Yuna seorang dokter muda jenius di pindah tugaskan ke area baku tembak.. Dan pertemuannya membawa nya pada Kenzi sosok dokter senior yang kaku dan dingin... Serta Jendral dari base musuh, menjadi cinta segitiga yang rumit..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kembalinya sang jendral
Pagi itu, cahaya matahari musim dingin menyusup melalui celah kecil di jendela besi ruang isolasi. Udara terasa dingin, tapi ada kehangatan samar yang tercipta di dalam ruangan kecil itu. Yura terbangun perlahan, matanya masih berat, dan mendapati dirinya masih bersandar di dada bidang Mark. Jenderal itu sudah terjaga, duduk dengan punggung tegak meski luka cambukan di punggungnya jelas membuatnya sakit.
“Bangun,” suara Mark berat, rendah, tapi hangat. Tangan besarnya menepuk lembut bahu Yura. “Kau harus pergi sebelum patroli pertama datang. Davis sudah menunggu di luar.”
Yura mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca karena enggan berpisah. “Kau… kau yakin aku bisa keluar tanpa ketahuan? Mereka tidak akan menaruh curiga?”
Mark menatapnya dalam, manik hijaunya seperti menembus ketakutan Yura. “Aku sudah atur semuanya. Kau hanya perlu berjalan cepat dan jangan menoleh. Davis akan menyamar sebagai pengawalmu.”
Yura menggigit bibirnya, ragu. “Tapi kau… kau akan sendirian lagi di sini. Setelah apa yang mereka lakukan padamu…” Tatapannya jatuh ke punggung Mark yang masih dibalut perban, bekas darah samar terlihat di ujung kain. “Aku benci meninggalkanmu.”
Mark tidak banyak bicara. Ia mengangkat tangan besarnya, menyentuh rahang Yura dengan gerakan tegas namun lembut, memaksa gadis itu menatapnya. “Jangan benci. Aku di sini bukan karena mereka menang, tapi karena aku memilih jalanku sendiri. Dan kau… harus kembali. Aku tidak mau melihatmu ikut terseret dalam hukuman yang bukan untukmu.”
Yura menunduk, air matanya jatuh. “Aku tidak peduli hukuman itu, Mark. Aku… hanya peduli padamu.”
Mark menahan wajahnya, tatapan tajamnya melembut sejenak. Tanpa banyak kata, ia menunduk, memberikan kecupan singkat di kening Yura. Hangat, singkat, namun cukup untuk membuat jantung Yura berdegup kencang.
“Ini bukan perpisahan,” suara Mark terdengar seperti perintah, bukan sekadar penghiburan. “Ini hanya… aku memastikan kau kembali dengan selamat. Aku akan menyusulmu ke Namura setelah aku keluar dari tempat ini. Jadi jangan menangis.”
Yura menatapnya dalam-dalam, matanya berkilat. “Kau janji?”
Mark menatap lurus ke dalam matanya, tegas. “Aku tidak pernah menarik kembali janji.”
Ia kemudian berdiri, mengenakan seragamnya yang masih kaku dengan sisa bau darah kering. Dengan hati-hati, ia membantu Yura berdiri, menarik tudung tebal ke atas kepala gadis itu untuk menutupi wajahnya. Mereka bergerak cepat ke pintu belakang ruang isolasi, di mana Davis sudah menunggu dengan ekspresi waspada.
Davis memberi anggukan kecil pada Mark. “Jalur aman. Dua menit ke kendaraan, setelah itu kita lepas pantau sampai ke batas kota.”
Mark menahan bahu Yura sejenak, menariknya lebih dekat, sehingga hanya mereka berdua yang mendengar. “Jangan kembali ke sini. Jangan bodoh lagi menyusup. Kalau ada yang kau butuhkan… kirim pesan lewat Davis. Mengerti?”
Yura hanya mengangguk, meski air matanya hampir jatuh lagi. Ia mencoba tersenyum tipis, namun gagal. “Jaga dirimu… Jenderal keras kepala.”
