Sania pernah dihancurkan sampai titik terendah hidupnya oleh Irfan dan kekasihnya, Nadine. Bahkan ia harus merangkak dari kelamnya perceraian menuju titik cahaya selama 10 tahun lamanya. Sania tidak pernah berniat mengusik kehidupan mantan suaminya tersebut sampai suatu saat dia mendapat surat dari pengadilan yang menyatakan bahwa hak asuh putri semata wayangnya akan dialihkan ke pihak ayah.
Sania yang sudah tenang dengan kehidupannya kini, merasa geram dan berniat mengacaukan kehidupan keluarga mantan suaminya. Selama ini dia sudah cukup sabar dengan beberapa tindakan merugikan yang tidak bisa Sania tuntut karena Sania tidak punya uang. Kini, Sania sudah berbeda, dia sudah memiliki segalanya bahkan membeli hidup mantan suaminya sekalipun ia mampu.
Dibantu oleh kenalan, Sania menyusun rencana untuk mengacaukan balik rumah tangga suaminya, setidaknya Nadine bisa merasakan bagaimana rasanya hidup penuh teror.
Ketika pelaku berlagak jadi korban, cerita kehidupan ini semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konfrontasi
Sania sedang duduk bersama Robert di ruang kerja Sania dengan tumpukan kertas desain dan moodboard proyek terbaru.
“Aku sudah cek latar belakang usaha Nadine,” kata Rob sambil menyerahkan berkas. “Usaha yang dia ajukan ke grup ayahnya sangat bergantung pada approval keluarga. Kalau bisa dibuktikan dia memanipulasi kondisi keluarga hanya demi proyek ... itu bisa merugikan reputasinya besar-besaran.”
Sania sedikit mengangkat wajahnya dari kertas desain yang ia pelajari. Mengambil berkas yang Rob berikan untuk dibaca. "Ini—?"
"Benar," jawab Rob sambil menyeruput kopi yang ia bawa dari luar, dua cup, satu untuk Sania. "Itu draft awal desain skincare Nadine yang dihancurkan oleh anak buah Irfan! Bayangkan sendiri apa yang terjadi di rumah tangga mereka saat ini!"
Sania tersenyum kecil. "Jadi, Nadine ingin memakai logo buatanku, dan berniat menghancurkan aku lewat Mutiara?"
"Kurang lebih begitu." Rob masih tampak terpengaruh rasa kopi yang sangat enak ini. "Begini, kalau aku tidak salah duga, Nadine selama 10 tahun belum memiliki anak karena alasan tersembunyi, lalu karena Irfan memiliki anak, jadi lebih baik pakai anak yang dimiliki Irfan, toh semua demi kebaikan bersama."
"Jadi maksudmu, ayah Nadine setuju Nadine mengasuh anak tirinya?" Sania merasa janggal disini. "Apa ini tidak terlalu sembrono bagi Brooch?"
Rob mengendikkan bahu. "Aku sendiri tidak tahu kenapa Brooch setuju."
Sania kemudian termangu memikirkan hal ini. Kalau Brooch juga mengincar Mutiara, artinya dia belum aman untuk saat ini. Sania menelan ludah karena diam-diam merasa cemas.
Namun, melihat semua proyek ini, Sania memikirkan satu hal. Meski anak tidak bisa dinilai dengan apapun, tapi apapun akan Sania lakukan agar Mutiara tetap bersama dengannya.
"Rob, aku akan buat iklan untuk Brooch sebaik mungkin, sehingga nanti aku bisa menukarnya dengan kebebasan Mutiara." Sania mengemukakan ide awalnya. Rob mungkin bisa membantu.
"Aku menyarankan kamu mundur, Sania! Ini terlalu berbahaya." Rob pikir, Brooch sudah memancing lewat penyalahgunaan hak paten tapi Sania tidak merespon, namun, ketika bersangkutan dengan Mutiara, Sania merespon sangat cepat. Brooch pasti memang sudah tahu siapa dibalik kursi CEO Lumivia yang sedang tren belakangan.
"Tapi, jika aku pergi, Brooch tetap akan mengejarku sampai dapat." Sania khawatir. Kabur itu melelahkan, sungguh. Lebih baik menghadapi secara langsung meski harus mempertaruhkan nyawa.
"Sania, tak seorangpun luput dari incaran Brooch—"
"Kalau gitu, aku akan jadi yang pertama." Sania bertekat. "Lagipula, aku ingin tahu apa motif Brooch. Kenapa dia ingin sekali menguasai usaha kecil seperti ini?"
Rob juga penasaran, tapi berurusan dengan orang licik, kecuali dia memiliki akal yang sama liciknya, akan sangat susah sekali menghadapinya.
Rob tidak berkata apapun, tapi menatap Sania dengan tatapan yang susah dijelaskan. Ada banyak yang ingin Rob katakan, tapi ia tidak mau mempengaruhi pemikiran Sania.
