“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Langkah kaki Nayla terdengar pelan di jalan sempit menuju kontrakan kecil yang ia tinggali bersama kedua adiknya. Tubuhnya lelah setelah seharian bekerja.
Saat ia membuka pintu kontrakan yang engselnya sudah berdecit, suara televisi menyambutnya. Suara riang dari serial kartun terdengar memenuhi ruangan. Pandangan Nayla langsung tertuju pada sosok mungil adiknya, Lili, yang duduk di lantai dengan kaki bersila, matanya fokus ke layar televisi.
“Lili sendirian? Mas Dio kemana?” tanya Nayla sambil menaruh tas lusuhnya di kursi reyot dekat pintu.
Lili menoleh dengan wajah polos. “Mas Dio lagi bobok, Mbak di kamar,” jawabnya sambil tersenyum kecil.
Alis Nayla mengerut. Dio jarang tidur sore, apalagi sampai meninggalkan Lili sendiri menonton. Ada rasa tidak enak menyelinap di dadanya. Ia segera melangkah ke kamar kecil di samping dapur. Di dalam kamar yang hanya diterangi lampu redup, terlihat Dio terbaring meringkuk di atas kasur tipis yang sudah usang. Selimut lusuh menutupi tubuh kurusnya.
“Dio…” panggil Nayla pelan sambil berjongkok di sisi ranjang.
Tangannya terulur menyentuh kening bocah laki-laki itu. Seketika hatinya mencelos. Panas. Suhu tubuh Dio jauh lebih tinggi dari biasanya. Tubuh adiknya sedikit menggigil meski selimut sudah menutupi seluruh tubuhnya.
“Ya Allah… Dio demam,” bisiknya, matanya mulai memanas. Tubuh Dio memang tidak sekuat Lili. Jika ia kelelahan, tubuhnya akan langsung drop. Dan demam seperti ini, kadang juga di sertai dengan batuk.
Ia segera bangkit, dan berjalan menuju dapur. Dengan tangan yang masih bergetar, ia menuang beras ke panci kecil, menambahkan air, dan menyalakan kompor butut yang sering mati sendiri. Meski tubuhnya lelah, ia tidak peduli. Untuk adik-adiknya, Nayla rela melakukan apa saja.
Sambil menunggu bubur matang, Nayla mencari obat di lemari kecil tempat ia biasa menyimpan persediaan. Satu per satu botol dan bungkus kosong ia keluarkan. Matanya semakin cemas ketika menyadari persediaan sudah habis. Tidak ada satu pun obat penurun panas tersisa.
“Ya Tuhan… semua persediaan obat sudah habis?” desisnya lirih, hampir menangis.
Namun ia menahan air matanya. Dengan cepat, ia menuang bubur yang sudah matang ke mangkuk, menaruhnya di meja, lalu berjalan ke ruang tengah. Lili masih asyik menonton kartun, tidak sadar kakaknya sedang panik.
“Lili…” Nayla berjongkok di samping adiknya. “Mbak harus pergi sebentar ke apotek. Tolong jaga Mas Dio, ya. Jangan tinggalin dia sendirian. Kalau dia bangun, bilang Mbak sebentar lagi pulang.”
Lili mengangguk cepat. “Iya, Mbak. Oke.”
Nayla tersenyum tipis, mencium kening adiknya itu, lalu segera berlari keluar rumah. Hari sudah mulai gelap, jalanan semakin sepi, dan apotek yang terdekat cukup jauh. Namun ia tidak punya pilihan.
...
Setelah hampir lima belas menit berjalan cepat, Nayla akhirnya sampai di apotek kecil di tepi jalan besar. Ia membeli obat penurun panas dan membayar dengan uang terakhir yang ia simpan. Selesai urusan, ia segera berjalan pulang, menembus angin malam.
Namun langkahnya terhenti ketika melewati sebuah warung kopi di sudut jalan. Suara tawa keras bercampur makian terdengar. Dan di sanalah, duduk di kursi panjang, ayahnya. Darman.
Pria itu memegang kartu di tangan, sesekali meneguk minuman keras, lalu tertawa terbahak-bahak bersama kawan-kawannya.
