Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berhadapan Langsung dengan Montgomery Tertua
Cantika memandangi foto Ethan di atas ranjang sempitnya, bibirnya melengkung dalam senyum kepuasan. Meskipun telah menikah dengan Celine, kenyataannya Ethan tetap tetap memprioritaskannya. Fakta itu membuat dadanya berdenyut manis.
Pandangan itu lalu beralih mengelilingi seluruh sudut kamar. Foto-foto Ethan tertempel rapi di dinding kusam, mulai dari balutan jas hitam formal, kemeja putih berpotongan sempurna, hingga potret candid dari artikel bisnis. Ia pernah menjadi salah satu dari sekian banyak perempuan di sekolahnya yang mengagumi pria itu. Ethan Solomon Montgomery, pewaris Montgomery Corp yang tersohor.
Nama itu sudah bolak-balik menghiasi media sejak ia masih anak-anak. Putra mahkota dunia bisnis, tumbuh di bawah sorotan, namun nyaris tak pernah menampilkan ekspresi. Tak ada senyum berlebihan, tak ada gestur ramah, hanya wajah datar, tatapan dingin, dan sikap cuek yang bergantian mengisi wajah tampannya. Tapi justru itulah yang membuatnya begitu menarik.
Cantika tersenyum kecil. Tak pernah ia sangka, setelah bertahun-tahun berjuang, belajar keras, menelan rasa rendah diri, akhirnya ia bisa diterima bekerja di Montgomery Corp. Bukan hanya masuk ke dalam gedung megah itu, tapi berdiri cukup dekat untuk benar-benar melihatnya. Ia tidak lagi melihat Ethan dari layar, atau sibuk mencari update tentang dirinya dari berita. Melainkan sebagai pria nyata yang kini ada dalam jangkauan hidupnya.
Ia membayangkan wajah Ethan dan sorot mata pria itu saat menatapnya, seketika jantungnya berdebar cepat. Saat pria itu datang dan menawarkan bantuan padanya, ia tidak lagi bisa menahan perasaannya. Berada di sisi Ethan akan membuat hidupnya lebih mudah. Pria itu akan mengangkatnya dari kemiskinan yang selama ini mencengkeram kehidupannya dan adiknya.
Suara mobil terdengar berhenti di depan rumah, disusul ketukan pelan yang terukur. Cantika turun dari ranjang dan membuka pintu. Seketika ia tertegun, seorang wanita dengan blazer hitam berpotongan klasik berdiri di hadapannya. Rambut peraknya disanggul rapi, perhiasan mutiara tunggal menggantung di lehernya, tidak berlebihan namun jelas menunjukkan kelasnya. Tatapannya anggun, seperti seseorang yang terbiasa dipatuhi tanpa perlu meminta.
Florence Montgomery, garis tertua yang masih hidup dari darah Montgomery.
“Selamat siang, Nyonya,” kata Cantika gugup, menunduk sopan.
Florence tidak menjawab, tapi dagunya terangkat angkuh. Tatapannya menyapu Cantika dari ujung rambut hingga kaki dengan teliti, seolah sedang menilai barang di etalase yang tidak pernah berniat ia beli.
Cantika mencengkeram daun pintu, jantungnya berdegup tak karuan.
Tanpa menunggu undangan, Florence melangkah masuk. Langkahnya anggun dan mantap, seolah rumah itu adalah ruang yang wajib menyingkir untuknya.
“Saya… saya ambilkan minum dulu, Nyonya,” ujar Cantika buru-buru.
“Tidak perlu.” Satu kalimat datar yang mutlak.
Cantika menoleh. “B-baik, kalau begitu silakan du…”
Florence mengangkat tangannya, memotong tanpa menoleh. Ia jelas tidak berniat menyentuh sofa reot di rumah itu.
“Kau menyukai cucuku?” tanya Florence tanpa aba-aba.
Cantika terdiam, kepalanya tertunduk.
Florence memiringkan kepala tipis.
“Apa kau memang terbiasa tidak menjawab ketika seseorang bertanya padamu?”
Cantika tersentak. “T-tidak, Nyonya. Maafkan saya.”
Ia menelan ludah. “Saya hanya… merasa tidak pantas menyukai orang seperti Pak Ethan. Apalagi beliau sudah memiliki istri.”
“Jadi kau sudah mengetahui pernikahan cucuku,” kata Florence tenang.
Cantika mengangguk. “Karena itu saya tidak berani berharap, apalagi mengganggu hubungan mereka, Nyonya.”
Florence menatapnya lama.
“Jika Ethan menginginkanmu,” katanya perlahan, “apa yang akan kau lakukan?”
Cantika memilin jarinya. “Sa-saya bingung, Nyonya. Bu Celine tampak tidak menyukai saya.” Air mata menetes dari sudut matanya.
Senyum tipis terbit di bibir Florence, senyum seseorang yang telah mendapatkan jawaban yang ia cari.
“Aku menyimpulkan kau bersedia.”
Cantika tercekat, masih terlihat bingung apakah kalimat itu pernyataan izin atau sekadar informasi tak berarti
Florence melanjutkan, suaranya tetap rata. “Tapi dari segi apa pun, kau tidak memenuhi satu aspek pun untuk menyandang nama Montgomery di belakang namamu.”