...
Dua hari penuh Sania sibuk dengan audisi produk skincare. Ia mempersiapkan kemasan, logo, moto, hingga menggabungkan tema yang ingin klien usung kali ini. Meski Sania tidak tahu harus memberi saran dari mana, tapi sepertinya, konsep bundling ini kurang menarik. Lebih baik tetap menelurkan 2 produk yang berbeda. Selera anak jaman sekarang tidak bisa diatur oleh orang tua meski tujuannya untuk kebaikan.
Sania menulis beberapa koreksi di konsep usulan klien, memperbaikinya sembari menunggu pemilik brand tiba.
Sementara itu, Nadine berjalan cepat menuju ruang rapat. Di belakangnya ada Irfan yang juga ikut andil dalam audisi agar terlihat fair.
Namun, perang dingin di antara mereka, membuat Nadine sedikit ingin menuntut balas. Selama dua hari keduanya tidak bertegur sapa dan pisah kamar.
Hari ini pun sama, bedanya, Nadine berdandan begitu sempurna. Rambutnya tergerai sempurna, dan senyumnya tidak pernah lepas, seolah hari itu pengesahan kejayaannya. Validasi atas kecantikan, kerja keras, dan dedikasi pada kecintaannya akan perawatan wanita. Ia ingin Irfan melihatnya dari dekat betapa semua orang mengelu-elukan dirinya atas kesuksesan yang ia raih. Irfan—sementara itu, hanyalah pecundang.
"Mereka bilang presenternya sangat profesional dan sudah pernah kerja sama dengan perusahaan besar," gumam salah satu staf pada Nadine sebelum mencapai pintu ruangan.
"Semoga saja. Tapi siapa pun mereka, tetap aku yang pegang kendali," jawab Nadine sambil menatap pintu ruang rapat. Ia sangat penasaran dengan apa yang ada di balik pintu itu.
"Lumivia ikut andil juga, padahal mereka cukup tren akhir-akhir ini."
Nadine tersenyum miring. "Artinya CEO nya orang bijaksana, dimana ada uang, disana ada kesempatan besar. Pasti hanya orang yang memiliki insting bagus yang bisa mencium siapa di balik produk ini."
Nadine tersenyum ketika pintu ruang rapat terbuka. Lumivia adalah perusahaan pertama yang akan ia audisi hari ini.
Namun langkahnya terhenti seketika.
Di ujung meja, duduk seorang wanita yang tak asing. Dengan setelan putih gading, rambut disanggul rapi, dan sepasang mata teduh yang tak banyak bicara tapi menyimpan segalanya.
Sania.
Untuk beberapa detik, dunia Nadine seperti membeku. Ia tidak langsung bicara, matanya menyipit. Entah mengapa ia punya firasat tidak baik dengan adanya orang ini. Entah dia akan memancing emosi seorang Nadine atau membuat kejutan yang membuat dunia Nadine berantakan.
Wanita itu—haish!
"Apa ini semacam lelucon?"
Suara keras Nadine membuat penghuni ruangan menoleh cepat, kecuali Sania.
Sania menoleh perlahan. Tatapannya tenang. Meski ia kaget melihat Nadine disini, tapi ia langsung paham karena Max telah memberitahu semuanya lewat telepon kemarin.
Sembari berdiri, Sania melihat lagi lembar koreksi yang semula hanya untuk dirinya sendiri, kini ia berniat menyerang semua titik hingga Nadine sesak napas.
"Selamat pagi, Ibu Nadine. Saya diundang tim kreatif Anda untuk mempresentasikan desain kemasan hingga iklan untuk brand baru Anda." Sania tersenyum lembut, tapi tidak sampai menunduk. Untuk apa tunduk pada orang licik macam Nadine?
"Kau ... kau bekerja di Lumivia? Maksudku—tidak mungkin kau punya posisi sebaik ini mengingat kau ...." Nadine tidak jadi melanjutkan ucapannya. Hampir saja dia kelepasan bicara.
"Saya pemiliknya, kebetulan sekali." Sania sebenarnya tidak berniat mengungkapkan dirinya, tapi untuk Nadine, tes ombak sedikit lah, tidak apa-apa. Siapa tau kena stroke ringan dulu, sebelum kejang-kejang dan koma.
"Siapa?" Nadine tertawa mengejek, "tidak mungkin! Wanita kaya kamu? Jadi pemilik?"
Beberapa staf menunduk canggung, undangan yang hadir juga saling berpandangan.
"Tapi baiklah, mari kita lihat seberapa hebat wanita yang 10 tahun lalu hanya wanita posesif dan penuntut ini unjuk kebolehannya." Nadine segera duduk di kursinya, menyilakan Sania dengan angkuh untuk segera memulai presentasi.
