SANG JENDERAL
“Yura, kamu dipanggil ke ruang Pak Rinaldi. Katanya penting banget.”
Fara berdiri di ambang pintu ruang dokter sambil melipat tangan, wajahnya sudah terlihat khawatir.
Yura mengangkat kepalanya dari laporan pasien. “Sekarang? Aku baru turun dari ruang operasi, Far. Kamu lihat jam berapa ini?”
Fara mengangkat bahu. “Kalau aku sih, ogah disuruh naik ke ruangannya sendirian. Mukanya udah kayak awan badai dari tadi.”
Yura mendesah, menutup map laporan. “Kalau dia ngomel, aku titip shift malam sama kamu, ya.”
“Eh?! Jangan gitu juga, Ra. Aku kan cuma kurir pesan!”
Yura hanya melempar tatapan datar sebelum melangkah keluar. Koridor rumah sakit sore itu masih sibuk, suara sepatu beradu dengan lantai marmer bergema samar. Ia mengetuk pintu bertuliskan Rinaldi – Manajer Rumah Sakit.
“Masuk,” suara berat itu terdengar singkat.
Begitu masuk, suasana langsung terasa dingin. Rinaldi duduk tegap di balik meja besar, tangannya mengetuk-ngetuk map cokelat. Matanya menatap Yura dari balik kacamata tipisnya.
“Duduk, Dokter Yura,” katanya, nada suaranya datar tapi penuh tekanan.
Yura menarik kursi dan duduk. “Ada apa, Pak? Saya masih ada beberapa pasien pascaoperasi—”
Rinaldi menyodorkan map ke arahnya. “Lusa, kau berangkat ke Desa Namura. Penempatan darurat.”
Yura menatapnya, dahi berkerut. “Namura? Itu zona konflik, Pak. Ada pemberontakan di sana. Pemerintah bahkan mengirim pasukan militer ke daerah itu. Ini bukan penempatan sipil biasa.”
“Pemerintah butuh tim medis. Kau, Fara, Yuda, dan Amar sudah masuk daftar. Helikopter jemputan akan menunggu kalian di pangkalan udara.”
Yura meletakkan map itu pelan, menatap Rinaldi lurus. “Kenapa saya? Ada banyak dokter senior yang bisa berangkat. Saya baru saja menangani operasi besar dua hari lalu. Pasien saya—”
Rinaldi menyandarkan punggung, menyilangkan tangan. Senyumnya tipis, hampir seperti ejekan. “Kau dokter bedah paling jenius di sini, katanya. Media suka menulis tentangmu. Jadi… buktikan bahwa kau layak dengan semua pujian itu.”
“Ini… hukuman, ya?” Yura menatapnya tajam.
“Anggap promosi.” Rinaldi menegakkan tubuh. “Kalau kau menolak, tidak apa-apa… tapi lisensi medis-mu bisa kami evaluasi ulang. Mengerti?”
Yura mengepalkan tangan di pangkuannya. “Baik. Saya ikut.”
“Bagus. Briefing besok pagi. Jam tujuh. Jangan telat.”
Koridor kembali terasa bising saat Yura keluar dari ruang manajer. Fara, Yuda, dan Amar sudah menunggunya di dekat lift.
“Gimana?” tanya Yuda, ekspresinya datar.
Yura hanya menatap mereka sebentar.
“Lusa kita berangkat ke Namura. Zona konflik. Helikopter jemputan disiapkan.”
Fara hampir menjatuhkan ponselnya. “Apa?! Ra, lu serius? Namura itu… bahkan berita bilang banyak baku tembak di sana!”
Amar menyelipkan tangan ke saku celananya. “Wah, seru nih. Hidup cuma sekali, kan?”
“Seru apanya, Mar?!” Fara melotot. “Kita bukan tentara! Kalau ditembak, kita mati beneran!”
Yura menatap ke depan, suaranya tenang tapi tegas. “Kita nggak punya pilihan. Kalau ada yang mau mundur, mundur sekarang. Tapi aku berangkat.”
Tak ada yang menjawab. Mereka hanya saling pandang, sampai akhirnya Amar mengangkat tangan. “Ya udah lah. Siapin mental aja. Semoga kita nggak mati muda.”
**
Keesokan harinya, mereka berdiri di pangkalan udara. Suara baling-baling helikopter menderu kencang.
Fara menggenggam ranselnya erat. “Kenapa gue merasa kita kayak dikirim ke neraka?”
Yuda menatap peta digital di tangannya. “Karena mungkin memang begitu.”
Amar tertawa tipis. “Santai aja. Kalau mati, kita mati bareng. Nggak sepi di kuburan.”
Fara mendelik. “Amar, sumpah, gue timpuk!”
Yura hanya diam, pandangannya lurus ke arah helikopter. “Ayo. Waktu jalan.”
Mereka menaiki helikopter. Suara mesin memekakkan telinga, angin berhembus kencang. Hutan-hutan lebat terlihat di bawah, terbentang sejauh mata memandang.
