Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seorang Janda
🌸
🌸
“Besok jadi, kan kerja nya?” Seorang perempuan paruh baya lagi-lagi bertanya kepada menantunya yang tengah fokus menyusui anak balita berumur satu tahun.
Dialah Asyla Ningrum yang bahkan baru saja kembali setelah menyelesaikan pekerjaannya membersihkan sebuah villa di bukit tak jauh dari tempat tinggal mereka.
Asyla tak langsung menjawab. Dia tetap menatap wajah sang putra yang hampir saja terlelap dalam buaian dengan mulut masih menyesap kuat air kehidupan yang berasal dari dalam tubuhnya.
“Syla!!” bentak Maysaroh yang lagi-lagi dibuat kesal karena ulah sang menantu yang lambat kali ini.
“Umm … memangnya harus besok, Mbu?” Dengan terpaksa Asyla mendongak, dan didapatinya wajah masam sang mertua, seperti biasa.
“Memangnya mau kapan lagi? Kata pak Pardi majikannya sudah sampai. Kamu mau mengelak?”
Perempuan 23 tahun itu terdiam.
“Atau … kamu bersedia menikah dengan juragan Somad? Nggak apa-apa, itu lebih bagus. Tawarannya masih berlaku.”
Mata Asyla membulat sempurna. Lagi-lagi kalimat itu sang mertua ucapkan meski sudah berkali-kali dia menolak. Tapi tetap saja, apapun jawabannya dia tak mampu membuat ibu dari mendiang suaminya itu mengurungkan niatnya untuk menjodohkannya dengan orang terkaya di kampung tersebut.
“Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau kerja, tapi setidaknya berusahalah untuk tetap membayar hutang bekas lahiranmu. Masih ingat kan berapa jumlahnya? Operasi Tirta itu mahal!” Lagi, Maysaroh mengingatkan soal uang dan segala macamnya yang membuat Asyla kembali dilanda kebingungan.
“Sudahlah, kan sudah Ambu bilang agar semuanya lebih mudah untuk kita. Menikah saja dengan juragan Somad, dia masih menunggu kamu.”
“Dan jadi istri ke empat, Mbu?” jawab Asyla, takut-takut.
Dia memang adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh Jaka, suaminya. Dan karena wasiat almarhum, Asyla masih menetap bersama keluarganya. Alasannya, karena dia tidak punya siapa-siapa.
Ayahnya meninggal di perantauan saat dirinya masih dalam kandungan, sedangkan ibunya wafat di usianya yang ke 12 tahun. Dan selama itu pula dirinya hidup susah sebatang kara.
Sanak saudara tidak ada yang mampu merawat, lalu ketika usianya menginjak 18 tahun bertemulah dengan Jaka, yang menikahinya tak lama setelah itu.
Sang suami yang kala itu berprofesi sebagai sopir truk muatan batu memberanikan diri untuk meminangnya, lalu memboyong Asyla ke rumah keluarganya tak lama setelah mereka resmi menikah.
Selama kurang lebih empat tahun membina rumah tangga, akhirnya mereka dikaruniai anak. Namun sayang, di usia kandungan ke empat bulan Jaka mengalami kecelakaan.
Saat itu truk yang penuh dengan muatan batu yang harus diantarnya ke sebuah desa tetangga mengalami kecelakaan, yakni tertimpa material dari tebing jalan yang dilewati.
Hujan turun sangat lebat saat itu tetapi Jaka nekat mengantar barang pesanan karena sudah terlambat dari waktu yang dijanjikan sebelumnya. Belum lagi karena ingin membahagiakan sang istri yang saat itu hamil muda dengam segala drama ngidamnya.
Sayang, malang tak dapat ditolak. Ternyata, itulah waktu di mana ajal menjemput setelah truk yang tertimpa material longsoran itu terguling dan masuk jurang tepat satu setengah tahun yang lalu.
