Di dunia di mana kekuatan spiritual menentukan segalanya, Yu Chen, seorang pelayan muda dengan akar spiritual abu-abu, berjuang di dasar hierarki Sekte Awan Hening. Di balik kelemahannya tersembunyi rahasia kuno yang akan mengubah takdirnya. Dari langkah kecil menuju jalan kultivasi, ia memulai perjalanan yang perlahan menantang langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Morning Sunn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 33: Penjara Waktu dan Kekuatan Formasi Abadi
Cahaya biru pucat menari di langit-langit gua, membentuk garis-garis halus seperti arus sungai yang membeku. Di tengah ruang batu yang sunyi itu, He Feng berdiri di atas lingkaran formasi raksasa. Setiap ukiran berputar, menebarkan getaran halus yang membuat udara bergetar seolah ditiup napas dewa-dewa purba.
“Ini,” ucap He Feng, suaranya seperti gema dari masa lampau, “adalah Penjara Waktu. Di sini, waktu tidak mengalir lurus. Ia dapat menetes, berputar, bahkan berhenti bila kau memintanya dengan benar.”
Yu Chen melangkah ke dalam lingkaran itu. Seketika, seluruh tubuhnya diliputi sensasi aneh—jantungnya berdenyut terlalu cepat, lalu melambat, seolah tubuh dan jiwa tak sepakat kapan detik seharusnya berjalan.
He Feng mengangkat tongkat formasinya, menggoreskan cahaya emas ke udara. “Percepat satu napasmu. Lalu perhatikan bagaimana dunia menolaknya.”
Yu Chen menarik napas dalam-dalam. Begitu ia mencoba mempercepat sirkulasi Qi, waktu di sekelilingnya bergelombang; tetesan es yang jatuh dari stalaktit berhenti di udara, namun darahnya sendiri berdesir seperti arus sungai yang liar. Tubuhnya terbelah antara cepat dan lambat.
“Jaga keseimbangan antara ruang dan waktu. Jangan melawan aliran, rasakan simpulnya,” ujar He Feng.
Yu Chen menutup mata. Di dalam kesunyian itu, ia melihat pusaran perak di dantian—Hukum Ruang yang telah lama ia kuasai. Namun di tepinya, muncul benang-benang keemasan: Hukum Waktu, rapuh namun hidup. Ia menyentuhnya perlahan, dan dunia berputar terbalik sesaat—masa lalu dan masa kini bertabrakan, membuatnya hampir kehilangan kesadaran.
Namun dalam kekacauan itu, ia mendengar bisikan: “Jangan menolak waktu, dengarkan detaknya.”
Suara itu bukan milik He Feng, melainkan gema jiwanya sendiri. Dengan hati yang tenang, Yu Chen membiarkan arus waktu mengalir melalui dirinya. Tubuhnya menjadi medium, bukan penentu. Dalam momen itu, formasi berhenti bergetar; bahkan He Feng menatap dengan sedikit kagum.
“Menarik,” gumam sang guru. “Kau menyentuh permukaan hukum itu lebih cepat dari perkiraanku. Tapi ingat, mempercepat dan memperlambat hanyalah permainan. Esensi waktu adalah keheningan.”
Cahaya formasi memudar. Yu Chen terengah, keringatnya membeku di udara yang dingin, namun matanya bersinar. Ia telah mempelajari cara menunda waktu satu napas—langkah kecil, tapi cukup untuk melampaui manusia biasa.
Setelah latihan pertama berakhir, He Feng duduk di atas batu besar yang tertutup lapisan tipis salju. Api spiritual membara di hadapannya, namun tak memberi panas; nyalanya biru dan berisi kenangan.
“Yu Chen,” katanya lirih, “kau tahu mengapa aku terjebak di sini?”
Yu Chen menggeleng. Ia merasakan sesuatu di balik kata-kata itu—sebuah luka yang jauh lebih dalam dari kesengsaraan dunia.
He Feng menatap jauh ke langit-langit gua. “Aku dulu disebut Zhen Fa Sheng, Master Formasi Abadi. Aku berani memutar waktu, mencoba mengembalikan seorang muridku yang mati saat melindungiku. Tapi waktu bukan sungai yang bisa dibendung. Ia menggigit tangan yang memaksanya berbalik.”