Beberapa jam kemudian, helikopter mendarat di lapangan tanah yang dijaga ketat. Suara tembakan samar terdengar dari kejauhan. Para tentara berlarian, beberapa menggotong peti amunisi, yang lain bergegas ke pos jaga.
Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang pria tinggi dengan jas dokter hitam berjalan mendekat. Gerakannya tegas, wajahnya kaku. Mata hitamnya tajam, kulitnya pucat, rambut hitam lurus rapi. Akira Kenzi.
“Kalian tim baru?” suaranya dingin, tanpa basa-basi.
Yura maju satu langkah. “Ya. Saya Yura. Ini Fara, Yuda, Amar—”
“Tak perlu perkenalan panjang,” potong Kenzi. “Di sini, semua kerja. Kalau mau hidup, ikuti perintah saya. Mengerti?”
Amar berbisik pelan ke Yuda, “Serius nih, ini dokter apa komandan?”
Tatapan Kenzi beralih cepat ke Amar. Amar langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
Dari arah tenda, seorang wanita berjalan anggun. Rambut cokelat panjang, seragam medis yang terlihat seperti sengaja dirapikan. Mina.
Senyumnya ramah, tapi matanya meneliti Yura dari ujung kepala sampai kaki.
“Jadi ini Yura? Dokter kota yang katanya jenius?”
Yura mengangguk sopan. “Kita satu tim, kan? Senang bertemu.”
Mina tersenyum tipis. “Semoga kau tahan lama di sini. Dan… saran kecil, jangan terlalu dekat dengan Kenzi. Dia tidak suka orang baru.”
Yura menatapnya datar. “Aku ke sini untuk kerja. Bukan cari masalah.”
Mina mengangkat alis sebelum berbalik. “Kita lihat saja.”
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Langit sore mulai berwarna jingga saat konvoi tiga mobil militer berangkat dari pos Namura menuju pos wilayah utara. Jalan tanah berlumpur berliku-liku, hutan lebat mengapit di kiri kanan. Suara mesin diesel berat bergemuruh di udara.
Di mobil kedua, Yura duduk di bangku tengah bersama Fara, Yuda, dan Amar. Tentara bersenjata duduk berjejer di sisi lain, senjata siap di pangkuan.
Fara menggigit bibir bawahnya. “Kenapa rasanya kita lagi dibawa ke medan eksekusi?”
Amar bersandar santai, kakinya hampir menyentuh senjata salah satu tentara. “Karena… mungkin kita emang lagi dibawa ke medan eksekusi, Far. Hidup tuh singkat, nikmatin aja.”
Fara mendelik. “Serius, Mar? Gini caramu nenangin orang?”
Yuda, seperti biasa, menatap peta di tablet tanpa menoleh. “Secara statistik, kalau konvoi diserang di rute ini, kemungkinan kita selamat… lima puluh persen.”
Fara menatapnya tajam. “Terima kasih, Yud. Itu sangat membantu.”
Yura yang sedari tadi diam akhirnya bicara, suaranya pelan tapi tegas. “Kita bukan ke sini buat cari mati. Fokus aja. Kalau ada apa-apa, dengarkan perintah tentara. Jangan sok pahlawan.”
“Ya ngomong ke diri lo sendiri, Ra,” Amar mendecak. “Lo yang paling gampang sok pahlawan.”
Yura menoleh cepat, menatapnya sekilas. Amar langsung pura-pura menatap jendela.
Suasana hening beberapa detik, hanya suara mesin dan ranting yang patah dilindas roda. Tentara di depan memberi aba-aba singkat lewat radio. “Wilayah aman. Lanjut.”
Namun, ketenangan itu hancur.
DUARRR!!
Ledakan keras mengguncang udara. Mobil pertama yang memimpin konvoi terlempar ke samping, api menyembur dari kap mesinnya. Tanah dan batu beterbangan. Suara teriakan tentara memenuhi udara.
“Serangan!” teriak sopir mobil kedua. Kendaraan berhenti mendadak. Tentara segera keluar, menodongkan senjata ke segala arah.
Fara langsung menunduk, memeluk ranselnya. “Gue tau… gue nggak mau ikut!”
Amar menatap ke luar jendela. “Wah, fix kita disergap. Seru nih.”
“Diam, Mar!” Yura sudah menyiapkan tas medisnya. Napasnya cepat, tapi matanya fokus.
Dari balik hutan, puluhan sosok berseragam hitam keluar dengan langkah teratur. Senjata otomatis terarah. Mereka bergerak rapi, berbeda dari pemberontak biasa. Suasana mendadak hening saat seorang pria muncul di depan barisan.
Tinggi. Tegap. Jas tempur hitam berbeda dari pasukannya. Wajah tegas, rahang kokoh. Rambut hitam sedikit berantakan, namun matanya—mata hijau tajam—berkilat seperti baja.
Mark Valen.
Ia berjalan pelan, tapi setiap langkahnya terasa berat, mendominasi. Suaranya terdengar jelas meski tanpa pengeras suara, berat dan bergema.
“Drop your weapons.”
