NovelToon NovelToon
Aji Toba

Aji Toba

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Misteri / Epik Petualangan / Horror Thriller-Horror / TimeTravel / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:232
Nilai: 5
Nama Author: IG @nuellubis

Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.

Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.

Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.

Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Semedi dan Peperangan

Pagi ini, Nawang Wulan izin pamit. ia ingin mencari tempat di mana ia bisa sendiri. Sekaligus untuk bermeditasi. Lewat bersemedi di tempat yang jauh dari keramaian, ia berharap kesaktiannya pulih. Ada hal lainnya yang ia ingin pastikan. Benarkah Jaka Kerub itu Jaka Kerub yang mengintipnya mandi, lalu mengambil selendang ungunya?

"Hati-hati, Nawang Wulan," kata Wijaya tersenyum. "Kalau menemui bahaya, segera ke kampung ini."

"Siap, Wijaya," jawab Nawang Wulan. "Aku pun perlu waktu sendiri."

"Tadinya aku mau menemanimu, Nawang Wulan," kata Tumijan masih merajuk.

Si opung datang dan berkata, "Tak baik laki-laki dan perempuan berduaan saja di dari tempat."

Nawang Wulan mengangguk hormat kepada si opung. Ia menundukkan kepala sejenak, lalu memutar tubuhnya perlahan. Pagi itu kabut masih menggantung rendah di sekitar perkampungan. Udara lembap Danau Toba terasa dingin, menusuk kulit, tapi justru itulah yang ia butuhkan. Ia membutuhkan kesunyian, jarak, dan ruang untuk berpikir tanpa terganggu oleh tatapan atau pertanyaan.

Ia melangkah menyusuri jalan setapak yang jarang dilalui orang. Jejak-jejak kaki lama hampir tertutup lumut. Di kiri-kanan, pepohonan besar berdiri seperti penjaga zaman. Nawang Wulan berjalan tanpa alas kaki, telapak kakinya menyentuh tanah dengan penuh kesadaran, seolah setiap langkah adalah doa kecil agar batinnya kembali jernih.

Di sebuah ceruk batu yang menghadap ke danau, ia berhenti. Tempat itu tersembunyi, terlindung oleh tebing kecil dan rimbunan pakis. Air danau tampak tenang dari sana, memantulkan langit pagi yang pucat kebiruan. Nawang Wulan duduk bersila, memejamkan mata, lalu menarik napas panjang.

Perlahan, ia mulai bersemedi.

Ia memanggil kembali serpihan-serpihan kesadarannya yang tercerai-berai sejak turun ke dunia manusia. Ia merasakan aliran halus energi yang dulu begitu kuat, kini hanya seperti benang tipis. Dalam keheningan itu, wajah Jaka Kerub kembali muncul di benaknya. Itu adalah wajah seorang lelaki dari masa lalu, sekaligus dari masa kini. Tatapan yang sama. Aura yang sama pula. Getaran yang tak mungkin ia keliru mengenalinya.

“Jika benar engkau orang yang sama,” bisiknya dalam hati, “maka takdir memang sedang bermain-main dengan kami.”

Angin bertiup pelan. Daun-daun berdesir, seperti menjawab kegelisahannya. Dalam semedinya, Nawang Wulan melihat bayangan selendang ungu, kain cahaya yang dulu membuatnya terjebak di bumi. Selendang itu bukan sekadar benda. Ia adalah pengikat nasib. Kini, pengikat itu seolah kembali menariknya ke simpul yang sama, melalui Aji.

Ia membuka mata perlahan. Ada keputusan yang mulai terbentuk di dalam dadanya. Ia tak bisa terus menghindar. Jika Jaka Kerub memang orang yang sama, maka pertemuan mereka, baik langsung atau tak langsung, bukanlah kebetulan. Jika Aji berada di tengah pusaran itu, maka perannya jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.

*****

Sementara itu, di kampung, Tumijan masih memandangi arah kepergian Nawang Wulan dengan wajah cemas. Wijaya menepuk bahunya pelan.

“Percayalah,” kata Wijaya, “ia bukan perempuan biasa. Nawang Wulan itu perempuan yang tangguh."

Tumijan mengangguk, meski hatinya belum sepenuhnya tenang. Si opung menatap ke danau, lalu berujar lirih, “Jika para bidadari mulai gelisah, berarti dunia manusia sedang bersiap menghadapi sesuatu yang besar.”

