Lima abad setelah hilangnya Pendekar Kaisar, dunia persilatan terbelah. Pengguna tombak diburu dan dianggap hina, sementara sekte-sekte pedang berkuasa dengan tangan besi.
Zilong, pewaris terakhir Tombak Naga Langit, turun gunung untuk menyatukan kembali persaudaraan yang hancur. Ditemani Xiao Bai, gadis siluman rubah, dan Jian Chen, si jenius pedang, Zilong mengembara membawa Panji Pengembara yang kini didukung oleh dua sekte pedang terbesar.
Di tengah kebangkitan Kaisar Iblis dan intrik berdarah, mampukah satu tombak menantang dunia demi kedamaian, ataukah sejarah akan kembali tertulis dalam genangan darah?
"Satu Tombak menantang dunia, satu Pedang menjaga jiwa, dan satu Panji menyatukan semua."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Tiga Bayangan di Ujung Tombak
Setelah kemenangan telak atas Zhang Wei, suasana arena tidak lagi meremehkan. Kali ini, udara dipenuhi dengan ketegangan dan niat membunuh yang pekat. Panitia turnamen segera melakukan perubahan jadwal secara mendadak—sebuah taktik licik untuk menyingkirkan Zilong secepat mungkin.
"Pertandingan berikutnya!" teriak wasit, suaranya sedikit bergetar. "Zilong dari Gunung Sunyi melawan... Tiga Pedang Bayangan dari Sekte Pedang Langit!"
Gemuruh penonton meledak. Ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap aturan turnamen yang seharusnya satu lawan satu. Namun, di Kota Seribu Pedang, aturan bisa dibengkokkan demi menjaga gengsi.
"Tiga lawan satu? Curang sekali!" Xiao Bai berdiri dengan geram, tangannya sudah siap merobek jubahnya untuk berubah wujud.
Zilong menahan bahu Xiao Bai. "Tetaplah duduk, Xiao Bai. Mereka hanya butuh tiga peti mati, bukan satu."
Zilong melangkah ke tengah arena. Di depannya berdiri tiga pemuda dengan pakaian seragam biru perak. Mereka adalah saudara seperguruan yang terkenal dengan koordinasi serangan yang sempurna: Ling, Huo, dan Shan.
"Pendekar Tombak," ucap Ling, sang pemimpin kelompok, sambil menghunus pedang tipisnya. "Kau mungkin hebat satu lawan satu, tapi di hadapan Formasi Segitiga Bayangan kami, kau tak lebih dari mangsa yang terkurung."
Tanpa aba-aba, ketiganya melesat secara bersamaan.
Ling menyerang dari depan dengan rentetan tusukan cepat yang mengincar mata. Huo meluncur dari samping dengan tebasan rendah untuk memotong pergerakan kaki, sementara Shan melompat tinggi, bersiap menghujamkan pedangnya dari titik buta di atas kepala Zilong.
Zilong tidak bergeming. Ia hanya memegang tengah gagang tombaknya dengan satu tangan.
"Formasi yang bagus," gumam Zilong. "Tapi kalian terlalu bergantung pada kawan, hingga lupa memperkuat jiwa sendiri."
Saat ketiga pedang itu hanya berjarak beberapa inci dari tubuhnya, Zilong menghentakkan kakinya ke lantai.
BOOM!
Gelombang Qi biru terpancar dari pijakannya, menggetarkan lantai granit dan merusak ritme serangan mereka. Zilong memutar tombaknya secara vertikal dengan kecepatan yang melampaui pandangan mata.
TRANG! TRANG! TRANG!
Tiga benturan logam terdengar hampir bersamaan. Zilong menangkis serangan Ling, menendang pergelangan tangan Huo, dan menggunakan ujung tombaknya untuk menahan hujaman Shan di udara. Semuanya dilakukan dalam satu gerakan mengalir.
Zilong tidak memberi mereka napas. Ia memutar tubuhnya 360 derajat, menyapu lantai dengan ujung tombak yang dialiri energi dingin.
"Teknik Naga: Ekor Naga Menyapu Gurun!"
Huo yang berada di posisi rendah terlempar paling jauh, tubuhnya berputar-putar di udara sebelum mendarat keras di luar arena. Ling mencoba menusuk kembali, namun Zilong hanya menggunakan telapak tangan kirinya untuk menepis bilah pedang dan membalas dengan pukulan telak ke dada Ling.
Ugh! Ling memuntahkan darah dan jatuh berlutut.
Kini tersisa Shan yang masih berada di udara. Zilong menatapnya tajam, lalu melemparkan tombaknya ke atas—bukan untuk menusuk, melainkan untuk memutar gagangnya sehingga menghantam perut Shan seperti gada besi.
DHUAK!
Shan jatuh tersungkur di atas lantai arena, tepat di depan kaki rekan-rekannya yang sudah tak berdaya. Dalam waktu kurang dari satu menit, tiga pendekar elit sekte telah tumbang tanpa berhasil menyentuh sehelai pun rambut Zilong.
Zilong menangkap kembali tombaknya yang jatuh dari udara dengan gerakan yang sangat tenang. Ia berdiri di antara tiga tubuh yang merintih kesal, sementara jubahnya bahkan tidak terkena setetes debu pun.
"Kalian menyebut ini keahlian pedang?" tanya Zilong ke arah balkon para petinggi. "Jika pedang kalian hanya digunakan untuk mengeroyok yang satu, maka pedang kalian tidak lebih berharga dari besi tua."
Wajah Master Jian di balkon kehormatan tampak datar, namun di dalam hatinya, ia berteriak kegirangan. Pemuda ini... dia bukan hanya Pendekar Jiwa biasa. Dia memiliki pemahaman alam yang hampir mendekati ranah Pendekar Bumi!
Sementara itu, para petinggi lainnya menggertakkan gigi. Rencana mereka untuk mempermalukan Zilong justru menjadi panggung pamer kekuatan bagi pendekar tombak itu.
"Siapkan 'dia'," bisik salah satu tetua dengan wajah gelap. "Gunakan kartu as kita. Jangan biarkan bocah ini melihat matahari esok hari."
Zilong kembali ke tempat duduknya, mengabaikan tatapan ngeri dari para peserta lain. Perjalanan di turnamen ini baru saja memanas, dan musuh yang sebenarnya mulai keluar dari bayang-bayang.