitu lembut mengusap air mata yang membasahi wajah kekasihnya.
Entah sudah berapa lama Amira tak pernah lagi merasakan air matanya diusap Satria. Sentuhan itu dulu selalu mampu menenangkan hatinya, namun kini terasa asing.
"Kamu kenapa nangis? Apa ucapanku menyakitimu?" Ungkap Satria lembut. Kalimat yang dulu pernah ia ucapkan ketika Amira selalu menangis dihadapannya. "Aku merindukan kamu, Amira."
"Mas Satria," Isak Amira. Matanya berbinar, penuh permohonan. Penuh kerinduan. Penuh harapan. Tapi, takut kehilangan.
Saat jari-jari Satria perlahan menyentuh pipinya, Amira terpejam sesaat, membiarkan sentuhan itu menyapu sisa air mata yang terus mengalir. Ada hangat yang merambat, mengusir dingin yang selama ini ia rasakan di sudut hatinya.
Satria menatapnya lekat, jemarinya masih berhenti di sisi wajah Amira. “Kamu masih sama,” Bisiknya lirih, suara yang nyaris tenggelam di antara detak jantung yang berpacu. "Aku mohon jangan menangis lagi. Sekarang aku di sini."
Amira terkesiap saat mendengar langkah kaki seseorang datang mendekat. Seketika ia tersadar dari momen yang barusan terjadi. Dengan gerakan spontan, ia menyingkirkan lengan Satria dari wajahnya, seolah ingin menghapus jejak kedekatan mereka yang sempat terbangun.
Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan lagi karena rindu, melainkan karena gugup. Ia melangkah setengah mundur, matanya cepat melirik ke arah sumber suara langkah itu, berharap sosok yang muncul tidak akan menimbulkan pertanyaan apa pun.
Satria yang masih berdiri di depannya hanya terdiam, menyadari perubahan mendadak dalam sikap Amira. Tatapannya yang tadi lembut perlahan memudar, digantikan dengan gurat heran dan sedikit kecewa.
"Satria!" Seru Hendra muncul dari salah satu ruangan bersama Hilda yang berjalan di sampingnya.
Satria segera berdiri tegak. Senyum kecil terbit di wajahnya, menyembunyikan kerinduan yang sulit diucapkan. "Papa."
Tanpa banyak bicara, Hendra langsung merengkuh Satria ke dalam pelukan yang hangat namun terasa begitu asing setelah sekian lama tak bertemu. Tepukan tangannya di punggung Satria terdengar mantap, seolah ingin memastikan bahwa anaknya benar-benar ada di hadapannya.
Satria terdiam sejenak di dalam pelukan itu, merasakan sesuatu yang dulu jarang ia dapatkan—kehangatan dari seorang ayah. Sudut bibirnya terangkat perlahan, senyum kecil muncul tanpa sadar.
“Selamat datang di rumah, Nak,” ucap Hendra pelan, suaranya berat namun mengandung kelegaan yang tak bisa ia sembunyikan.
Hilda yang berdiri di sisi mereka hanya memperhatikan dengan tatapan sendu, sementara Amira diam mematung, menyaksikan momen itu dengan hati yang berdesir aneh.
“Akhirnya kamu pulang, Satria,” Tambah Hilda dengan senyuman lembut yang jarang ia tunjukkan.
“Ma…” Ucap Satria sambil menoleh ke arah Hilda. Suaranya terdengar bergetar, seolah ada banyak hal yang ingin ia katakan namun tertahan di tenggorokan. Perlahan ia melepaskan diri dari pelukan Hendra dan menghampiri Hilda.
Satria menunduk sedikit kemudian, menatap wajah ibunya dengan raut yang penuh rindu. “Ma, aku rindu,” Lanjutnya lirih, kemudian meraih tangan Hilda dengan hati-hati, seperti khawatir sentuhan itu akan mengusik perasaan yang rapuh di antara mereka.
"Mbok Surti sudah menyiapkan makan malam untuk kita. Ada masakan kesukaan kamu juga." Ungkap Hilda.
Satria mengangguk dengan senyum sumringah. Meski bukan ibunya sendiri yang memasak, aroma dan rasa masakan Mbok Surti selalu mampu membuatnya merasa pulang sepenuhnya. Ada kenangan masa kecil yang seakan kembali hadir setiap kali ia menyantap hidangan dari tangan wanita tua itu.
"Satria, ada sesuatu yang ingin Papa sampaikan sama kamu." Lanjut Hendra.
