Di Kota Pontianak yang multikultur, Bima Wijaya dan Wibi Wijaya jatuh hati pada Aisyah. Bima, sang kakak yang serius, kagum pada kecerdasan Aisyah. Wibi, sang adik yang santai, terpesona oleh kecantikan Aisyah. Cinta segitiga ini menguji persaudaraan mereka di tengah kota yang kaya akan tradisi dan modernitas. Siapakah yang akan dipilih Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan di Balik Senja
Setelah percakapan telepon yang singkat dan penuh keraguan, Andini dan Pramudya sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Kafe itu adalah tempat yang netral, jauh dari ingar-bingar bisnis dan kenangan yang menghantui.
Andini tiba lebih dulu, duduk di sudut ruangan dengan tatapan kosong. Ia memesan teh hangat, tetapi tidak menyentuhnya. Pikirannya berkecamuk, dipenuhi pertanyaan dan harapan yang saling bertentangan.
Tak lama kemudian, Pramudya datang. Ia tampak gugup dan gelisah, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Ia memesan kopi hitam pahit, seolah ingin menutupi kelelahan dan kecemasannya.
"Terima kasih sudah mau bertemu," kata Andini, memecah keheningan.
"Aku yang seharusnya berterima kasih," balas Pramudya, menghindari tatapan Andini. "Aku tahu, aku sudah menyakitimu."
"Aku tidak ingin membahas masa lalu," kata Andini, meskipun hatinya masih terasa perih. "Aku hanya ingin tahu, apa yang terjadi padamu?"
Pramudya menghela napas panjang. "Aku... aku sedang mencari pekerjaan baru," jawabnya, suaranya pelan. "Sulit untuk menemukan sesuatu yang cocok dengan keahlianku."
Andini menatap Pramudya dengan tatapan menyelidik. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
"Apa kamu sudah menghubungi teman-teman di industri batik?" tanya Andini. "Aku yakin, mereka akan senang membantumu."
Pramudya menggelengkan kepalanya. "Aku ingin mencoba sesuatu yang baru," katanya. "Sesuatu yang lebih... menantang."
"Menantang seperti apa?" desak Andini.
Pramudya terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang apakah ia harus berterus terang. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyembunyikan kebenaran.
"Aku sedang mempertimbangkan beberapa tawaran dari perusahaan desain," jawabnya. "Mereka menawarkan proyek-proyek yang inovatif dan berorientasi pada pasar global."
Andini mengerutkan kening. "Perusahaan desain? Tapi kamu kan ahli dalam batik. Kenapa kamu ingin beralih ke bidang lain?"
"Aku ingin mengembangkan diri," jawab Pramudya, berusaha meyakinkan Andini. "Aku tidak ingin terjebak dalam zona nyamanku."
Andini terdiam. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dalam jawaban Pramudya. Ia tidak percaya bahwa Pramudya akan begitu mudah meninggalkan batik, yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya.
"Apa kamu yakin ini yang kamu inginkan?" tanya Andini, nadanya lembut. "Apa kamu tidak menyesal meninggalkan Warna Warni Nusantara?"
Pramudya menatap Andini dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku tidak tahu," jawabnya, suaranya bergetar. "Mungkin aku akan menyesalinya nanti. Tapi saat ini, aku merasa ini adalah
satu-satunya cara untuk maju."
Andini meraih tangan Pramudya dan menggenggamnya erat. "Jangan melakukan sesuatu yang akan kamu sesali," katanya, matanya berkaca-kaca. "Jangan korbankan kebahagiaanmu demi ambisi yang kosong."
Pramudya membalas genggaman Andini, merasakan kehangatan dan keakraban yang telah lama hilang. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya, ingin meminta maaf atas kebodohannya, ingin kembali ke pelukan Andini. Tetapi ia terlalu takut untuk mengakui kelemahannya, terlalu terikat pada janji-janji manis kesuksesan.
"Aku tahu apa yang aku lakukan," kata Pramudya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Aku akan baik-baik saja."
Andini melepaskan genggaman Pramudya dan menatapnya dengan tatapan sedih. "Aku harap kamu benar," katanya. "Aku harap kamu tidak akan menyesalinya nanti."
Mereka berdua terdiam sejenak, larut dalam pikiran masing-masing. Suasana di kafe itu terasa semakin canggung dan tegang.
Akhirnya, Pramudya berdiri dan berkata, "Aku harus pergi. Ada pertemuan lain yang harus kuhadiri."
Andini mengangguk lemah. "Hati-hati di jalan," katanya.
