Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.
Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.
Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.
Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penghianatan dibalas Penghianatan
Di dalam sebuah van hitam berpanel tebal yang terparkir di bawah pohon rindang, dua blok dari rumah Zoya, Rian menurunkan binokularnya. Wajahnya yang biasanya tenang, kini mengeras menahan campuran antara geli dan cemas.
"Mereka keluar, Tuan," kata seorang pria yang lebih muda di sebelahnya, matanya terpaku pada tiga layar monitor kecil. Namanya Reza, tangan kanan Rian. "Tiga target, sipil. Kelihatannya teman sekolah."
Rian tidak menanggapi. Ia masih memproses apa yang baru saja ia lihat. Tiga anak SMA keluar dari rumah itu, wajah mereka pucat dan sedikit panik, seolah baru saja melihat hantu. Atau... genderuwo.
Rian hampir tersenyum. Genderuwo. Deskripsi yang ironis untuk seorang Bram.
"Tuan," Reza memecah keheningan, suaranya ragu. "Kita sudah konfirmasi visual. Itu Tuan Bram. Dia terluka. Kenapa kita tidak masuk dan jemput dia? Viktor sudah ribut di jalur aman."
Rian menghela napas panjang, meletakkan binokularnya. Ia menatap rumah sederhana di ujung jalan itu. Rumah yang berisik, penuh warna, dan sangat... normal.
"Viktor bisa menunggu," jawab Rian datar. "Tahan semua laporan. Jangan ada yang keluar."
Reza mengerutkan kening. "Tuan? Tapi ini Tuan Bram. Kita sudah menemukannya. Protokol mengharuskan kita melapor."
"Protokol itu yang akan kita abaikan," Rian menyandarkan kepalanya ke kursi, suaranya memotong argumen Reza. "Karena justru itu tempat teraman di dunia saat ini. Tempat terakhir yang akan dicari musuh adalah di kamar sempit penuh poster boyband dan di bawah pengawasan bocah cerewet."
Rian mengenal Bram lebih dari siapapun. Ia adalah orang pertama yang direkrut Bram, dilatih di jalanan yang kejam, dan dibentuk menjadi bayangan yang efisien seperti sekarang. Bagi Rian, Bram bukan sekadar atasan atau rekan kerja; dia adalah kakak yang tidak pernah ia miliki. Kakak yang menanggung semua beban dunia hitam mereka di pundaknya.
Bram adalah monster yang mereka kirim untuk memburu monster lain. Dia hidup dalam keheningan, efisiensi, dan kesendirian yang mematikan.
"Dia..." Rian terdiam sejenak, mencari kata yang tepat. "Dia butuh ini."
Reza tampak bingung. "Butuh apa, Tuan? Diperlakukan seperti balita dan... 'Pak Genderuwo'?" Reza nyaris tidak bisa menahan tawa saat mengatakannya, ia juga mendengar percakapan panik Zoya lewat alat penyadap jarak jauh tadi.
Ekspresi Rian melembut. "Dia butuh istirahat. Bukan istirahat fisik, tapi istirahat dari siapa dirinya. Selama ini, dia terbelenggu oleh dunia kita. Pembunuhan, intrik, darah."
Rian menunjuk ke arah rumah itu.
"Di dalam sana, dia bukan ‘Bloody Man’. Dia bukan pembunuh bayaran termahal. Dia hanya... 'Pak Genderuwo' yang merepotkan dan harus disuapi bubur."
Rian tahu betapa Bram membenci kelemahan. Tapi di tempat ini, kelemahannya tidak dieksploitasi. Kelemahannya... dirawat. Oleh tangan yang paling polos dan tidak terduga.
"Dunia kita sudah merenggut kemanusiaannya sedikit demi sedikit," gumam Rian, lebih pada dirinya sendiri. "Biarkan dia menikmati belenggu yang berbeda. Belenggu yang memaksanya jadi manusia lagi, barang sebentar."
Rasa hormatnya pada Bram begitu dalam. Ia tidak akan merenggut momen langka ini dari kakaknya. Ia akan melindunginya, justru dengan cara tidak ikut campur.
"Tapi ini beresiko, Tuan," desak Reza, kembali ke mode profesional. "Bagaimana jika musuh melacak kita? Atau lebih buruk, melacak Tuan Bram ke rumah itu?"
Tatapan Rian kembali menajam seperti silet.
"Itu tugas kita," perintah Rian. "Kamu dan tim tetap di sini. Pantau 24/7. Pasang perimeter penjagaan radius lima blok. Siapapun yang terlihat mencurigakan, yang bertanya-tanya, bahkan tukang bakso yang lewat di jam yang salah, amankan."
