para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
"Cepat buka..." Fahri mendesak, penasaran.
Valo dengan hati-hati membuka gulungan itu. Rambut dan sepotong kuku terlihat di bagian atas, tergeletak di antara kain putih usang.
"Ih, apa-apaan ini? Kayak ritual ilmu hitam! Gue pernah lihat di buku Baskoro, dia bahas hal-hal begini," seru Valo, bulu kuduknya merinding.
Tatapan tajam mereka tertuju pada Arin yang terisak, air mata membasahi pipinya. Keheningan mencekam, diselingi isak tangis dan kebingungan.
"Apa maksudnya ini, Rin?!" Queen berseru,
Dan kemudian, sebuah kejutan yang membuat rahang mereka ternganga. Sebuah foto Wati berada di dalam gulungan itu. Tidak ada yang mampu berkata-kata. Kepercayaan mereka hancur berkeping-keping.
Daffa, amarahnya meluap, mendekati Arin dan menariknya hingga tubuh mungil gadis itu tersentak. Matanya menyala penuh api.
"Jelaskan sekarang juga, Rin! Apa maksud semua ini? Apa lu yang melakukannya?"
Arin menggeleng, air matanya semakin deras. "Gue... gue gak bermaksud menyakiti kalian," lirihnya, suara hampir tak terdengar.
"Jadi, maksud lu, lu ingin menyakiti Baghawati?!" Queen menarik tangan Arin dengan kasar, amarah membutakan pikirannya. "Jawab, Rin!"
Arin hanya terisak, bingung harus menjelaskan bagaimana. Ketakutan menghantuinya. Ia takut kehilangan persahabatan mereka. Kepalanya menunduk, tak berdaya di tengah tatapan penuh kecurigaan.
"Maafkan gue, guys," lirih Arin, suaranya terisak. "Gue ngaku salah. Gue juga gak pernah menyangka akan seperti ini, gue juga gak menginginkan ini terjadi."
Queen dan yang lainnya ambruk lemas, tubuh mereka terkulai di atas rerumputan hijau. Tatapan kosong mereka mencerminkan kepasrahan yang mendalam. Keheningan hanya diselingi isak tangis.
Namun Daffa, amarahnya masih membara, terus mendesak Arin. "Ceritakan semuanya, Rin. Jangan sampai ada yang terlewatkan. Bagaimana semua ini bisa terjadi?"
Arin menatap jauh ke ufuk, sebelum memulai ceritanya. Suara tertahannya bergetar, diiringi isak tangis sesenggukan. "Gue sangat kesal... sejak kalian ngotot memilih Wati untuk film kita. Gue setuju datang ke desa ini... karena gue sudah mendengar rumor tentang desa ini, bukan desa biasa,dari awal gue memang ingin membuat Wati celaka... Gue meminta bantuan Pak Prabu... untuk menjadikan Wati tumbal..."
"Apa? Pak Prabu?!" serentak mereka berteriak, tak percaya.
Arin mengangguk, air matanya membasahi pipinya. "Saat itu gue kesal, gue jalan di pinggir gapura... dan gak sengaja bertemu Pak Prabu sedang memberikan sesajen. Ia menawarkan sesuatu yang... mengejutkan. Katanya, ia bisa membantu jika gue punya seseorang yang tak kusuka... sebagai tumbal. Gue... gue melakukannya. Tapi ini... jauh dari dugaanku..." Isak tangisnya pecah kembali.
Jauh sebelum mereka tiba di desa itu, ternyata Arin telah merencanakan segalanya. Cemburu telah membutakan mata hatinya, mendorongnya untuk melakukan hal yang mengerikan: menjadikan Wati sebagai tumbal, menyerahkannya kepada dunia gaib. Namun, rencananya meleset. Bukan Wati yang terjebak, melainkan dirinya dan teman-temannya. Kejadian ini menjadi misteri yang menghantuinya.
Sekarang, ia harus menerima kenyataan pahit: kehilangan kepercayaan dan persahabatan teman-temannya.
"Ini salah gue," akunya, suaranya teredam tangis. "Gue cemburu... kalian lebih memperhatikan Wati daripada gue. Gue ketua tim, tapi kalian tetap lebih peduli padanya."
"GILA LU! " Fahri berteriak, amarahnya meledak. "Ada manusia sejahat lu, Rin? Gue nggak nyangka!" Ia mengusap wajahnya kasar, tak percaya dengan kenyataan di hadapannya.
"Lu bukan manusia, Rin! Lu lebih kejam dari setan-setan di sini! Lu membunuh Baskoro, Wati hilang, dan sekarang Arjuna juga!" Pekikan Fahri menggema, penuh keputusasaan.
Valo hanya menangis, hatinya remuk redam. Teror yang mereka alami selama ini... semuanya berawal dari Arin. Air mata membasahi pipinya tanpa henti.