Cahaya api biru memantulkan siluet wajah He Feng—setengah manusia, setengah bayangan. “Formasiku hancur, Dataran Beku runtuh. Aku diseret ke sini oleh arus waktu yang pecah. Sejak saat itu, aku tahu: setiap upaya menentang waktu harus dibayar dengan eksistensi.”
Yu Chen menunduk. Ia mengingat semua yang pernah ia lakukan untuk bertahan—membunuh, mencuri, melanggar batas. Jika setiap tindakan memiliki gema karmanya, berapa banyak kesengsaraan yang menunggunya nanti?
He Feng seolah membaca pikirannya. “Karma bukan murka langit, tapi bayangan langkahmu sendiri. Semakin tinggi kau mendaki, semakin panjang bayangan itu menjerat.” Ia menatap Yu Chen tajam. “Paviliun Langit Gelap dan Sekte Agung mengabaikan hukum ini. Mereka menumpuk karma seperti debu di bawah singgasana. Saat badai datang, mereka akan tertelan.”
“Apakah aku juga begitu, Guru?” tanya Yu Chen pelan.
He Feng tersenyum tipis. “Belum. Tapi kau menapaki jalan yang sama. Kau menanggung darah naga dan kekacauan di jiwamu. Jika kau tak mengendalikannya, Hukum Kehampaan akan menelannya.”
Ia menunjuk ke dada Yu Chen. “Gunakan latihan ini bukan untuk kekuatan, melainkan penebusan. Pahami bahwa setiap detik yang kau peroleh adalah pinjaman dari kehampaan.”
Kata-kata itu meresap dalam jiwa Yu Chen. Di dalam dirinya, suara Roh Naga bergetar—dingin dan sinis. “Penebusan? Dunia hanya mengingat pemenang.”
Namun kali ini Yu Chen tidak menjawab. Ia hanya menatap He Feng dan berkata lirih, “Kalau begitu, ajari aku cara tidak kalah tanpa menentang langit.”
He Feng tertawa kecil. “Mungkin itulah yang disebut kebijaksanaan.”
Beberapa hari berlalu di dalam gua, meski sulit mengukur waktu di sana. He Feng terus memaksanya memadukan Ruang dan Waktu: mengiris udara hingga terlipat, lalu menahan tebasannya di dalam gelembung waktu beku. Kadang pedangnya bergerak begitu lambat hingga nyaris berhenti, namun setiap goresan menembus lebih dalam dari sebelumnya.
Perlahan, Yu Chen mulai memahami: kekuatan sejati bukanlah kecepatan, melainkan kendali. Ia mampu menunda gerakan bilahnya sampai detik yang tepat—momen ketika semua kemungkinan bersatu menjadi satu garis takdir.
Suatu malam, He Feng memecah keheningan. “Kau telah menggabungkan dua hukum, tapi belum menyatukannya. Untuk itu, kau harus belajar menerima bahwa waktu tidak memiliki arah. Ia hanya ada.”
Yu Chen merenung lama. Kata-kata itu menyinggung inti Hati Dao-nya: selama ini ia selalu mengejar sesuatu—kekuatan, balas dendam, pencerahan. Tapi jika waktu tak memiliki arah, mungkinkah semua kejaran hanyalah bayangan dirinya sendiri?
Di luar gua, badai salju menutupi Dataran Beku Kehampaan. Kapal spiritual Ning Rou melayang perlahan di antara kabut, dindingnya diselimuti formasi pelindung yang berpendar lembut. Di ruang kendali, Ning Rou menatap batu komunikasi yang tiba-tiba bergetar dengan cahaya merah.
Suara seorang pria tua keluar dari dalamnya—tegas dan dingin. “Rou’er, kau terlalu jauh menuruti idealismemu. Klan Ning membutuhkanmu di Majelis Alkimia. Jika kau menolak, semua sumber daya alkimia akan ditarik.”
Suara itu—Ayahnya, Ning Qi. Dulu penuh kebanggaan, kini hanya menyisakan ancaman.
Ning Rou mengepalkan tangan. “Ayah, aku tidak bisa kembali sekarang. Dunia di luar telah busuk. Paviliun dan Sekte Agung hanya peduli pada kekuasaan. Jika aku kembali, semua pengetahuan alkimia kita akan dipakai untuk perang.”