"Kita jadi penjaga tak terlihat untuk 'Pak Genderuwo'," lanjut Rian. "Dia boleh menikmati liburannya, tapi kita pastikan tidak ada iblis lain yang mengganggu."
Reza akhirnya mengangguk paham. "Siap, Tuan."
Rian kembali mengambil binokularnya, menatap ke arah jendela kamar Zoya di lantai dua. Ia tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana, tapi ia tahu satu hal.
Bram, untuk pertama kalinya dalam satu dekade, mungkin sedang tidak ingin membunuh siapa pun. Dan Rian akan memastikan keadaan tetap seperti itu selama mungkin.
BZZT... BZZT…
Getaran singkat dan kuat datang dari saku Rian. Bukan ponsel biasa. Itu adalah perangkat satelit terenkripsi yang salurannya terhubung hanya ke satu orang.
Reza, yang duduk di kursi operator, membeku. Ia melirik perangkat di saku Rian dengan cemas. "Tuan... Itu panggilan dari Tuan David."
Rian tidak bergerak. Matanya masih terpaku pada jendela itu. "Biarkan saja."
"Tapi, Tuan..." Suara Reza terdengar tegang. "Tuan David sudah memberi perintah prioritas sejak dua hari lalu. 'Ekstraksi Bloody Man segera, abaikan kondisi. Laporkan lokasi saat ditemukan.' Kita... kita seharusnya sudah melaporkan ini."
"Aku tahu apa perintahnya," potong Rian, suaranya dingin, namun ada kelelahan yang kentara di sana.
Rian akhirnya menurunkan binokularnya. Ia tidak menatap Reza. Ia menatap pantulan wajahnya sendiri di kaca van yang gelap. Wajah pria yang lelah berperang.
"Tuan David," kata Rian pelan, "hanya melihat 'aset'. Dia melihat senjata yang harus diasah kembali. Dia tidak peduli jika senjata itu tumpul, retak, atau nyaris hancur. Yang dia mau, senjata itu kembali ke gudang."
"Sedangkan Tuan Bram, dia sudah mengorbankan segalanya untuk organisasi. Untuk Tuan David. Untukku, untuk kita" lanjut Rian, suaranya melembut. "Selama sepuluh tahun aku mengenalnya, aku tidak pernah melihatnya... istirahat. Bahkan tidur pun dia selalu dengan satu mata terbuka."
Rian menoleh, menatap Reza. Tatapannya begitu intens hingga Reza, seorang operator lapangan yang tangguh, merasa harus menahan napas.
"Di dalam sana," Rian menunjuk rumah Zoya, "dia mungkin sedang disuapi bubur, atau disebut 'Genderuwo'. Dia mungkin sedang dihina oleh bocah SMA yang bahkan tidak tahu cara memegang pisau."
Bibir Rian menyunggingkan senyum tipis, senyum yang jarang terlihat. "Dan itu mungkin hal paling manusiawi, paling aman, yang dia rasakan dalam satu dekade."
"Tapi, Tuan, ini pengkhianatan," bisik Reza, menyuarakan ketakutan terbesarnya. "Mengabaikan perintah Tuan David, dan sekarang kita harus membuat laporan palsu untuk Viktor... risikonya bukan cuma karier kita. Ini nyawa kita."
"Aku tahu," jawab Rian tegas. Tidak ada keraguan dalam suaranya. "Dan aku rela menanggung resiko apapun."
Mata Rian kembali menatap rumah itu, tatapannya melembut, penuh rasa hormat yang dalam.
"Demi kedamaian sementara untuknya. Biarlah dia menikmati belenggu yang manis ini sebentar. Dunia kita bisa menunggu untuk mengambil jiwanya kembali."
Ia kembali ke mode profesional, namun dengan keputusan yang sudah bulat dan memberontak.
"Reza. Sekarang kirim laporannya. Laporan palsu ke Tuan David dan Viktor. Katakan jejak terakhir di Pelabuhan benar-benar buntu. Kita kehilangan ‘Bloody Man’. Biarkan David marah. Biarkan dia mengerahkan seluruh sumber daya untuk mencari di tempat yang salah."
"Kita?" tanya Reza, jantungnya berdebar kencang.
"Kita tetap di sini," kata Rian. "Menjadi penjaga tak terlihat untuk nya."
Reza menelan ludah. Ini gila. Ini adalah akhir dari karir mereka jika ketahuan. Tapi melihat keteguhan di mata Rian, dia tahu ini adalah hal yang benar.
"Siap, Tuan."
Loyalitas Rian bukanlah pada David. Loyalitasnya, jiwanya, adalah milik kakaknya, pria yang sedang bersembunyi di sarang yang paling tidak terduga.