Safeea dan ibunya sudah lama hidup di desa. Setelah kematian ibunya, Safeea terpaksa merantau ke kota demi mencari kehidupan yang layak dan bekerja sebagai pelayan di hotel berbintang lima.
Ketika Safeea tengah menjalani pekerjaannya, ia dibawa masuk ke dalam kamar oleh William yang mabuk setelah diberi obat perangsang oleh rekan rekannya.
Karena malam itu, Safeea harus menanggung akibatnya ketika ia mengetahui dirinya hamil anak laki laki itu.
Dan ketika William mengetahui kebenaran itu, tanpa ragu ia menyatakan akan bertanggung jawab atas kehamilan Safeea.
Namun benarkah semua bisa diperbaiki hanya dengan "bertanggung jawab"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Safeea menundukkan wajahnya, pipinya semakin memerah. Rasa malu dan gugup bercampur dengan debar yang begitu hebat di dadanya. Ia bahkan nyaris lupa bagaimana cara bernapas dengan benar. Namun ketika William kembali mendekat, setengah menindih tubuhnya dengan posisi yang penuh kehati-hatian agar tidak menekan perutnya, rasa takut itu sedikit demi sedikit sirna.
William menundukkan wajahnya, lalu tanpa berkata apa-apa, ia menurunkan ciumannya di puncak bukit kembar milik Safeea. Dengan lembut, William mengecup dan mengulumnya secara bergantian, seolah-olah ia ingin memberi perhatian penuh pada setiap bagian diri Safeea.
Safeea terperanjat. Jantungnya seperti berhenti sejenak, lalu berdegup jauh lebih cepat dari biasanya. Tubuhnya menegang lalu meluruh sepenuhnya, dan dari bibirnya keluar helaan napas yang tercekat. Kedua tangannya spontan meraih bahu William, seolah ingin menahan setiap kenikmatan yang ia rasakan sekaligus meminta William untuk tidak berhenti menyentuhnya.
“Pak… William…” lirihnya yang nyaris bergetar.
Momen itu membuat Safeea merasa dirinya benar-benar dimiliki dan dicintai sepenuhnya. Untuk pertama kalinya, ia tidak hanya menyerah pada perasaan, tetapi juga pada hangatnya kasih sayang William yang kini membanjiri seluruh tubuh dan hatinya.
Waktu demi waktu terus berlalu. Di luar, malam semakin larut dengan bulan yang menjadi penerang bagi langit yang terlihat gelap. Malam itu suasana terasa hangat dan romantis seolah olah menjadi saksi dua hati yang akhirnya melebur menjadi satu. Di dalam kamar itu, William dan Safeea masih terjebak dalam pelukan panjang, saling memberikan kehangatan yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya.
Tubuh mereka masih berpelukan, seakan ingin memastikan bahwa tidak ada lagi jarak yang memisahkan. Safeea menyandarkan wajahnya di dada William, mendengarkan detak jantung pria itu yang berpacu kencang namun terasa menenangkan. William pun merangkul tubuh Safeea erat-erat, seolah ia takut kehilangan momen berharga itu.
Sesekali, William menarik lembut tubuh Safeea ke arahnya hingga membuat Safeea berada di atasnya. Ia menatap wajah istrinya itu dengan penuh rasa kagum, lalu memberi kecupan singkat yang sarat kasih sayang kepada Safeea. Safeea menundukkan kepalanya namun tetap membalas pelukan William dengan sepenuh hati, membiarkan dirinya tenggelam dalam hangatnya lengan kokoh sang CEO yang tak lama lagi akan menjadi suaminya.
Dengan penuh hasrat, William tidak berhenti menyentuh Safeea. Jemarinya bergerak pelan, membelai punggung, bahu, dan lengan Safeea dengan penuh kelembutan, seakan ingin menghafal setiap lekuk tubuhnya. Bibirnya pun sesekali mengecup wajah Safeea, keningnya, bahkan jemari halus istrinya, hingga membuat Safeea tak kuasa menahan desahan lirih yang terus saja lolos dari bibirnya.
Safeea merasa seluruh tubuhnya seolah diliputi badai perasaan bahagia, berdebar, dan kenikmatan yang membuatnya kehilangan kendali. Ia menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya merespons setiap belaian William, dan di antara desahnya, ia hanya bisa merasakan bahwa dirinya kini benar-benar dicintai dan dimiliki sepenuhnya.
Dalam setiap helaan napas dan sentuhan, William selalu memastikan Safeea merasa aman. Ia mengeratkan pelukannya, membisikkan kata-kata cinta yang hanya terdengar oleh istrinya, seakan berjanji bahwa malam itu adalah awal dari cinta yang tak akan pernah ia lepaskan.
Malam itu seolah tidak memberi ruang bagi William dan Safeea untuk berpisah. Mereka masih saling berpelukan, saling memberi kehangatan, sampai akhirnya tubuh lelah mereka mulai ingin beristirahat.
Perlahan, kelopak mata William ikut menutup, tenggelam dalam rasa damai yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dalam diam, keduanya akhirnya terlelap, masih saling menggenggam erat seakan tak ingin dipisahkan oleh waktu.
....udah pasti kamu bakal hidup sangat berkecukupan.