Tak ada teriakan. Tak ada ancaman tambahan. Hanya perintah. Dan entah bagaimana, semua tentara pemerintah di sana ragu-ragu menurunkan senjata.
Amar berbisik nyaris tak terdengar ke Yuda, “Suara cowok itu… kayak bass speaker. Gue aja pengen nurut.”
Yuda tidak menoleh. “Diam, atau kita beneran mati.”
Sementara semua orang kaku, Yura mendengar suara lain—rintihan. Seorang tentara tergeletak beberapa meter dari mobil, darah deras mengalir dari perutnya.
Yura tahu otaknya berkata diam di tempat, tapi tubuhnya bergerak tanpa pikir panjang. Ia meraih tas medis, berlari ke arah prajurit itu.
“Yura!” Fara berteriak dari belakang.
“Balik! Lo mau mati?!”
“Ra, gila apa lo?!” Amar ikut berteriak.
Yuda mengumpat pelan. “Dia beneran nekat…”
Yura berlutut di samping prajurit itu. Tangan cekatannya langsung bekerja—mencari sumber perdarahan, menekan luka, menyiapkan perban darurat. Ia menutup telinganya dari suara tembakan di kejauhan. Fokus hanya pada denyut nadi pasien.
Tiba-tiba, cahaya di atasnya tertutup bayangan besar.
Yura mendongak.
Mark berdiri tepat di hadapannya.
Jarak mereka tak sampai dua langkah. Senjata otomatis Mark diarahkan ke bawah, tepat ke Yura. Semua tentara dan dokter menahan napas.
Yura bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Tapi tangannya tidak berhenti menekan perban di tubuh tentara yang hampir pingsan.
“Please… dia harus dibawa ke tenda. Dia bisa mati kalau—”
Mark menunduk sedikit. Tatapannya menusuk, mata hijaunya menyapu wajah Yura dari atas ke bawah, bukan sekadar mengancam—tapi menilai.
Suara Mark rendah, dalam, dan terasa bergetar di dada.
“Name.”
Yura menelan ludah. “Yura.”
Mark menatapnya lama, lama sekali. Hening di sekeliling. Bahkan desingan peluru di kejauhan terasa menjauh.
Amar berbisik sangat pelan ke Yuda. “Gue rasa cowok itu nggak bakal nembak dia. Lo liat nggak tatapannya?”
Yuda balas berbisik, “Itu bukan tatapan musuh… itu tatapan predator.”
Mark akhirnya menurunkan senjatanya. Ia menoleh ke pasukannya dan berkata singkat.
“Fall back.”
Seolah perintah itu hukum mutlak, semua pasukan hitam mundur teratur tanpa suara. Tak ada tembakan lagi. Dalam beberapa detik, mereka menghilang ke balik hutan, meninggalkan medan yang hening.
Mark tidak langsung pergi. Ia menatap Yura sekali lagi—tatapan yang membuat bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu dalam sorot mata itu: dingin, berbahaya… tapi juga seperti menandai.
Baru setelah puas, Mark berbalik dan berjalan pergi, langkahnya mantap, pasukannya mengikuti dari kejauhan.
---
Mobil-mobil konvoi akhirnya bergerak lagi, membawa tentara yang terluka dan para dokter kembali ke pos utama. Fara duduk di samping Yura, wajahnya pucat.
“Ra… lo tau nggak tadi nyawa lo setipis rambut?”
Amar bersandar lemas. “Gue sumpah… gue hampir pipis di celana.”
Yuda hanya menatap Yura. “Lo sadar, kan? Itu jenderal musuh. Dan dia nggak bunuh lo. Malah mandang lo… kayak…”
“Jangan dilanjutin,” potong Yura cepat. “Aku cuma dokter. Itu aja.”
Tapi di dalam hatinya, jantung Yura masih berdegup kencang. Bukan karena takut… tapi karena tatapan mata hijau itu masih terpatri jelas di benaknya.
Di pos medis, suasana menegang lagi. Kenzi menatap Yura tajam, kedua lengannya bersilang.
“Kau sadar betapa bodohnya lari ke tengah medan tembak?”
Yura menatap balik. “Kalau aku diam, prajurit itu mati.”
“Kau bisa ikut mati. Dan aku tidak suka kehilangan anggota tim.”
Dari sudut tenda, Mina bersandar santai, menyunggingkan senyum miring.
“Atau mungkin… dia nggak akan mati. Jenderal musuh itu kan… sepertinya punya minat khusus.”
Yura menoleh cepat. “Mina, jangan bercanda.”
“Siapa yang bercanda?” Mina tertawa pelan. “Mata hijau, tatapan tajam… aku yakin dia nggak lihat siapa-siapa selain kamu.”
Kenzi menatap Mina dingin, lalu kembali ke Yura.
“Kalau dia muncul lagi… kau jangan jauh dariku. Mengerti?”
Yura mengangkat alis. “Kau takut aku diseret?”
Kenzi mendekat setengah langkah, suaranya rendah. “Aku hanya tidak mau, tim ku dalam bahaya”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments