Gigoloku Bossku

Gigoloku Bossku

Bab Satu

"Hari ini aku akan membawakan makan siang yang terbaik buat suamiku. Kasihan dia harus segera ke kantor karena mau menyiapkan rapat. Mas Aldi pasti senang karena aku membawa bekal lauk yang dia sukai," gumam Elena sambil berdiri di depan kompor.

Pagi ini udara terasa agak lembap. Hujan semalam masih meninggalkan sisa embun di kaca jendela dapur rumah sederhana yang ia tempati bersama Aldi. Tirai tipis berwarna putih susu hanya bisa meredam sedikit cahaya matahari yang sudah berusaha masuk. Dapur kecil itu terasa hangat, penuh aroma bawang putih yang baru digoreng, bercampur dengan harum ayam yang sedang ia masak. Elena sibuk mengaduk wajan, sesekali mengecek panci nasi yang mengepulkan asap. Tangannya cekatan, tapi wajahnya mulai berkeringat, dan ia mengelapnya dengan punggung tangan.

“Harusnya aku sudah berangkat setengah jam lalu …,” desis Elena sambil melirik jam dinding yang menunjuk pukul delapan kurang sepuluh. Ia memang agak terlambat. Biasanya, ia sudah berangkat lebih pagi. Tapi entah kenapa, pagi ini hatinya ingin menyiapkan bekal istimewa untuk Aldi.

Sejak dua tahun lalu mereka menikah, Elena berusaha keras menjadi istri yang baik. Meski sama-sama bekerja di perusahaan yang sama, ia tidak pernah mau berhenti melakukan hal-hal kecil seperti memasakkan sarapan atau membekali suaminya. Hari ini ia menyiapkan ayam teriyaki, tumis buncis, sambal, dan telur dadar gulung kesukaan Aldi. Sederhana, tapi menurutnya makanan buatan istri bisa jadi pengingat, kalaupun suaminya lelah bekerja, ada seseorang yang menunggu dan selalu peduli.

Setelah selesai, Elena menatanya ke dalam wadah kaca satu per satu. Ia menutupnya rapat lalu memasukkannya ke dalam tas bekal. Sejenak ia menatap bekal itu dengan tatapan kosong. Ada senyum tipis yang muncul, tapi matanya tidak ikut tersenyum. Sudah beberapa bulan belakangan ia merasa ada jarak dengan Aldi. Suaminya sering pulang larut, jarang mengajaknya bicara, bahkan kadang terlalu dingin untuk sekadar bertanya kabar hariannya. Elena mencoba memahami. Mungkin beban kerja Aldi sebagai direktur muda memang besar. Tapi tetap saja ada yang terasa tidak wajar.

Ia menghela napas panjang, membereskan meja makan yang sedikit berantakan, lalu bergegas ke kamar. Ia mengambil blazer biru muda, merapikan rambutnya di depan cermin, dan memandang wajahnya sendiri cukup lama. “Hari ini pasti baik-baik saja. Aku hanya perlu percaya,” bisiknya sambil tersenyum paksa.

Perjalanan menuju kantor terasa lebih macet dari biasanya. Taksi yang ia tumpangi berjalan lambat di antara deretan mobil lain. Elena mengetuk-ngetukkan jari ke pahanya, gelisah karena terlambat. Ia sengaja memilih naik taksi pagi ini, karena tubuhnya sudah terlalu lelah untuk menyetir. Matanya menatap keluar jendela, melihat trotoar yang masih basah oleh sisa hujan.

Hatinya sedikit was-was, tapi ia merasa punya alasan. Membawa bekal untuk direktur perusahaan, yang kebetulan adalah suaminya sendiri. Tidak banyak yang tahu kalau mereka sudah menikah. Aldi sejak awal memang meminta status itu dirahasiakan. Katanya demi menjaga profesionalitas. Elena sempat kecewa, tapi akhirnya mengalah. Ia percaya pada suaminya. Ia percaya pada kesetiaannya.

Begitu tiba di lobi perusahaan, Elena buru-buru turun dari taksi, menyapa satpam, dan berjalan cepat menuju lift. Tumit sepatunya berketuk nyaring di lantai marmer, bergaung di lorong yang ramai oleh karyawan yang sibuk. Lift terbuka, ia masuk, menekan tombol lantai tempat ruang kerja Aldi. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan hanya karena berlari kecil, tapi juga karena ingin segera menyerahkan bekal itu. Ia ingin melihat senyum Aldi, meski belakangan senyum itu jarang ia temui.

Pintu lift terbuka. Elena keluar, melangkah ke arah pintu besar dengan papan nama suaminya. Tas bekal tergenggam erat di tangannya. Ia mengangkat tangan, bersiap mengetuk. Namun, langkahnya mendadak terhenti.

Telinganya menangkap suara samar dari balik pintu. Suara bisikan, disusul tawa lirih seorang wanita.

Elena menunduk, matanya menyipit. Ia mendekat, menempelkan telinga ke daun pintu. Suara itu makin jelas.

“Aldy … jangan di sini, nanti ada yang lihat ….”

Darah Elena serasa berhenti mengalir. Ia mengenali suara itu. Terlalu familiar. Itu suara Lisa.

Lisa, sahabatnya. Wanita yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri. Wanita yang dulu sering ia bawa makan bersama di rumah, yang sering menemaninya belanja, yang ia percaya seratus persen.

“Tenang saja. Pintu sudah terkunci. Lagi pula aku direktur perusahaan, tidak ada yang berani masuk tanpa izin,” jawab Aldi.

Ada jeda. Lalu suara kecupan terdengar.

Jantung Elena serasa diremas keras. Tangannya gemetar hebat. Tas bekal hampir terlepas. Pandangannya berkunang. “Tidak … jangan sampai ini benar. Ini pasti hanya ilusiku saja,” gumamnya dengan suara bergetar.

Tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutan. Perlahan, ia menyingkap sedikit tirai kecil di pintu kaca. Matanya membelalak.

Aldi sedang berdiri terlalu dekat dengan Lisa. Tangannya melingkari pinggang wanita itu, sementara Lisa menatap dengan mata berbinar penuh manja. Wajah mereka begitu dekat, hanya sejengkal jaraknya. Senyum puas di wajah Lisa menusuk hati Elena.

Elena buru-buru menutup mulut dengan tangan agar tidak bersuara. Air matanya nyaris tumpah, tapi ia tahan. Ia mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar, bibirnya bergetar tanpa suara. Rasanya seluruh dunianya runtuh.

Elena berbalik, melangkah cepat menjauh dari pintu itu. Kakinya hampir tidak menapak. Dengan terburu-buru ia masuk ke toilet wanita. Pintu ia kunci, lalu tubuhnya bersandar lemas ke dinding. Wanita itu lalu menyalakan keran, membasuh wajahnya berulang kali. Air dingin hanya membuat matanya semakin perih.

Elena menatap pantulan wajahnya di cermin. Pucat, mata merah, bibir bergetar. Senyum pahit muncul di wajahnya. “Kenapa harus Lisa. Sejak kapan kalian tega menghancurkan aku?” bisik Elena lirih.

Tangannya menepuk pipinya. “Tidak boleh lemah, Elen. Kamu harus kuat. Jangan bodoh. Jangan biarkan mereka tahu kamu sudah melihat semuanya.”

Dengan napas panjang, ia merapikan rambutnya, menghapus bekas air mata dengan tisu. Ia kembali melangkah ke ruang Aldi.

Kali ini, ia mengetuk pintu seperti biasa.

“Masuk,” suara Aldi terdengar dari dalam.

Elena masuk dengan wajah tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Lisa duduk di kursi tamu dengan senyum ramah. Aldi tampak sedikit kaku, merapikan jasnya.

“Hai, Elen. Baru datang? Wah, bawa bekal lagi ya?” Lisa tersenyum manis, seolah tak ada dosa.

Elena tersenyum tipis, meski hatinya hancur. “Iya. Aku sempatkan masak tadi pagi, sekalian bawain buat Mas Aldi.”

Aldi menoleh. Wajahnya sedikit tegang. “Oh … makasih, Sayang. Kamu memang istri yang terbaik.”

Kata ‘Sayang’ itu terdengar hambar. Tidak lagi hangat. Tapi Elena tetap mengangguk. Ia meletakkan tas bekal di meja Aldi, lalu berdiri. “Kalau begitu, aku ke ruanganku dulu. Selamat kerja ya.”

Lisa hanya tersenyum tipis. Aldi mengangguk singkat. Elena keluar dengan langkah yang terlihat biasa, padahal dadanya serasa ditusuk berkali-kali.

Hari itu berjalan sangat lambat. Di mejanya, Elena mencoba fokus. Tapi bayangan Aldi dan Lisa terus menghantui. Ia ingat momen-momen ketika Lisa sering datang ke rumah, membantu memasak, bahkan pernah bercanda bersama Aldi. Saat itu ia merasa senang punya sahabat yang akrab dengan suaminya. Ternyata semua hanya topeng.

Beberapa kali air matanya jatuh diam-diam, cepat ia hapus dengan tisu. Ia menunduk, tidak ingin ada rekan kerja yang curiga. Dadanya sesak, pikirannya kalut.

Jam kerja akhirnya usai. Biasanya, Elena akan langsung pulang, menyiapkan makan malam. Tapi sore itu, kakinya enggan melangkah ke arah rumah. Rumah yang biasanya hangat kini terasa palsu. Ia tidak ingin pulang.

Di depan gedung kantor, ia berdiri lama. Orang-orang lalu-lalang, bercengkerama, tertawa. Sementara ia hanya diam, tubuhnya kaku. Akhirnya, ia melambaikan tangan, menghentikan sebuah taksi.

“Ke pusat kota, Pak. Daerah klub malam,” ucapnya datar.

Sopir menoleh sebentar lewat spion, heran, tapi tidak bertanya. Taksi melaju.

Elena memandang lampu-lampu jalan yang mulai menyala. Gedung-gedung tinggi berkilau. Jalanan ramai oleh orang-orang dengan tujuan masing-masing. Di dalam taksi, ia memeluk tasnya erat. Matanya kosong, hatinya bergejolak. Rasa sakit, marah, kecewa bercampur jadi satu.

Ia memikirkan Aldi, memikirkan Lisa. Bagaimana mungkin dua orang yang paling ia percaya justru menusuk dari belakang. Dan entah kenapa, pikirannya berputar ke arah lain. "Kalau mereka bisa bersenang-senang di belakangnya, kenapa ia tidak bisa melakukan hal yang sama? Kenapa ia harus terus jadi korban, sementara mereka menikmati hidup seenaknya?"

Senyum getir terbit di bibirnya. “Baiklah. Aku akan membalas semua perlakuan kamu, Mas. Kalau kamu bisa mengkhianatiku, kenapa aku tidak?”

Taksi berhenti di depan sebuah bangunan besar. Lampu neon berwarna-warni berkelap-kelip. Dari dalam terdengar dentuman musik keras. Orang-orang berpakaian glamor keluar masuk dengan wajah penuh gairah.

Elena menatap tempat itu cukup lama. Jantungnya berdegup kencang, tangannya dingin, tapi langkahnya mantap. Ia membayar ongkos taksi, lalu keluar. Tumit sepatunya beradu dengan lantai trotoar. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Elena memasuki sebuah klub malam sendirian.

Terpopuler

Comments

Eka ELissa

Eka ELissa

hyuu ...good JM Lena kmu psti bisa bless tu duo penghianat... dia bisa brhianat knpa kmu enggk...

2025-09-09

4

Aisyah A

Aisyah A

langsung tambah favorit mommy.semangat up

2025-09-09

1

ken darsihk

ken darsihk

Aq mampir mam langsung taf fav 🩵

2025-09-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!