"Gak! Gue gak ngebunuh Baskoro! Gue gak mau kalian celaka, gak…!" Arin histeris, tubuhnya gemetar tak mampu menerima kenyataan bahwa dialah penyebab kematian Baskoro.
"Gak gini perjanjiannya… gak gini…"
"Tapi lu udah terlanjur bikin perjanjian sama setan, Arin!! Lu sadar gak sih? Ini balasannya, tau gak…!" bentak Fahri.
Emosi membuncah, Fahri mengayunkan tangan hendak menampar Arin. Namun Valo sigap menangkapnya, tubuhnya menjadi benteng antara amarah Fahri dan keputusasaan Arin.
"Sabar, Ri. Jangan sampai kita bertindak gegabah," desis Valo.
"Gegabah?! Lo pikir gue lagi main-main?! Cewek ini udah bikin kita semua menderita, Valo! Dia HARUS bertanggung jawab! Lepasin gue, gue mau kasih dia pelajaran yang dia gak bakal pernah lupa!"
Fahri membentak, tangannya memberontak kuat berusaha melepaskan diri dari genggaman Valo. Matanya merah padam, dipenuhi amarah yang membara.
Arin hanya tertunduk pasrah, kepala tertunduk dalam-dalam. Tangisnya terisak pelan, menyesali kebodohannya yang telah mengakibatkan malapetaka ini. Ia mengusap kasar pipinya yang basah kuyup.
Queen menatap Arin dengan tatapan tajam, sebuah seringai mengembang di bibirnya. "Gue gak nyangka, orang yang sangat gue kagumi bisa setega ini. Pantas saja lu sangat menentang pencarian Wati,Sedari awal lu ngotot gak mau terlibat kalau masalah Wati. "
"Maafkan gue Queen, " Arin mencoba meraih tangan Queen. " Gue khilaf Queen, gue menyesal."
Queen melengos tak ingin menatap wajah Arin jika ia melakukannya bisa-bisa tamparan akan melayang di pipi Arin.
Daffa merebut ponsel Fahri. "Pinjam sebentar, Ri."
Fahri menyerahkannya, alisnya terangkat. "Buat apa?"
"Bukti," jawab Daffa, matanya tajam. "Agar Arin mengakui semuanya. Ini bisa jadi bukti untuk menjebloskan Pak Prabu ke penjara, kalau kita berhasil keluar dari sini."
Ia mengarahkan ponsel ke Arin. "Dan lu, jelaskan semuanya lagi. Gue akan merekam ini, dan lu harus bertanggung jawab atas perbuatanlu nanti,Rin."
Air mata berlinang di pipi Arin. "Harus sampai seperti ini, Fa? Gue gak pernah meminta ini. Gue gak tahu bagaimana bisa sampai begini..." Suaranya terisak. "Maafkan Gue..." Ia menatap Daffa dan Fahri bergantian, kepalanya tertunduk.
Amarah membara di wajah Fahri. "Minta maaf? Minta maaflah pada Baskoro yang sudah meninggal dan jasadnya entah di mana!"
Daffa memotong, suaranya dingin dan tegas. "Cukup! Ungkap semuanya. Bagaimana kau meminta bantuan Pak Prabu."
Arin menarik napas dalam-dalam, dadanya bergemuruh. "Baiklah... gue akan menceritakan semuanya dari awal lagi..."
Arin menceritakan semua detailnya, bagaimana dia di minta pak Prabu untuk mencarikan rambut, guntingan kuku dan foto Wati. Pak Prabu juga meminta untuk menyimpan gulungan itu di sesajen depan gapura, namun belum sempat Arin melakukannya Wati justru kesurupan dan menghilang.
"Bagus... ini bisa jadi barang bukti. " Daffa berdiri sambil menggenggam ponsel Fahri.
"Gue jadi curiga, kenapa desa itu terlihat sepi dan warga di sana terkesan tertutup. Jangan-jangan semua itu ada hubungannya dengan pak Prabu. " Ujar Queen.
" Sebenarnya, gue juga merasa aneh dengan pak Prabu. " Sahut Arin lirih.
Semua mata tertuju pada Arin, Arin menghindari tatapan mereka.
"Bukan, maksudnya gue juga baru tau kalau pak Prabu itu bisa melakukan hal seperti itu. Ya gue tau gue salah, dan gue juga menyesali semua ini. Tapi pak Prabu itu memang aneh, gue pernah masuk ke dalam rumahnya. Dari luar rumahnya nampak sederhana namun saat masuk ke dalam banyak barang mahal dan mewah. Dan gak sengaja gue liat foto yang memperlihatkan rumah yang sangat besar dan mewah, dan itu terletak di tengah-tengah kota. " Jelas Arin.
.
.
BERSAMBUNG...