Mark menahan wajahnya sekali lagi, menunduk, kali ini bibirnya menyentuh bibir Yura dengan kecupan singkat, tegas namun dalam. Bukan kelembutan yang biasa, melainkan pengingat bahwa ia serius—bahwa meski mereka berpisah, ikatan itu nyata.
Begitu kecupan itu berakhir, ia mendorong Yura perlahan ke arah Davis. “Pergi. Sekarang.”
Davis meraih lengan Yura, membimbingnya dengan cepat menembus lorong gelap, hingga keluar menuju kendaraan lapis baja kecil yang menunggu di belakang. Yura menoleh sekali, hanya sekali, dan melihat Mark berdiri di pintu isolasi, tegap meski punggungnya penuh luka, tatapannya tajam namun menyimpan sesuatu yang membuat dada Yura sesak—tekad.
Kendaraan itu melaju, meninggalkan markas pusat yang dingin, membawa Yura kembali ke perjalanan panjang menuju Namura. Di dalam kendaraan, Yura menunduk, menyentuh bibirnya yang masih terasa hangat dari kecupan Mark.
Di kejauhan, Mark berbalik masuk ke ruang isolasi, pintu besi menutup kembali di belakangnya. Seolah apa pun yang baru saja terjadi hanyalah kilasan singkat di dunia keras yang tak mengenal belas kasih. Tapi di balik sikap dinginnya, tatapannya sedikit melembut—karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada seseorang yang membuatnya ingin bertahan.
________
Debu beterbangan saat konvoi militer asing memasuki wilayah perbatasan Namura. Deru mesin kendaraan lapis baja bercampur dengan sorakan tegang para pasukan yang berjaga. Dari kejauhan, bendera hitam-merah pasukan Mark berkibar, tanda bahwa sang jenderal akhirnya kembali setelah berminggu-minggu ditahan di markas pusat Kanada.
Di pos medis, Yura sedang memeriksa pasien bersama Yuda dan Fara ketika suara itu terdengar—deru kendaraan asing. Semua mata beralih ke arah jalan utama, dan bisik-bisik langsung menyebar di kalangan tentara Namura.
“Jenderal Mark kembali…” bisik salah satu perawat lokal.
“Bukannya dia baru saja dihukum cambuk? Bagaimana dia masih bisa memimpin pasukan?”
“Aku dengar dia… punya alasan khusus kembali ke sini. Bukan hanya soal perang.”
Bisikan itu menyebar lebih cepat daripada angin. Nama Yura disebut-sebut beberapa kali, membuatnya menggigit bibir, menunduk pura-pura sibuk menulis catatan medis.
Namun, Mina—yang baru saja kembali ke pos setelah beberapa minggu menghilang—tersenyum sinis mendengar gosip itu. Ia menyilangkan tangan, matanya yang penuh kilatan licik langsung menatap Yura.
“Aku kira gosip itu hanya bualan,” suara Mina lantang, sengaja agar semua orang mendengar. “Ternyata benar, ya? Dokter jenius kebanggaan kota ternyata punya kebiasaan… tidur di tenda camp musuh.”
Ruangan seketika hening.
Yuda langsung mendongak, wajahnya tegang. Fara menoleh dengan mata melebar, sementara Amar yang baru masuk membawa kotak obat langsung menghentikan langkahnya.
Yura membeku di tempatnya, pena di tangannya jatuh. Ia mendongak, menatap Mina dengan pandangan terkejut dan marah. “Apa maksudmu, Mina?” suaranya bergetar, campuran amarah dan rasa malu.
Mina melangkah mendekat, senyumnya semakin lebar. “Oh, jangan pura-pura polos. Semua orang di sini sudah mendengar. Kau menghilang semalaman, dan siapa yang kau temani? Jenderal Mark, di camp-nya. Kau pikir kami semua bodoh, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
“Mina, cukup,” Yuda memotong, berdiri di depan Yura. “Jangan bicara seolah kau tahu segalanya.”
Mina mendengus, menatap Yuda dengan tatapan tajam. “Oh, jadi kau membelanya? Kau juga tahu, kan? Apa yang dilakukan Yura di sana? Atau mungkin… kau ikut menutup-nutupi?”
