Gadis, sejak kecil hidup dalam bayang-bayang kesengsaraan di rumah keluarga angkatnya yang kaya. Dia dianggap sebagai anak pembawa sial dan diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu. Puncaknya, ia dijebak dan difitnah atas pencurian uang yang tidak pernah ia lakukan oleh Elena dan ibu angkatnya, Nyonya Isabella. Gadis tak hanya kehilangan nama baiknya, tetapi juga dicampakkan ke penjara dalam keadaan hancur, menyaksikan masa depannya direnggut paksa.
Bertahun-tahun berlalu, Gadis menghilang dari Jakarta, ditempa oleh kerasnya kehidupan dan didukung oleh sosok misterius yang melihat potensi di dalam dirinya. Ia kembali dengan identitas baru—Alena.. Sosok yang pintar dan sukses.. Alena kembali untuk membalas perbuatan keluarga angkatnya yang pernah menyakitinya. Tapi siapa sangka misinya itu mulai goyah ketika seseorang yang mencintainya ternyata...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sagitarius-74, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JALAN MENJADI KELUARGA
Hari-hari berlalu cepat. Setiap pagi, Ferdo bangun lebih awal untuk memasak sarapan bagi Gadis sebelum ia pergi ke sekolah.
Ia selalu memeriksa apakah Gadis merasa baik-baik saja, takut ia mual lagi di jalan. Gadis pun mulai memakai baju yang sedikit lebar, seperti kemeja lengan panjang dan rok yang agak panjang, untuk menyembunyikan perutnya yang mulai sedikit buncit.
“Sampai jumpa sore, sayang. Jangan terlalu capek ya,” ucap Ferdo sembari mencium pipi Gadis yang sedang memakai tas sekolah.
“Baik, Ferdo. Jangan lupa makan siang ya,” balas Gadis dengan senyum. Ia merasa lebih tenang sekarang, seperti yang Ferdo katakan, teman-temannya hanya mengira ia sedikit gemuk, tidak ada yang curiga. Bahkan gurunya pun hanya menanyakan apakah ia sedang dalam kondisi baik-baik saja?
Setelah Gadis pergi, Ferdo berangkat kerja. Di toko bangunan, ia bekerja dengan giat, berharap bisa mendapatkan gaji tambahan untuk mempersiapkan kelahiran anak mereka.
Kadang-kadang, ia menerima telepon dari rumah. Suara Nyonya Isabella yang selalu marah, meminta ia pulang dan menikahi Elena.
“Ferdo, kapan kamu akan menyadari kesalahanmu? Gadis itu tidak pantas untukmu! Elena sudah menunggu, dia dari keluarga baik!” seru Nyonya Isabella di telepon.
“Bu, aku hanya mencintai Gadis. Dan sekarang, dia sedang hamil anakku,” jawab Ferdo dengan tegas. Ada kecemasan di hatinya, tapi ia harus tegas.
Ada jeda sejenak di sisi lain telepon. Kemudian, suara Nyonya Isabella terdengar lebih lemah, tapi masih penuh kebencian. “Anak? Jangan bohong padaku! Kamu pasti dibohongi oleh gadis itu!”
“Bu bisa datang ke sini kalo tidak percaya. Aku akan buktikan,” katanya sebelum menutup telepon. Hatinya berdebar kencang — apa kalau orang tuanya benar-benar datang? Apa yang akan mereka lakukan pada Gadis?
Malam itu, Gadis pulang dari sekolah dengan wajah ceria. “Hari ini, guru matematika bilang nilainya membaik loh, Ferdo!” ucapnya sambil melompat ke pelukan Ferdo.
Ferdo tersenyum, memeluknya erat. “Hebat banget, sayang! Nanti malam aku masak makanan favoritmu ya, bakso!”
Tapi ketika ia melihat perut Gadis yang semakin terlihat, kekhawatiran kembali muncul. “Sayang, aku baru saja bicara dengan Bu Isabella. Aku katakan kamu hamil.”