Saat Nayla berusaha menunduk dan berjalan cepat, namun suara keras itu menghentikannya.
“Hei… jalang! Sini kamu!” teriak Darman sambil menunjuk ke arahnya.
Langkah Nayla membeku. Dadanya sesak. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pisau. Jalang. Keluar dari mulut ayahnya sendiri. Bibirnya bergetar, tapi ia memilih menunduk dan terus melangkah, berpura-pura tidak mendengar.
Namun, sebelum ia bisa menjauh, sebuah tangan kasar menarik lengannya keras hingga tubuhnya terhuyung.
“Kamu tuli ya?!” bentak Darman, wajahnya dekat, bau alkohol menusuk hidung Nayla.
“Pak, lepaskan! Nayla harus pulang. Dio sakit,” suara Nayla bergetar, tangannya berusaha melepaskan cekalan itu.
Darman akhirnya melepaskannya, namun matanya menatap tajam, menyapu tubuh anak perempuannya itu. Pandangannya berhenti pada kantong plastik yang Nayla pegang.
“Apa itu?” tanyanya curiga.
“Obat. Buat Dio. Dia demam,” jawab Nayla singkat, mencoba tetap tenang.
Darman menyeringai miring. “Punya duit rupanya kamu? Bisa beli obat segala.”
“Uang Nayla sudah habis, Pak. Semua buat beli obat Dio.”
“Jangan bohong!” bentak Darman. Tangan kasarnya langsung menggeledah seluruh saku pakaian Nayla.
“Nggak ada apa-apa, Pak.” Nayla berusaha menahan, tapi sia-sia.
Akhirnya, Darman menemukan selembar uang dua puluh ribuan di saku bajunya, kembalian dari apotek tadi.
“Nah! Ini duit, kan? Mau bohong sama orang tua kamu, hah?! Dasar anak durhaka!” Ia menuding dahi Nayla keras hingga gadis itu terdorong mundur.
Pria itu tertawa, melambaikan uang itu di depan teman-temannya.
“Lumayan, nih. Bisa buat pasang lagi!” katanya, kembali duduk sambil memainkan kartu, sementara botol minuman keras kembali ia teguk. Tanpa pernah memperdulikan, anak-anaknya yang sering kali menahan lapar, karena tidak bisa membeli makanan.
Nayla berdiri terpaku. Tangannya menggenggam erat dadanya, mencoba menahan emosi yang memuncak. Air matanya sudah kering, habis entah sejak kapan. Tidak ada gunanya melawan. Tidak ada gunanya menuntut. Baginya, yang terpenting hanyalah Dio dan Lili.
Dengan langkah berat, ia pergi meninggalkan warung itu.
...
Sesampainya di kontrakan, Nayla langsung menuju kamar. Bubur yang tadi ia letakkan di meja ia bawa masuk.
“Dio…” suaranya lembut sambil menggoyang pelan bahu adiknya.
Bocah itu membuka mata setengah, wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.
“Ayo bangun sebentar. Makan bubur dulu, ya. Habis itu minum obat.”
Dio mengerjap, biasanya selalu kasar jika bicara dengan Nayla. Namun kali ini, tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Ia hanya menurut, membuka mulutnya sedikit demi sedikit ketika Nayla menyuapkan bubur hangat.
“Pelan-pelan, Dio… ayo makan sedikit saja.”
Air mata menetes di sudut mata Nayla ketika melihat adiknya menelan bubur dengan susah payah. Setelah itu, ia menyodorkan obat dan segelas air. Dio menurut, menelan dengan wajah menahan pahit.
“Anak pintar.” ucap Nayla sambil membelai rambut adiknya lembut.
Malam itu, Nayla duduk di samping ranjang hingga larut. Ia tidak peduli lelah yang menggerogoti tubuhnya. Hanya ada satu doa yang ia panjatkan dalam hati. semoga Dio cepat sembuh, semoga Lili tetap ceria, dan semoga ia diberi kekuatan untuk bertahan dari semua luka yang tak pernah sembuh.
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