“Perang menghasilkan stabilitas,” jawab Ning Qi datar. “Dan bocah itu—Yu Chen—adalah sumber kekacauan. Kau akan hancur bersamanya.”
Sambungan terputus, meninggalkan keheningan dingin. Ning Rou menatap salju yang turun di luar jendela, lalu menyentuh kristal Batu Roh Tertinggi di genggamannya. Batu itu bergetar lembut, memancarkan pola formasi yang belum ia pahami.
“Apakah ini... bagian dari Formasi Abadi yang disebut Guru He Feng?” bisiknya.
Cahaya biru dari batu itu memantul di matanya, seolah menjawab ya. Di balik formasi rumit itu, ia melihat kilasan simbol yang sama dengan yang terukir di dinding gua tempat Yu Chen berlatih. Sebuah koneksi misterius yang melintasi ruang dan waktu.
Tiba-tiba, seluruh kapal bergetar keras. Gelombang energi menembus kabut—frekuensi yang berbeda dari apapun yang pernah ia rasakan. Ning Rou berlari ke dek dan melihat di kejauhan, di balik badai, sinar ungu membelah langit.
“Mu Feng...” gumamnya ngeri.
Dari retakan itu, kapal spiritual Sekte Naga Hijau muncul, berkilau dengan lapisan formasi pelacak. Di puncaknya berdiri Mu Feng, matanya menyala dengan kekuatan artefak yang memutar waktu di sekitarnya. Salju di sekelilingnya berhenti jatuh—setiap butir membeku di udara, seolah dunia tunduk padanya.
He Feng di dalam gua segera merasakan gangguan itu. “Mereka datang lebih cepat dari perkiraanku,” katanya sambil menatap Yu Chen yang sedang bermeditasi. “Kau belum siap untuk bertarung.”
Yu Chen membuka mata. Cahaya keemasan menari di pupilnya, tapi auranya belum stabil. “Aku tak bisa bersembunyi selamanya.”
He Feng menghela napas panjang. “Jika kau keluar sekarang, waktu akan memusuhimu. Tapi jika kau tak keluar, orang yang kau lindungi akan lenyap.”
Yu Chen diam. Di dalam pikirannya, suara Roh Naga berbisik tajam: “Kekuatan bukan untuk menunggu, tapi untuk menelan.”
Namun ia mengingat pelajaran gurunya—keheningan adalah inti waktu. Ia menarik napas, menstabilkan Jiwa Puncaknya, lalu berkata perlahan, “Guru, jika waktu memusuhiku, maka aku akan berjalan di dalam musuh itu.”
He Feng menatapnya lama. “Kau berani mengucapkan kalimat yang dulu juga kukatakan. Semoga nasibmu berbeda dariku.”
Dari jauh, gelombang energi Mu Feng semakin mendekat. Ning Rou menyalakan seluruh formasi pertahanan kapal, tapi ia tahu takkan cukup. Cahaya ungu itu menembus lapisan pelindung pertama, menciptakan ledakan cahaya yang menerangi seluruh Dataran Beku.
Yu Chen berdiri di mulut gua. Pedangnya terhunus, tetapi bilahnya bergetar bukan karena angin—melainkan karena waktu di sekitarnya mulai retak, seperti kaca yang menolak takdirnya sendiri.
“Guru,” katanya pelan, “berapa lama satu detik dapat diperpanjang?”
He Feng tersenyum. “Selama hatimu tenang.”
Yu Chen menutup mata. Dunia di sekitarnya melambat; suara badai, retakan formasi, bahkan detak jantungnya sendiri memudar menjadi keheningan total. Dalam ruang tanpa waktu itu, ia melangkah keluar—satu langkah yang memisahkan masa latihan dan medan perang.
He Feng menatap bayangan muridnya menghilang di tengah cahaya biru, lalu berbisik, “Waktumu menipis, pengelana jiwa. Tapi mungkin... di antara serpihan kehampaan, kau akan menemukan abadi.”
Badai salju terus bergulung di atas Dataran Beku. Di kejauhan, dua cahaya—ungu dan emas—saling bertabrakan di langit, membelah kabut seperti dua era yang saling menolak.
Di dalam gua yang kini kembali hening, He Feng menutup matanya. Api biru di hadapannya padam satu per satu, meninggalkan jejak samar Formasi Abadi yang berputar perlahan—seolah waktu sendiri tengah menunggu hasil pertarungan itu.