Amar meletakkan kotak obat dengan suara keras di meja. “Mina, diam. Kau sudah kelewatan.”
Namun Mina tidak berhenti. Ia melangkah lebih dekat pada Yura, suaranya meninggi hingga terdengar oleh semua orang di pos. “Atau… mungkin memang benar dia sudah tidak suci lagi. Gadis kecil kesayangan Namura ini ternyata tidak lebih dari—”
BAM!
Suara pintu pos medis dibanting terbuka keras. Semua kepala menoleh serentak. Di sana, berdiri sosok tinggi dengan seragam hitam-merah khas, mantel panjang berayun karena angin. Mark. Manik hijaunya yang tajam menyapu seluruh ruangan, membuat semua orang otomatis mundur setengah langkah.
Ia melangkah masuk, seolah setiap langkahnya membawa beban medan perang bersamanya. Sorot matanya berhenti pada Mina yang masih berdiri dengan dagu terangkat, lalu beralih pada Yura yang terlihat gemetar.
“Mina.” Suara Mark berat, dalam, namun tenang dengan nada berbahaya. “Apa yang baru saja kau katakan?”
Mina tersentak, tetapi mencoba mempertahankan sikap angkuhnya. “Aku hanya… mengatakan apa yang semua orang pikirkan, Jenderal. Bahwa dokter kesayanganmu ini—”
BRAK!
Mark menghantam meja terdekat dengan telapak tangannya. Getaran keras membuat botol obat berjatuhan. Semua orang terkejut, termasuk Mina yang mundur setengah langkah.
“Mulutmu terlalu lancang untuk seseorang yang bahkan tidak berani berdiri di garis depan,” suara Mark dingin, tajam, setiap kata terasa seperti cambukan. “Kau menuduh tanpa bukti, menjelekkan namanya di depan semua orang. Itu… kesalahan yang tidak akan ku toleransi.”
Mina membuka mulut, hendak membalas, tetapi Mark sudah melangkah maju, berdiri hanya beberapa langkah darinya. Sorot mata hijau itu menusuk, membuat napas Mina tercekat.
“Kalau kau ingin bicara tentang kehormatan seseorang,” Mark menunduk sedikit, suaranya turun menjadi nada berbahaya, “pastikan kau punya kehormatanmu sendiri terlebih dahulu. Dan kalau kau berani lagi menyebut namanya dengan hinaan, aku akan pastikan kau dikeluarkan dari pos ini… dengan caraku.”
Ruangan hening.
Tak seorang pun berani berbicara. Bahkan suara kipas angin tua di langit-langit terdengar jelas.
Mark kemudian berbalik, matanya beralih pada Yura. Untuk sesaat, ketajaman di matanya melembut, meski hanya sedikit. Ia mengulurkan tangannya pada Yura, tanpa bicara. Yura menatap tangannya, ragu, tapi akhirnya meraih tangan besar itu.
Mark menuntunnya keluar dari pos medis, melewati tatapan heran dan takut dari semua orang. Di luar, angin sore Namura bertiup kencang, membawa aroma debu dan tanah basah.
Yura menggenggam tangannya erat, masih bisa merasakan detak jantungnya yang cepat. “Kau… tidak perlu melakukan itu, Mark. Aku bisa hadapi Mina sendiri.”
Mark menoleh, manik hijaunya menatapnya tajam, namun ada kilatan sesuatu di sana—perlindungan, dan sedikit… rasa bersalah. “Aku tidak peduli siapa dia. Siapa pun yang berani menjatuhkanmu di hadapanku… akan menyesal.”
Yura terdiam, menatapnya, dadanya berdebar kencang. Ia ingin bicara, tapi tidak ada kata yang keluar. Mark menariknya lebih dekat, menunduk sedikit.
“Biarkan mereka bicara,” gumamnya pelan, hanya terdengar oleh Yura. “Karena hanya kau yang tahu… dan aku yang tahu… apa yang sebenarnya terjadi. Dan tidak ada seorang pun yang bisa menyentuhmu selama aku di sini.”