Pramudya berbalik dan berjalan menuju pintu. Andini menatap punggungnya, merasa ada sesuatu yang hilang di antara mereka. Ia merasa Pramudya semakin menjauh darinya, memasuki dunia yang tidak bisa ia jangkau.
Setelah Pramudya pergi, Andini duduk terdiam di kafe itu, memikirkan semua yang telah terjadi. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia tidak percaya bahwa Pramudya hanya sedang mencari pekerjaan baru. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih berbahaya yang sedang terjadi.
Instingnya sebagai seorang pengusaha dan sebagai seorang wanita mengatakan kepadanya bahwa ia harus menyelidiki apa yang sedang terjadi. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Pramudya. Ia harus melindungi Warna Warni Nusantara dari ancaman yang tidak diketahui.
Andini meneguk tehnya yang sudah dingin, merasa tekadnya semakin kuat. Ia akan mencari tahu kebenaran, tidak peduli apa pun risikonya. Ia akan mengungkap rahasia yang tersembunyi di balik senyum dan kata-kata manis Pramudya.
Keesokan harinya, Andini datang ke Warna Warni Nusantara dengan tekad baru. Ia menyapa para karyawannya dengan senyum cerah, berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang membebani pikirannya.
Namun, di balik senyumnya, Andini mulai mengamati setiap gerak-gerik dan percakapan di sekitarnya. Ia mencari petunjuk yang mungkin dapat mengungkap kebenaran tentang Pramudya.
Ia memulai dengan berbicara dengan beberapa karyawan yang dekat dengan Pramudya, menanyakan tentang kegiatan dan proyek yang sedang dikerjakan oleh mantan rekannya itu. Namun, semua jawaban yang ia dapatkan terasa hambar dan tidak memberikan informasi yang berarti.
"Maaf, Bu Andini, saya tidak tahu apa-apa tentang Pak Pramudya," kata seorang karyawan dengan nada menyesal. "Kami sudah lama tidak berhubungan setelah ia keluar dari perusahaan."
Andini menghela napas. Ia merasa seperti sedang mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Namun, ia tidak menyerah. Ia memutuskan untuk memeriksa catatan keuangan dan dokumen-dokumen proyek yang pernah dikerjakan oleh Pramudya. Ia berharap dapat menemukan sesuatu yang mencurigakan atau tidak konsisten.
Saat sedang memeriksa catatan pengeluaran untuk proyek pemasaran tahun lalu, Andini menemukan sebuah transaksi yang aneh. Ada sejumlah uang yang ditransfer ke rekening sebuah perusahaan konsultan desain yang tidak dikenal.
Andini mengerutkan kening. Ia tidak ingat pernah menggunakan jasa perusahaan konsultan desain untuk proyek pemasaran Warna Warni Nusantara. Ia mencoba untuk mencari informasi tentang perusahaan tersebut di internet, tetapi tidak menemukan apa-apa. Perusahaan itu seolah tidak pernah ada.
Andini merasa jantungnya berdegup kencang. Ia yakin, ini adalah petunjuk yang ia cari.
Ia memutuskan untuk menghubungi bank dan meminta informasi lebih lanjut tentang transaksi tersebut. Setelah menunggu beberapa jam, ia menerima balasan dari pihak bank.
Informasi yang ia terima membuatnya terkejut dan marah. Ternyata, rekening perusahaan konsultan desain yang tidak dikenal itu terdaftar atas nama seorang pria bernama Surya, yang beralamat di Jakarta.
Nama Surya itu terasa familiar di telinga Andini. Ia mencoba untuk mengingat di mana ia pernah mendengar nama itu sebelumnya.
Tiba-tiba, ia teringat percakapannya dengan Pramudya di kafe. Pramudya mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan tawaran dari perusahaan desain yang menawarkan proyek-proyek yang inovatif dan berorientasi pada pasar global.
Andini merasa darahnya mendidih. Ia menyadari bahwa semua potongan teka-teki itu akhirnya menyatu. Pramudya tidak hanya mencari pekerjaan baru, tetapi ia bekerja sama dengan perusahaan yang mencurigakan, yang mungkin memiliki niat jahat terhadap Warna Warni Nusantara.
Ia mencoba menghubungi Pramudya, tetapi teleponnya tidak aktif. Ia merasa semakin yakin bahwa Pramudya sedang menyembunyikan sesuatu.
Dengan perasaan marah dan dikhianati, Andini memutuskan untuk menghubungi Abi. Ia tahu, Abi adalah satu-satunya orang yang bisa ia percayai saat ini.