Cantika membeku, kalimat Florence menghantam telak.
“Ekonomimu berada di bawah kaki Montgomery. Pendidikanmu tidak sebanding.” lanjut Florence mengingat masa lalu Ariana sekilas. “Namun tenang saja kedua hal itu bisa di-upgrade.”
Mata Cantika berbinar, harapan itu kembali menyala.
Florence melanjutkan, dingin dan penuh penekanan.
“Tapi satu hal yang tidak bisa diubah…” Ia menatap Cantika lurus. “Karakter pelacur dalam dirimu.”
Dunia Cantika runtuh seketika.
“Itu fakta yang tidak bisa ditutupi oleh status kebangsawanan.” kata Florence tanpa emosi
“Apa maksud Anda, Nyonya?” ujar Cantika gemetar. “Anda tidak berhak menghina saya seperti ini.”
Florence tetap tenang. “Aku tidak sedang menghina,” katanya dengan nada lembut, terlalu lembut untuk kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Aku hanya sedang meletakkan kaca di depan wajahmu.”
Ia melangkah setengah mendekat. “Aku tidak kaget jika kau sulit paham. Jalang yang bersembunyi di balik kepolosan dan kelemahan memang sering berpura-pura bodoh.”
Florence menghela napas kecil, nyaris bosan.
“Aku yakin kau sudah mengenal siapa Celine Attea sebelum kakiku melangkah ke rumah yang hampir roboh ini.”
Ia berbalik sedikit, seolah sedang membandingkan bayangan.
“Cantik, cerdas, berpendidikan, latar belakangnya bersih, hampir sempurna. Dan yang paling penting dia tahu caranya berdiri dan menunjukkan kelasnya.”
Florence menatap Cantika untuk terakhir kalinya.
“Kau bisa menilai sendiri,” katanya dingin, “sampai di titik mana kau mampu menandinginya, Nona.”
Tanpa menunggu jawaban, Florence berbalik. Langkahnya tetap anggun saat meninggalkan rumah itu, seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Gadis ini secuil pun tidak bisa menyamai menantuku, batinnya.
Cantika tertinggal sendirian dengan dada sesak, dan harga diri yang hancur di lantai rumahnya sendiri. Ia mengepalkan tangannya saat mobil Florence menghilang dari halaman rumah. Wajahnya memerah karena amarah yang dipaksa tertelan.
Setiap kata wanita tua itu masih terngiang di kepalanya. Pelacur, jalang, tidak setara. Napas Cantika memburu, dadanya bergerak naik turun tak beraturan. Penghinaan itu menekan paru-parunya.
Pintu belum sepenuhnya tertutup ketika suara ceria itu terdengar.
“Mbak, aku pulang.”
Bedo berdiri di ambang pintu, tas sekolah masih menggantung di bahunya. Wajahnya polos, matanya berbinar, tak tahu apa-apa tentang dunia orang dewasa yang barusan menghantam kakaknya.
Ia melangkah mendekat, mengulurkan tangan kecilnya.
“Mau salim.”
Cantika menoleh, amarah yang belum menemukan sasaran langsung mencari pelampiasan. Tangannya terangkat dan menepis tangan Bedo dengan keras.
“Masuk kamar!” bentaknya tajam, suaranya meninggi. “Jangan keluar sampai Mbak mengizinkanmu keluar!”
Bedo tersentak. Tubuh kecil itu mundur dua langkah, matanya membulat ketakutan.
“Mbak…” suaranya bergetar. “Mbak jahat.”
Bedo berlari menuju kamarnya sambil menangis. Pintu ditutup dengan suara kuat, cukup untuk menandai jarak yang tercipta di antara mereka.
Cantika berdiri mematung di ruang tamu. Tangannya mengusap wajahnya kasar. Ia baru saja melukai satu-satunya orang yang selalu berdiri di sisinya. Ia menurunkan tangannya, menatap pintu kamar Bedo yang tertutup.
“Apa yang sudah aku lakukan…” bisiknya lirih. Rasa bersalah yang mulai menggerogoti batinnya. Amarah telah membuatnya lupa diri.
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻
next kak 🫰🫰
dari pronolog cerita ini soal celine dan ethan yang mungkin akan disisipin orang ketiga. trus muncul barlex ntah genk apa ini. trus tibatiba udah dirumah cantika dan berhubungan sama barlex 🤔
ini yg clue dari rega kah? tapi mengarah kemandose ini kisah ya. maap agak agak kurang nangkep saya 🫣
inget ke celine yang bucin dari kecil tapi dicuekin,disia²in pokoknya ethan dingin bgt ke celine mentang² tau cinta celine begitu besar jadi bersikap se enaknya,gk perduli alasan apapapun....ethan harus merasakan yg sama.buat celine bener² dingin dan biasa² aja ke ethan thor mau ethan kena masalah jangan libatkan celine ke amox.
semoga celine ketemu cogan yg ngejar² dia biar biar tau rasa ethan....
sakit hatiku melebihi celine wkwkwkwk