Tanpa segan sama sekali, Nadine terus merendahkan Sania di depan orang banyak. Seharusnya, ia tidak bersikap begitu, mengingat siapa Nadine di sini. Menjaga kehormatan dan harga diri lebih baik meski permusuhan antara mereka tak bisa di damaikan.
Sania tersenyum sekilas. Ia segera mengambil pointer untuk memulai presentasi.
Irfan di belakang dibuat berdebar gila melihat Sania dari awal hingga presentasi di mulai. Istri—mantan, begitu mengagumkan.
Harusnya Nadine khawatir pada suaminya yang kini nyaris berliur melihat Sania.
Begitu Sania mengakhiri presentasi, Irfan berdiri tanpa sadar untuk memberi aplaus paling keras seakan Sania masih istrinya.
Nadine menoleh dan menggertakkan gigi. Dasar Irfan!
Rasanya ia ingin menimpuk Irfan dengan kursi saking kesalnya. Bisa-bisanya dia bertepuk tangan untuk wanita lain?
Semua orang tampak puas dengan apa yang Sania sampaikan.
"Ada beberapa hal yang harus saya koreksi dari apa yang Bu Nadine rumuskan!" Sania mulai melakukan serangan terukur. Sekilas, ia tersenyum dan melirik Nadine.
Merasa disebut namanya, Nadine segera pulih dari amarahnya. Ia tersenyum tipis, meski sebenarnya ia kesal pada dua orang ini. Sama-sama cari masalah.
"Bu Nadine bersedia mendengarkan?"
Semua orang mengangguk, kenapa tidak mendengar masukan orang yang berpengalaman?
Nadine berdecak, lalu tanpa daya ia menyetujui. "Katakan saja, tidak usah bertele-tele!"
"Mungkin karena saya adalah seorang ibu dengan seorang gadis remaja tinggal bersama saya, jadi saya tidak setuju dengan konsep bundling ini." Sania tersenyum agak senang. "Anak punya selera yang berbeda dengan ibu-ibu. Tentu komposisi produk juga mempengaruhi. Saya lihat, komposisi dua produk ini sama saja sementara kebutuhan nutrisi kulit ibu dan anak-anak itu berbeda sekali."
Audiens sepakat tanpa syarat. Minus dermatolog, yang hari ini absen hadir, tampaknya mereka sudah memikirkan ini tapi tidak berani bersuara.
"Anak-anak tidak butuh anti aging, Bu Nadine." Sania menunjuk pamflet komposisi di layar. "Mereka tidak punya kerutan untuk dikhawatirkan dan tidak punya flek untuk disamarkan!"
Nadine menggeram.
"Bundling ini semata-mata menarik di kemasan jika memakai desain saya. Kemasan besar dan kemasan kecil dan imut ini benar-benar kurang menguntungkan untuk jangka panjang, apalagi anak-anak mudah bosan!"
"Kalau begitu, buat saja kemasan yang ageless! Yang tetap diminati meski puluhan tahun sudah berlalu! Banyak kok desain itu-itu saja tapi tetap laris!" tukqs Nadine cepat.
"Kalau begitu, kita buat dua produk berbeda, Bu Nadine! Anda temui tim dermatolog anda, lalu racik skincare untuk anak-anak, nanti kita ubah desain untuk anak dengan kemasan ageless." Sania tersenyum lagi.
Nadine dibuat tidak punya pilihan. Maju dengan idenya pasti ditolak, mundur artinya ia menuruti apa mau Sania.
"Anda belum memiliki anak, wajar anda tidak memahami karakter anak dan hal-hal yang anak sukai meski itu jelas untuk produk kecantikan."
Nadine mengepalkan tangannya kuat-kuat dibawah meja. Sialan! Langkahnya terus saja di jegal. Pasti mereka iri dan ingin menghancurkan segala yang ia rintis.
...
Ketika akhirnya rapat selesai dengan ending menyebalkan, Nadine masih di ruangan, menunggu orang-orang keluar, menyisakan Sania dan dirinya di sini.
"Ternyata kamu masih belum puas, ya? Masih ingin dikagumi oleh Irfan? Masih haus validasi?"
Sania membalas dengan senyum kecil yang nyaris tak terlihat.
"Saya tidak ingin diakui atau harus dikagumi siapapun, Bu Nadine. Saya hanya menjalankan pekerjaan saya. Kebetulan saja ... kalian yang datang ke jalur saya."
Nadine mendesis, tapi tak bisa menjawab.
___
Semoga malam nanti bisa update, gess🩷
tp gk apa2 sih kl mau cerai juga, Nadine pasti nyesek🤣
Sifat dasar Nadine suka menghancurkan. Bukan hanya benda, pernikahan orang lainpun dihancurkan.
Dan sekarang rumahtangganya mengalami prahara akibat ulahnya yang memuakkan.