Satria mengangguk sambil melirik Amira yang sedari tadi hanya menunduk menyembunyikan kesedihannya. "Aku juga, Pa!" Katanya sambil berusaha menangkap wajah kekasihnya itu. "Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan juga ke Papa dan Mama."
Hendra tertawa lepas, suaranya memenuhi ruang tamu yang sejak tadi terasa kaku. Dengan gerakan tangan yang mantap, ia mempersilakan mereka semua untuk duduk.
Hendra dan Hilda memilih duduk berdampingan di sofa panjang, tampak seperti pasangan yang mencoba memulihkan kehangatan keluarga setelah sekian lama. Sementara itu, Amira melangkah perlahan menuju sofa di hadapan mereka, menunduk sedikit untuk menyembunyikan kegugupannya.
Satria mengikuti di belakangnya, lalu duduk di sisi Amira. Ada jarak tipis di antara mereka, namun hawa yang memancar jelas tak bisa disembunyikan—ada cerita lama yang terpendam di balik diamnya keduanya.
Hendra menyandarkan punggung, menatap ke arah Satria dengan sorot bangga bercampur haru. “Bagaimana studi kamu disana?"
Satria mengangguk. "Semua berjalan lancar, Pa. Aku sekarang mendapat gelar yang aku inginkan."
"Syukurlah." Ucap Hendra penuh kelegaan. "Ada satu perusahaan yang sengaja Papa simpan untuk kamu. Sesuai janji Papa, Papa pengen kamu yang pegang langsung setelah ini.”
Satria mengangguk penuh kebahagiaan dan kelegaan hati yang sulit untuk disembunyikan dari raut wajahnya, sesekali juga ia melirik Amira di samping, seolah ingin mengatakan langsung bahwa harapan yang dulu sempat tertunda kini sebentar lagi akan mereka genggam dengan kebahagiaan yang akan segera mereka capai bersama. "Pa, Ma. Aku ingin bicara—”
"Oh ya, Satria." Potong Hendra. "Papa hampir lupa." Matanya menatap lurus Amira yang sedari tadi hanya diam menunduk. "Ini Amira. Istri Kakak kamu, Angga. Kakak Ipar kamu."
Satria terkejut dengan alis sedikit terangkat. "I-istri? Ma-maksud Papa?"
Satria melirik Amira lalu matanga tertuju lagi pada Hendra.
"Sebenarnya, Angga sudah menikah dengan Amira dua tahun lalu. Papa tidak sempat mengabari kamu karena pernikahan ini serba dadakan."
Satria mendesis, napasnya tercekat seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Matanya membulat, menatap ayahnya dengan campuran keterkejutan dan ketidakmengertian. "I-Ini gimana maksudnya gimana, si? Pa-Papa bercanda?"
"Papa serius, Nak." Ungkap Hendra.
Satria berpaling sebentar, membiarkan tawa pahitnya lepas tanpa bisa ia kendalikan. Suara itu ringan, tapi menyimpan rasa frustasi dan campuran emosi yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. Setelah beberapa detik, ia menatap Hendra lagi, matanya penuh dengan pergolakan batin—antara tidak percaya, bingung, dan sedikit perlawanan. "Papa ini apa-apaan, si. Amira ini—"
"Wanita yang gak pantas untuk Kakak kamu, kan?" Potong Hilda tiba-tiba, suaranya tajam namun terkendali. Sejak tadi ia hanya diam, mengamati, tapi kini kata-kata itu terpaksa ia lepaskan, menegaskan pendapatnya yang selama ini tersembunyi.
Amira menelan ludah, tubuhnya menegang. Kata-kata Hilda menusuk lebih dalam daripada yang ia duga, meninggalkan rasa sakit yang sulit ditutupi. Sedangkan, Satria menatap ibunya dengan mata membara, terkejut sekaligus kesal karena Hilda—yang selama ini selalu tampak dingin—baru saja melontarkan kalimat yang menghentak.
Hendra melirik Hilda. "Ma,"
Hilda menatap balik suaminya dengan sorot mata yang tajam, menegaskan posisinya. Ada ketegasan dan sedikit amarah yang tersirat di balik tatapan itu, seakan berkata bahwa pendapatnya tak bisa diabaikan begitu saja. "Papa bisa lihat sendiri kan, bagaimana ekspresi Satria saat tahu Amira ini istrinya Angga? Satria sendiri bisa menilai Amira ini wanita seperti apa yang kurang pantas untuk menjadi istrinya Angga, Pa!"