Gadis mengangkat alisnya, matanya penuh ketakutan. “Apa dia bilang apa?”
“Dia tidak percaya, bahkan bilang kamu bohong. Tapi aku ajak dia datang ke sini.”
“Ferdo, aku takut… apa kalau dia marah dan mau membawamu pulang?” tanya Gadis dengan nada gemetar.
Ferdo mengelus rambutnya perlahan. “Tidak akan terjadi itu, sayang. Aku akan selalu di sampingmu. Mungkin ini kesempatan untuk mereka menerima kita.”
Tiga hari kemudian, bunyi dering pintu terdengar saat Gadis sedang belajar di kamar dan Ferdo sedang memasak di dapur. Ferdo berjalan cepat ke pintu, dan ketika ia membukanya, ia melihat Nyonya Isabella, Tuan Antonio, dan Elena berdiri di depan pintu. Rafael dan Renata tidak ikut.
“Kita datang seperti yang kamu minta, Ferdo,” kata Tuan Antonio dengan nada dingin. Matanya melirik rumah mini itu dengan pandangan hina.
Ferdo mengundangnya masuk, hati berdebar kencang. Gadis mendengar bunyi dan keluar dari kamar, tangannya rapat memegang baju roknya. Ketika ia melihat Nyonya Isabella dan Elena, badannya gemetar.
“Gadis…” ucap Nyonya Isabella, matanya menatap perut Gadis yang sudah cukup terlihat. Ada keheranan di matanya.
“Bu… Pak…” katanya pelan.
Elena mendekati Gadis, wajahnya penuh kemarahan. “Kamu pasti bohong! Bagaimana mungkin kamu hamil anak Ferdo? Kamu hanya anak angkat yang ingin mengambil harta keluarga kita!”
“Jangan bicara seperti itu pada dia!” seru Ferdo, berdiri di depan Gadis untuk melindunginya. “Kita sudah menikah, dan dia memang hamil anakku. Kita bisa periksa ke dokter kalo mau!”
Tuan Antonio mengangkat tangan, memberitahu Elena untuk diam. Ia mendekati Gadis, matanya memandang perutnya dengan cermat. “Kamu benar-benar hamil, Gadis?” tanyanya dengan nada yang lebih lembut.
Gadis mengangguk, mata sudah membasahi air mata. “Ya, Pak. Sudah dua bulan lebih.”
Ada keheningan di ruang tengah. Kemudian, Nyonya Isabella menghela nafas dalam-dalam.
Ia mendekati Gadis, dan untuk pertama kalinya, pandangannya tidak penuh kebencian. “Aku… aku tidak tahu apa yang harus kubilang. Aku selalu membencimu karena aku pikir kamu tidak pantas untuk Ferdo. Tapi… anakmu juga cucuku.”
Gadis menangis lepas, merasa beban di hatinya terangkat. Ferdo juga menangis, memeluk Gadis dengan kuat. “Terima kasih, Bu. Terima kasih sudah mau menerima kita.”
Elena melihat keadaan itu dengan mata penuh kesedihan. Ia mendekati Ferdo, ia menangis. “Ferdo, aku mencintaimu. Tapi kalu kamu bahagia dengan dia, aku akan mundur. Semoga kamu bahagia.” Kemudian, ia berjalan keluar dari rumah, meninggalkan mereka berempat.
Tuan Antonio menggenggam tangan Ferdo. “Kita tidak akan memaksamu pulang, Ferdo. Tapi kalo kamu butuh apa-apa, hubungi kita ya. Dan ketika anakmu lahir, bawa dia ke rumah agar kita bisa melihat cucu kita.”
Ferdo mengangguk dengan senyum lebar. “Terima kasih, Pak. Aku akan, insyaallah.”
Setelah orang tuanya pergi, Gadis dan Ferdo memeluk satu sama lain dengan erat. Semua kekhawatiran dan kesedihan yang mereka rasakan selama ini seolah lenyap dalam sekejap.