*****

Sementara itu, Aji dan beberapa orang lainnya yang dibawa Gajah Mada dari lokasi Kerajaan Majapahit, bersiap memerangi apa yang mereka harus perangi di Temasek. Pokoknya, Temasek harus ditundukkan. Demi kejayaan Majapahit. Demi Sumpah Palapa.

Pakaian Aji sudah seperti yang lainnya. Lengkap dengan lembing pula. Ia gugup juga. Baru kali, di dunia nyata, saat masih di Majapahit, ia terjun ke medan peperangan. Semoga saja ilmu yang ia pelajari dari Wayan, bisa ia praktikkan.

Angin laut Temasek berembus asin dan keras, membawa bau besi, kayu basah, dan keringat manusia. Barisan prajurit Majapahit telah tersusun rapi di balik bukit rendah yang menghadap ke pelabuhan. Kapal-kapal jung berjejer seperti bayangan raksasa, layar mereka diturunkan setengah, siap untuk bergerak kapan saja. Genderang perang belum ditabuh, tapi ketegangan sudah menggantung di udara.

Aji berdiri di antara barisan itu, menggenggam lembingnya dengan kedua tangan. Telapak tangannya basah oleh keringat. Dadanya naik turun, bukan karena kelelahan, melainkan karena gugup yang menekan dari dalam. Ia menelan ludah, mencoba mengingat setiap ajaran Wayan. Tentang cara menapak tanah. Pun, tentang menjaga pusat berat badan. Ia pun mengingat bagaimana cara membaca lawan dari bahu dan pinggang, bukan dari mata semata.

“Jangan menantang kematian,” suara Wayan seolah bergema di kepalanya. “Biarkan kematian yang ragu mendekat padamu.”

Di kejauhan, Gajah Mada tampak berdiri di atas batu karang, dikelilingi para senapati. Tubuhnya tegap, wajahnya keras seperti pahatan. Tatapannya menyapu barisan prajurit satu per satu, seakan ingin memastikan tak ada keraguan yang tersisa. Ketika matanya bertemu dengan Aji, hanya sekejap, Aji merasa dadanya bergetar. Bukan takut, melainkan dorongan aneh, seolah ia sedang berdiri di hadapan arus sejarah yang tak mungkin ditolak.

“Temasek bukan sekadar pelabuhan,” suara Gajah Mada menggelegar saat ia berbicara. “Ia harus kita taklukkan. Siapa yang menguasainya, maka akan segera menguasai jalur perdagangan. Hari ini, kita bukan hanya bertempur untuk tanah, tetapi demi Sumpah Palapa.”

Sorak tertahan terdengar. Aji ikut mengangguk, meski pikirannya melayang. Ia teringat Sari. Terbayang wajah adiknya, juga Nawang Wulan yang kini entah di mana, bersemedi mencari kepastian. Ia teringat Jaka Kerub yang mungkin saja sedang latihan di bawah air terjun, sambil merasakan rasa perih di kulit, atau dingin yang menusuk tulang. Pasti seperti itu. Lalu, semuanya itu, katanya, agar Aji tak goyah saat menghadapi ketakutan.

“Fokus,” bisik Slamet di sampingnya sambil menepuk lengan Aji. “Tarik napas. Ingat, kita maju bersama.”

Aji mengangguk. Ia menarik napas panjang, merasakan udara memenuhi dadanya, lalu mengembuskannya perlahan. Untuk sesaat, suara ombak, gemerisik baju zirah, dan bisikan para prajurit menjauh. Yang tersisa hanya denyut jantungnya dan pijakan kakinya di tanah.

Tiba-tiba, bunyi tanduk perang memecah pagi. Getarnya merambat hingga ke tulang. Barisan bergerak. Aji melangkah maju bersama yang lain, lembing terangkat, mata menatap lurus. Ketakutan masih ada. Namun kini berjalan berdampingan dengan tekad.

Jika lubang hitam bisa melemparkannya ke berbagai zaman, pikir Aji, maka medan perang ini adalah tempat ia harus memilih. Antara menjadi korban arus, atau berdiri tegak di tengahnya. Pagi itu, di Temasek, Aji memilih berdiri di atas kaki sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!