"Abi, bisakah kamu datang ke kantor?" tanya Andini, suaranya bergetar. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
"Tentu, Andini," jawab Abi dengan nada khawatir. "Apa yang terjadi?"
"Aku akan menjelaskannya nanti," kata Andini. "Tolong datang secepatnya."
Beberapa jam kemudian, Abi tiba di kantor Warna Warni Nusantara. Ia melihat Andini duduk di ruangannya dengan wajah yang tegang dan mata yang merah.
"Apa yang terjadi, Andini?" tanya Abi, mendekat dan memegang tangannya. "Kamu terlihat sangat khawatir."
Andini menarik napas dalam-dalam dan mulai menceritakan semua yang telah terjadi: pertemuannya dengan Pramudya, transaksi aneh yang ia temukan, dan kecurigaannya terhadap Surya dan perusahaan konsultan desain yang tidak dikenal itu.
Abi mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Wajahnya semakin serius saat Andini menceritakan detail-detail yang mencurigakan.
"Aku yakin, Pramudya sedang bekerja sama dengan orang-orang yang ingin menghancurkan Warna Warni Nusantara," kata Andini, air matanya mulai mengalir. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Abi memeluk Andini erat-erat. "Tenang, Andini," katanya, berusaha menenangkan. "Aku akan membantumu. Kita akan mencari tahu kebenaran dan melindungi bisnis kita."
Andini membalas pelukan Abi, merasa sedikit lega dan tenang. Ia tahu, dengan bantuan Abi, ia akan mampu menghadapi tantangan apa pun.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Andini, melepaskan pelukan Abi.
"Pertama, kita perlu mencari tahu lebih banyak tentang Surya dan perusahaan konsultan desain itu," kata Abi. "Aku akan meminta bantuan temanku yang bekerja di kepolisian untuk melakukan penyelidikan."
"Kedua, kita perlu berhati-hati dengan setiap keputusan yang kita buat di Warna Warni Nusantara," lanjut Abi. "Kita tidak boleh memberikan kesempatan kepada Pramudya dan teman-temannya untuk menyabotase bisnis kita."
Andini mengangguk setuju."...Aku akan melakukan apa pun untuk melindungi Warna Warni Nusantara," kata Andini dengan tekad membara di matanya. "Ini adalah warisan keluargaku, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkannya."
Abi tersenyum dan menggenggam tangan Andini. "Aku tahu kamu bisa, Andini," katanya. "Kamu adalah wanita yang kuat dan cerdas. Aku yakin, kita akan mengatasi masalah ini bersama."
Mereka berdua saling bertatapan, merasakan kehangatan dan kepercayaan yang tumbuh di antara mereka. Setelah bertahun-tahun berpisah, mereka akhirnya bersatu kembali, bukan hanya sebagai teman, tetapi juga sebagai sekutu dalam perjuangan yang sulit.
"Terima kasih, Abi," kata Andini, suaranya tulus. "Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu."
"Aku akan selalu ada untukmu, Andini," balas Abi. "Kita akan menghadapi masalah ini bersama, seperti dulu."
Dengan bantuan Abi, Andini merasa lebih kuat dan percaya diri. Ia tahu, perjalanan yang ada di depannya tidak akan mudah, tetapi ia siap untuk menghadapi tantangan apa pun.
Malam itu, Andini dan Abi menghabiskan waktu berjam-jam di kantor, menyusun rencana untuk melindungi Warna Warni Nusantara. Mereka memeriksa setiap aspek bisnis mereka, mencari celah keamanan dan potensi ancaman.
Saat matahari mulai terbit, mereka berdua merasa lelah tetapi puas. Mereka telah melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk.
"Kita sudah melakukan semua yang kita bisa," kata Abi, meregangkan otot-ototnya yang kaku. "Sekarang, kita hanya perlu menunggu dan melihat apa yang akan terjadi."
Andini mengangguk setuju. "Aku harap, kita bisa mengungkap kebenaran sebelum Pramudya dan teman-temannya melakukan sesuatu yang membahayakan bisnis kita," katanya.
Mereka berdua terdiam sejenak, memandang ke luar jendela ke arah kota yang mulai menggeliat. Mereka tahu, hari-hari yang akan datang akan penuh dengan ketidakpastian dan bahaya. Tetapi mereka juga tahu, mereka tidak sendirian. Mereka memiliki satu sama lain, dan mereka akan berjuang bersama untuk melindungi apa yang mereka cintai.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*