"Ma, jaga ucapan Mama."
Hilda mendengus kesal, lalu berdiri dari sofa. “Terserah, Papa!” Ujarnya tegas sebelum melangkah pergi, menapaki lantai dengan langkah cepat yang penuh emosi.
Hendra segera bangkit, wajahnya tegang, dan berteriak pelan, “Ma, tunggu! Kita harus bicara!” Ia mengejar Hilda, dan tak lama kemudian keduanya menghilang dari pandangan, meninggalkan ruang tamu yang kini sunyi dan hampa.
Meninggalkan Satria dan Amira duduk terpaku, terjebak dalam kebisuan yang aneh. Kata-kata yang baru saja terucap, ketegangan yang baru saja meletup, dan kepergian Hilda—semuanya meninggalkan ruang kosong yang terasa berat. Amira masih menunduk, merasakan debar jantungnya yang tak beraturan, sementara Satria hanya menatap lurus ke depan, berusaha menenangkan dirinya meski hatinya masih berkecamuk.
"Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" Kata Satria kemudian.
Amira gemetar, terisak pelan, lalu dengan susah payah ia mengangkat wajahnya. Di saat yang sama, ia mulai memberanikan diri menatap Satria, meski hanya dari sisi samping. "Mas, aku bisa jelasin semuanya,"
Satria mendesis pahit, napasnya tersengal seakan menahan amarah dan kekecewaan yang mendadak muncul. Kedua jemarinya perlahan mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri yang bergejolak. "Jadi benar?"
"Ma-Mas Satria,"
Satria menelan lagi saliva. Matanya mulai tertuju pada Amira, sorotannya campur aduk antara frustrasi, rindu, dan kebingungan. "Kamu ingat apa yang dulu aku ucapkan sebelum aku pergi?" Lirihnya bergetar. "Apa ucapanku itu main-main, Amira?"
"Mas, ini gak seperti yang kamu—”
"Ini seperti yang aku lihat sekarang!" Potong Satria, nadanya sedikit meninggi. "Aku bilang, meski aku tidak pernah berani berjanji. Tunggu aku kembali. Tapi ..." Satria mendesis pahit. "Kamu memang wanita yang ... rendah dan tidak punya harga diri sebagai seorang wanita!"
Kata-kata itu seperti cambukan yang mencekik Amira. Tubuhnya menegang, napasnya tersendat, dan air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Hatinya terasa remuk, dihantam oleh penghakiman yang tajam dan menyakitkan dari orang yang selama ini ia cintai.
Satria menatapnya dengan mata yang menyala oleh amarah dan kekecewaan, seakan semua perasaan yang ia pendam selama bertahun-tahun meledak dalam satu kalimat itu.
"Kamu salah paham, Mas." Ucap Amira di sela isak tangisnya. "Ini gak seperti yang kamu pikirkan. Aku dengan Mas Angga terpaksa menikah karena sesuatu hal, Mas. Aku mohon dengarkan penjelasan aku dari awal, Mas."
Satria menggeleng pelan, wajahnya tegang. Ia berpaling dan berdiri, meninggalkan sofa dengan langkah berat. “Aku benar-benar kecewa sama kamu, Amira,” Ucapnya, suaranya bergetar tipis tapi penuh kepedihan. “Wanita yang aku harapkan menunggu aku pulang, ternyata tidak seperti yang aku bayangkan."
Amira ikut beranjak.
“Mulai detik ini, hubungan kita sudah berakhir,” lirih Satria, suaranya tenang namun penuh ketegasan, seperti palu yang menegaskan keputusan yang tak bisa dibatalkan. “Meski kita tinggal dalam satu atap, jangan pernah anggap kalau kamu mengenalku.”
Amira terguncang, hatinya tak sanggup membiarkan Satria begitu saja pergi. Dengan gemetar, ia meraih lengan pria itu, menggenggamnya dengan lembut penuh permohonan. "Ma-Mas Satria,"
Satria menatap Amira sejenak, kemudian perlahan menyingkirkan jemarinya yang menggenggam lengannya. Gerakannya tegas namun tidak kasar, seolah ingin memberi jarak yang jelas antara mereka. Tanpa menoleh lagi, ia berbalik lalu melangkah pergi, meninggalkan Amira berdiri terpaku di tempatnya.
Ruang tamu yang tadinya sarat tumpahan rasa rindu yang menjalar kini terasa hampa, hanya suara langkah Satria yang bergema di lantai, meninggalkan kesunyian yang menusuk hati Amira.
****