“Memang apa masalahnya kalau kamu jadi istri ke empat? Laki-laki itu biasa, apalagi seperti juragan Somad yang hartanya banyak. Hidupmu nggak akan susah dan tanah yang Ambu gadai untuk biaya operasi waktu itu bisa kembali.”
Asyla memejamkan matanya erat-erat. Rasanya sakit sekali saat masalah itu diungkit lagi. Padahal soal biaya memang sudah jadi kewajiban mertuanya karena anak mereka sudah meninggal. Apalagi dirinya yang ditahan untuk tetap berada di sana meski sudah berkali-kali mengatakan ingin pergi.
“Sudah, kalau tidak mau bekerja lebih baik menikah saja dengan juragan Somad. Hidupmu bakalan enak.”
“Tapi, Ambu —”
“Ambu sudah capek! Biarpun di kampung begini, biaya hidup tidak murah, kamu tau? Apalagi Tirta semakin besar, sudah pasti butuh biaya yang banyak. Dari mana kamu mau dapat uang?”
Asyla mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Rasanya ingin sekali melawan tapi dirinya tak berdaya. Sanak saudara tidak punya, tempat pelarian pun tidak ada. Kalaupun dirinya memilih untuk pergi, lantas dimanakah dirinya akan tinggal? Belum lagi Tirta yang baru berusia satu tahun, sudah pasti dirinya akan mengalami kesulitan. Kasihan balita itu.
“Pak Pardi menelpon lagi, Mbu.” Ahmad, kakak pertama Jaka masuk ke dalam rumah sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. “Katanya besok Syla harus ke villa jam enam. Majikannya sudah datang.”
“Ambu tau, sudah bilang juga sama Syla. Tapi sepertinya dia nggak akan pergi soalnya mau menerima lamaran —”
“Iya, Kang. Tolong bilang sama pak Pardi kalau saya akan ada di sana sebelum jam enam.” Tiba-tiba saja Asyla menjawab.
“Beneran?” Ahmad sedikit tidak percaya.
“I-iya.”
“Padahal bener kata Ambu, sebaiknya kamu menikah saja dengan juragan Somad daripada harus capek-capek kerja dengan gaji kecil.” Pria itu menyeringai.
“Nggak tau nih, dia plin plan bener jadi orang. Tadi bilangnya tidak mau kerja di villa, sekarang mau. Pusing Ambu dengar nya.”
“Ya kalau misalnya nggak nikah dengan juragan Somad pun, Ahmad masih mau terima Syla kok, Mbu.” Dengan tatapan melecehkan pria yang usianya dua tahun lebih tua dari Jaka itu berujar.
“Naik ranjang gitu maksudnya?” Ambu merespon.
“Iya. Nggak apa-apa, kan nggak dilarang agama.”
Tentu saja tidak apa-apa karena dia melihat adik iparnya itu sungguh menggoda. Menjanda di usia yang masih sangat muda memang menjadi daya tarik tersendiri bagi lelaki seperti dirinya. Asyla seperti bunga yang tengah mekar sempurna.
Dia tak terlalu tinggi, tidak terlalu pendek juga. Tidak kurus juga tidak gemuk. Posturnya rata-rata seperti perempuam desa kebanyakan. Bahkan cenderung menarik di mata lelaki manapun. Sebab itulah sampai juragan Somad yang dikenal banyak istrinya itu tertarik juga untuk meminangnya.
“Enak aja!” Maysaroh menepuk pundak putranya. “Bukan masalah dilarang agama, tapi bagaimana dengan Sri?”
“Sri? Kan dia di Saudi, Mbu. Pulangnya masih lama, masih dua taun lagi.”
“Tetap saja. Masa kamu mau nikah lagi? Sama adik ipar lagi?”
“Ya nggak apa-apa, sebelum dia pulang kan.”
“Nggak! Lebih baik Syla nikah dengan juragan Somad dari pada sama kamu.”
“Lho, kenapa? Kan sama-sama dipoligami.”
“Iya, tapi bedanya juragan Somad kaya dan kamu kere. Kerja aja ngandelin Sri yang harus jadi tkw.”
