Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belajar Menikmati kesunyian
Langit biru cerah menaungi halaman luas pesantren keluarga Azam. Hari libur itu, ia datang bersama dua wanita yang kini mengisi kehidupannya: Nayla dan Humairah.
Kehadiran mereka bertiga sontak menjadi perhatian. Para santri yang tengah menikmati waktu luang mulai saling berbisik, menyembunyikan rasa ingin tahu di balik senyum dan sapaan.
“Itu istri pertamanya, ya? Ustadzah Nayla...”
“Yang satunya itu... istri kedua. Cantik juga, ustadzah muda katanya.”
“Kenapa sih harus poligami? Padahal Ustadzah Nayla itu shalihah banget...”
“Ya, tapi katanya Bu Nayla nggak bisa punya anak, makanya rela...”
Bisik-bisik itu menyebar seperti angin. Bahkan tak sedikit yang mulai membagi posisi hati: ada yang memihak Nayla karena menganggap Humairah telah "masuk" dalam rumah tangga yang sudah sempurna, ada yang memihak Humairah karena melihat keikhlasannya dan sikap rendah hatinya, dan ada pula yang mendukung Azam karena dianggap adil dan bijak.
Tak pelak, hal ini sampai ke telinga para pengajar senior di pesantren.
Nayla dan Humairah sedang duduk berbincang dengan beberapa ibu nyantri dan pengurus putri.
Tiba-tiba ada yang nyeletuk.
“Afwan, Ustadzah Nayla, boleh saya bertanya sesuatu…?”
Nayla tersenyum ramah. “Tentu, silakan.”
“Apa Ustadzah benar-benar tidak merasa... disakiti? Dengan pernikahan kedua Ustaz Azam?”
Beberapa yang lain tampak kaget mendengar pertanyaan itu, namun Nayla tetap tenang. Ia menatapnya dengan lembut.
“Yang menyakitkan bukan poligaminya. Yang menyakitkan adalah jika cinta menjadi egois. Tapi saat semua dijalani dengan ilmu, iman, dan adab... luka menjadi jembatan untuk menuju keikhlasan.”
Sementara di ruang tamu pengasuh pesantren
Azam berbincang dengan Kiai Hasyim, pengasuh pesantren, pak leknya Azam.
“Azam, engkau sudah matang dalam ilmu dan kepemimpinan. Tapi ingat, kehidupan rumah tangga poligami akan selalu diuji. Bukan hanya dari luar, tapi dari dalam.”
Azam mengangguk. “Saya sadar, Kiai. Dan saya tidak ingin kehilangan kepercayaan dari siapa pun, terutama dari kedua istri saya.”
“Kalau begitu, tetaplah kamu jaga dua hal: adab dan keadilan. Karena cinta saja tak cukup. Dan jangan lupa mendidik umat dengan teladan, bukan hanya kata-kata.”
Setelah seharian di pesantren, mereka kembali ke rumah dengan lelah yang tak hanya fisik, tapi juga emosional. Azam memutuskan mengantar Nayla terlebih dulu dan singgah sebentar, lalu kembali ke rumah Humairah bersama istri mudanya.
Di ruang tamu, ketiganya duduk dalam diam sesaat. Uap teh di cangkir mengepul, tapi tak ada yang segera menyesap.
“Tadi… pertanyaan mereka itu cukup menyentuh ya,” ucap Nayla perlahan, memecah sunyi.
“Iya, Aku tidak menyangka, Mbak,” sambung Humairah pelan. “Ada yang menatapku seperti aku mencuri tempat yang bukan milikku.”
Azam menarik napas panjang. “Itu ujian. Ujian
yang tidak bisa kita cegah, tapi bisa kita hadapi bersama. Kalian berdua sudah sangat luar biasa hari ini.”
Nayla menoleh, tersenyum kecil. Tapi ada kerikil tajam di dadanya. Ia menyadari, seberapa pun dia ikhlas… tetap ada rasa yang tak bisa dibohongi.
Esok Harinya, Rumah Humairah
Humairah yang merasa ada perubahan hormon pada dirinya memutuskan untuk tes urin.
Humairah menatap alat tes di tangannya dengan degup jantung yang tak karuan. Dua garis merah. Jelas. Tak samar. Tangannya gemetar, air mata menitik tanpa bisa ia cegah.
“Ya Allah…"
Dengan langkah tak pasti, ia mencari Azam yang sedang di halaman belakang, memeriksa pot bunga. Saat Azam melihat wajah istrinya pucat bercampur tangis, ia langsung menghampiri.
“Sayang, kenapa?”
Humairah menggenggam erat alat tes itu, lalu menyerahkannya ke tangan Azam. Hening. Hanya suara burung dan desir angin pagi yang mengisi ruang kosong di antara mereka.
