Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
Season 2 : 30
Tujuh Bulan setelah kepulangan kembali Kania ke Desa Ranu Asri.
Kania sedang sibuk mengatur stok packaging kopi baru dengan logo “Akar Kencana” yang elegan. Sedangkan Bara sedang mengurus roasting biji kopi. Mereka bekerja dalam sinkronisasi yang sempurna; Bara fokus pada kualitas, Kania fokus pada logistik.
Musik Jazz terdengar mengalun pelan di dalam Kedai Kopi Senja Ranu, kontras dengan Aroma Kopi yang kuat.
Kania menutup laptop-nya. “Pre-order bulan ini memecahkan rekor lagi, Mas Bara. Kita bisa melipatgandakan pesanan untuk batch berikutnya. Aku sudah bicara dengan Dini, kelompok tenun-nya siap membuat tas packaging khusus untuk edisi premium.”
Bara tersenyum bangga. “Aku tidak tahu bagaimana aku menjalankan semua ini tanpamu, Kani. Kau mengubah hobi menjadi sebuah Brand”
‘’Itu karena pondasi produknya sudah kuat, Mas. Kamu yang membuat biji kopi itu bisa dinikmati seenak itu.”
Mereka berbagi ciuman singkat di balik meja kasir. Rencana pernikahan mereka sedang disusun, dan hidup terasa sempurna.
***************************
Siang itu, sebuah mobil SUV hitam mengkilap—sesuatu yang sangat asing di Desa Ranu Asri—berhenti mendadak di depan Kedai Senja.
Seorang pria, Tuan Dirga (pengusaha kopi besar dari kota, berpakaian mahal, keluar dengan bodyguard dan seorang asisten muda), ia tampak berkuasa.
Tuan Dirga masuk ke dalam Kedai dengan pandangan yang meremehkan. “Ohh, jadi ini Kedai Senja? Hmm. Lebih kecil dari yang kuduga. Saya mencari pemiliknya.”
Kemudian Bara melangkah maju.
“Saya pemiliknya. Bara. Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Tuan Dirga menyeringai, ketika melihat logo ‘Akar Kencana’. “Saya Dirga. Saya melihat Brand ini meledak di E-Commerce. Ide yang brilian, Nona (ia menunjuk Kania). Saya ingin mengakuisisi bisnis ini. Saya akan membeli seluruh kebun kopi Anda dan memberikan royalti yang besar untuk Anda. Nama Akar Kencana akan menjadi Brand Nasional.”
Bara dan Kania saling pandang. Mereka tahu, tawaran ini adalah ancaman terhadap bisnis mereka.
“Terima kasih, Pak Dirga. Tapi kebun ini bukan untuk di jual,” ucap Bara dengan tegas.
Tuan Dirga tertawa keras. “Semua hal bisa dijual, anak muda. Saya akan kembali. Pikirkan baik-baik. Jangan biarkan idealisme merusak potensi bisnis bernilai jutaan.”
Dirga pergi, meninggalkan ketegangan yang dingin di kedai. Kania dan Bara tahu, kedamaian mereka baru saja berakhir.
Beberapa Hari kemudian Tuan Dirga kembali datang ke Kedai Senja.
Tuan Dirga menyandarkan tubuhnya ke kursi, menunggu Bara dan Kania terkesima dengan angka yang ia tawarkan. Bara dan Kania saling berpandangan, tidak ada keraguan.
Bara dengan suara tegas dan tenang, melangkah maju sedikit. “Maaf, Pak Dirga. Tapi kebun ini dan brand “Akar Kencana” tidak untuk dijual.”
Tuan Dirga tertawa, menganggapnya sebagai langkah negosiasi awal.
“Jangan terburu-buru, anak muda. Saya bicara jutaan. Angka yang saya tawarkan bisa membuat Anda pensiun sekarang juga. Anda bisa membangun homestay mewah di tempat lain. Anda bisa membeli kebun yang lebih besar di luar Desa Ranu Asri.”
Kania melangkah maju, berdiri sejajar dengan Bara. Suaranya terdengar profesional tapi penuh dengan emosi.
“Pak Dirga, nilai dari kebun ini bukan pada angka panennya. Nilai dari brand ini bukan hanya pada logo yang saya desain. Ini tentang warisan, tentang komunitas, dan tentang filosofi yang kami tanam bersama. Kami menjual kejujuran, Pak. Kami tidak akan menjual akar tempat kami bertumbuh.”
Tuan Dirga, yang tidak terbiasa ditolak, raut wajahnya berubah dingin. Mengambil kembali dokumen dari atas meja.
“Menarik. Kalian berdua penuh idealisme, itu bagus. Tapi idealisme tidak akan membawa kalian jauh di dunia bisnis yang sesunggguhnya. Saya akan memberitahumu sesuatu, Bara. Jika Anda menolak tawaran ini, saya akan pastikan bahwa Bisnis yang Anda bangun akan menjadi sangat sulit. Saya menguasai jalur pasokan di kota. Saya bisa membuat Akar Kencana sulit untuk bertumbuh.”
Bara tidak gentar. Ia meraih tangan Kania, menunjukkan kesatuan mereka.
“Kami tidak takut, Pak Dirga. Kami sudah teruji dengan konflik yang lebih personal dan lebih sulit dari sekadar persaingan bisnis. Kami akan tetap berdiri di sini, di Desa Ranu Asri.”
Tuan Dirga tertawa terakhir kalinya, tawa yang penuh dengan ancaman. “Kita lihat saja. Desa kecil ini terlalu sempit untuk ambisi besar kalian.”
Tuan Dirga berbalik, masuk ke SUV mewahnya, dan pergi dengan deru mesin yang memekakkan telinga. Ia meninggalkan Bara dan Kania sendirian, menghadapi tantangan pertama mereka sebagai mitra sejati.
Kania menghela napas, menatap Bara. “Itu tadi… terasa lebih nyata dari kecemburuanmu, Mas.”
Bara tersenyum, dan matanya penuh tekad. “Tentu. Itu adalah konflik yang tidak akan bisa kita selesaikan hanya dengan ciuman. Tapi kita akan menghadapinya bersama, Kania.”