“Lho, bagus kan. Sri yang cari uang, Syla yang ngurus Ahmad.” Pria itu berkelakar. Tapi pandangannya masih dia tujukan kepala Asyla. Semakin cantik saja adik iparnya itu meski penampilannya biasa-biasa saja.
Orang yang dimaksud tampak bergidik. Mendengar hal itu seperti dihadapkan pada hal paling mengerikan. Dan dirinya ingin segera keluar dari situasi tersebut. Tapi bagaimana?
Bekerja di villa dari pagi hingga sore dia harus meninggalkan Tirta, tapi jika tidak bekerja dirinya dihadapkan dengan lamaran juragan Somad dan kakak iparnya yang mes+m. Semuanya pilihan sulit, dsn Asyla tidak mau berada di situasi seperti itu.
“Bagaimana, Syla? Mau terima tawaran yang mana?” tanya Ahmad kepadanya.
“Um ….”
“Nikah dengan akang saja, nggak apa-apa nggak banyak uang, tapi kamu punya suami. Kasihan Tirta ….”
Asyla menggelengkan kepala.
“Mau terima lamaran juragan Somad?” Kini Maysaroh yang bertanya.
“Nggak, Ambu. Saya … mau kerja di villa saja.” Perempuan itu menjawab.
“Kata pak Pardi di sana gajinya kecil. Cuma sejuta setengah. Memangnya kamu mau?”
“Nggak apa-apa, Ambu.”
“Terus gimana kebun jeruk yang harus ditebus sama juragan Somad?”
“Insya Allah Syla akan cicil. Tapi minta waktu.”
“Cicil berapa lama? Gaji satu setengah juta butuh berapa lama? Dua puluh juta itu banyak!”
“Semampunya Syla, Ambu. Nggak apa-apa, nanti gaji Syla dikasih Ambu semua. Asalkan jangan terima lamaran juragan Somad.”
Maysaroh terdiam.
“Tapi kamu nggak bisa bawa Tirta.”
“Nggak apa-apa, Syla titip sama Ambu.”
“Merepotkan saja kamu ini. Sudah bawa sial sampai suamimu meninggal, lahiran harus dioperasi, dan sekarang titip Tirta sama Ambu.”
“Ampun, Ambu. Maafkan Syla. Tapi Syla mohon. Syla janji akan berusaha dapatkan uang itu agar kebun bisa ditebus lagi.”
“Bener, ya? Itu harta satu-satunya peninggalan abah. Ambu nggak mau jatuh ke orang lain!!”
“Iya, Ambu.”
“Semua gaji kasih ke ambu. Sekalian kalau Dapat bonus atau apapun dari majikan kamu!!”
Asyla menganggukkan kepala. Saat ini tidak ada jalan baginya untuk menyelamatkan diri selain ini.
“Ya sudah, awas besok jangan terlambat.” Maysaroh meninggalkan ruang tengah, sedangkan Ahmad yang masih berada di sana malah mendekat.
“Beneran kamu nggak mau nikah sama akang?” Dengan nada mengejek dia berbicara.
“Maaf, Kang. Nggak mungkin saya menyakiti teh Sari. Kasihan dia jauh-jauh kerja di Arab demi Akang dan anaknya.”
“Huu …. bakalan rugi kamu!!” ucap pria itu yang juga segera berlalu.
"Kang Jaka, Sampai kapan Syla harus bertahan di sini?" batinnya menjerit penuh rasa sakit.
🌸
🌸
Duh 🤭🤭🤭
Ini perempuan main nyelonong masuk tempat tinggal orang aja, bok permisi kek🤦♀️
Listy ini mangkin lama mangkin ngelunjak kayaknya
Ale bukan hanya ga rela kalo Syla disuruh-suruh tapi yang pasti dia ga rela Syla dilirik laki² lain.
Kekecewaan Ale akibat pengkhianatan sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan kehadiran, Syla dan Tirta.