“Kamu lihat, sayang? Semua akan baik-baik saja,” ucap Ferdo.
Gadis mengangguk, matanya penuh harapan. “Ya, Ferdo. Aku sangat bahagia.”
Beberapa minggu kemudian, Gadis akhirnya lulus SMA. Acara kelulusan di sekolah dihadiri oleh Ferdo, dan juga Nyonya Isabella dan Tuan Antonio yang datang diam-diam dari kejauhan.
Mereka melihat Gadis menerima ijazahnya dengan wajah muram, dan hatinya merasa jengkel pada putri angkat yang dulu mereka benci.
Empat bulan kemudian, malam yang dingin di Malang, Gadis merasakan rasa sakit yang kuat di perutnya. Ferdo langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Setelah beberapa jam berjuang, suara tangisan bayi yang kuat terdengar di ruang bersalin.
“Selamat, Bapak Ferdo. Anak Anda perempuan, sehat semuanya,” kata bidan dengan senyum.
Ferdo melihat bayi perempuan yang diletakkan di dada Gadis, matanya penuh air mata. Gadis juga menangis, merasa kebahagiaan yang tak terkatakan. Bayi itu memiliki mata yang mirip dengan Ferdo dan bibir yang mirip dengan Gadis.
“Mari kita beri nama dia Luna,” kata Gadis.
“Luna… nama yang cantik,” balas Ferdo dengan senyum.
Beberapa hari kemudian, mereka pulang ke rumah mini mereka dengan Luna. Tiba-tiba, bunyi dering pintu terdengar. Ferdo membukanya dan melihat Nyonya Isabella, Tuan Antonio, Rafael, dan Renata berdiri di depan pintu. Rafael dan Renata melihat Luna dengan mata penuh keheranan.
“Kita mau melihat cucu kita,” kata Nyonya Isabella dengan senyum di paksakan.
Ferdo mengundangnya masuk. Gadis duduk di ranjang dengan Luna di pelukannya. Renata mendekati, melihat Luna dengan hati-hati. “Dia cantik, Kak Gadis. Maaf ya, dulu aku selalu menyakitimu dengan kata-kata.”
Rafael juga mengangguk. “Maaf juga, Kak. Kami salah menyalahkanmu.”
Gadis tersenyum, matanya penuh kebahagiaan. “Tidak apa-apa. Yang penting sekarang kita bersama-sama.”
Malam itu, semua orang berkumpul di ruang tengah yang semula sempit. Luna tidur di buaian yang dibuat Ferdo sendiri, sementara keluarga mereka berbincang-bincang dengan tawa.
Rumah mini itu yang dulu hanya berisi Gadis dan Ferdo sekarang menjadi tempat yang penuh dengan kehangatan keluarga.
Ferdo melihat Gadis yang sedang menatap Luna dengan senyum, dan ia merasa sangat bahagia.
Semua tantangan yang mereka lewati , kabur dari rumah, tidur terpisah, ketakutan akan kehamilan, dan penolakan dari keluarga, semuanya berharga.
Karena sekarang, mereka memiliki keluarga yang utuh, cinta yang kuat, dan harapan untuk masa depan yang lebih cerah.
“Terima kasih, sayang,” bisik Ferdo di telinga Gadis. “Karena kamu, hidupku penuh makna.”
Gadis memegang tangan Ferdo. “Terima kasih juga, Ferdo. Kamu adalah semua yang kuberikan.”
Di ruang tengah yang penuh cahaya dan tawa, mereka berdua menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu ada di tempat yang besar atau kaya.
Kadang, kebahagiaan ada di rumah mini yang penuh cinta, di pelukan keluarga, dan di senyum anak yang baru lahir. Dan itu adalah segalanya yang mereka butuhkan.
Tenyata, dibalik kebaikan tuan Antonio dan nyonya Isabella, juga semua keluarganya, termasuk Elena, ada maksud tersembunyi...