Azam membeku. Mata berkaca. Ia menatap istrinya lama, lalu merengkuh tubuh mungil itu dalam pelukannya.
“Alhamdulillah… Humairah…”
Tangis bahagia mereka pecah dalam pelukan.
Beberapa Hari Kemudian, Rumah Nayla
Azam memutuskan untuk memberi tahu Nayla sendiri. Ia tahu, kabar ini akan membawa badai sunyi dalam hati wanita yang telah bertahun-tahun menemaninya.
Nayla menyambutnya dengan wajah cerah seperti biasa, meski sorot matanya bertanya.
“Aku mau bicara, Nay…”
Nayla duduk, tangan rapi di pangkuannya.
“Humairah… hamil.”
Seketika wajah Nayla membeku. Senyumnya padam. Waktu seperti berhenti sejenak. Ia menunduk, mencoba merapikan raut wajah, tapi Azam bisa melihat kelopak matanya yang mulai memerah.
“Alhamdulillah…” lirihnya. “Itu… kabar yang indah, dan kita nantikan...”
Azam tahu Nayla tengah menahan diri. Ia ingin memeluknya, tapi Nayla segera bangkit berdiri. Tak berkata apa-apa, ia hanya melangkah pelan ke dapur, berpura-pura membuat teh. Namun di balik temaram dapur, Nayla menutup mulutnya, menangis dalam diam.
Malam Hari, Kamar Nayla.
Nayla menatap langit-langit kamar, matanya sembap. Doanya malam ini berbeda. Tangisnya lirih namun mendalam.
“Ya Allah… jika ini takdirku, kuatkan lah aku. Jangan jadikan aku cemburu atas karunia-Mu kepada Humairah… Tapi jujur, ya Rabb… hatiku sakit. Bukan karena aku membencinya… tapi karena aku tahu… aku tak akan bisa memberikannya untuk suamiku…”
Hari-hari pertama kehamilan Humairah dipenuhi perubahan. Ia sering mual, lemas, dan lebih sensitif secara emosional. Azam dengan sigap mendampinginya. Ia lebih sering berada di rumah Humairah, sekarang. Membantu segala keperluannya, menenangkan saat tangisnya datang tiba-tiba karena perubahan hormon.
Azam teratur membagi waktu. Ia menetapkan jadwal yang adil dan selalu menginformasikan pada kedua istrinya dengan terbuka.
Namun, ketika malam-malam tertentu ia harus menemani Humairah karena kondisi kehamilan yang melemah, ia menghubungi Nayla lebih awal.
“Nayla… malam ini aku tak bisa pulang, Humairah mual parah. Mohon maaf ya…”
Dan Nayla selalu menjawab dengan tenang.
“Jaga dia baik-baik,Mas. Aku doakan ibu dan bayi kalian sehat.”
Namun setelah telepon ditutup, senyum Nayla memudar. Ia tahu, malam-malam seperti ini akan sering terjadi. Dan ia sedang belajar membiasakan diri untuk tak lagi menjadi pusat dunia suaminya.
Tak ingin larut dalam kesedihan, Nayla memutuskan untuk kembali aktif. Ia membuka kembali majelis kecil di rumahnya setiap Jumat sore untuk para ibu muda. Ia juga rutin mengisi kajian tasawuf di musala komplek. Ketika berbicara di depan jamaah, ia tetap tersenyum, matanya tetap hangat. Namun sesekali, ada suara yang gemetar saat membahas ikhlas dan qanaah.
Suatu hari, selesai kajian, salah satu ibu bertanya,
“Ustadzah Nayla, kenapa Ustadzah kelihatan lebih bersinar sekarang? Bahagia sekali.”
Nayla tersenyum. “Karena saya sedang berusaha berdamai dengan takdir. Dan saat kita berhenti melawan takdir, di situ kita menemukan ketenangan.”
Malamnya, Nayla duduk sendiri di teras rumah. Hawa dingin menyelimuti. Tapi dalam hatinya ia tahu, hangatnya cinta Allah akan selalu cukup untuk menyelimutinya.
Di antara sibuknya menjaga Humairah, Azam tak pernah lalai memberi perhatian pada Nayla. Di waktu-waktu tertentu, ia menyempatkan mampir ke rumah Nayla. Selalu membawa oleh-oleh, dan selalu membawa kabar.
“Aku tahu kamu sedang berjuang lebih keras daripada siapa pun, Nay…”
Nayla hanya tersenyum.
“Aku hanya berusaha tidak kalah dari hatiku sendiri,Mas...”
Sunyi setelahnya tak ada obrolan lanjutan, hanya suara desiran angin.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan