Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 : Makan Malam dan Sebuah Rencana yang Gagal
Restoran itu berdiri megah di puncak gedung pencakar langit, dihiasi lampu gantung kristal dan alunan musik klasik yang mengalir lembut di udara. Dari jendela kaca, kelap-kelip kota tampak seperti ribuan cahaya bintang jatuh di bawah kaki mereka. Malam itu, Nathaneil Graves tampak sempurna dalam setelan gelapnya, duduk di seberang Samantha yang mengenakan gaun hitam sederhana namun memikat, rambutnya disanggul rapi, memperlihatkan leher jenjang yang anggun dan tatapan mata yang sulit ditebak.
"Bagaimana harimu?" tanyanya tenang, menyesap anggur merah sambil mengamati setiap detail raut wajah wanita itu.
Samantha tersenyum tipis, sopan. "Cukup menantang, seperti biasa."
Nathaneil tak menjawab segera. Ia mengamati wanita di hadapannya, tenang, tak terusik, seolah ombak kecil yang menggoyang reputasinya tak lebih dari percikan air di tepi pantai. Padahal, beberapa hari terakhir, gosip tentang dirinya dan Samantha menyebar seperti virus. Bisik-bisik di antara rekan kerja, desas-desus murahan yang menggerogoti nama mereka berdua. Tapi tidak sekali pun Samantha menunjukkan tanda ingin menyerah atau... meminta perlindungan darinya.
Dan itu yang membuat Nathaneil sedikit jengkel.
Ia sengaja mengundangnya malam ini. Di balik senyum dan suasana romantis yang ia ciptakan, ada harapan terpendam, bahwa Samantha akan melembut, akan meminta bantuan, akan membiarkan dirinya berperan sebagai penyelamat yang agung. Bahwa akhirnya, wanita itu akan datang padanya bukan hanya karena ambisi... tapi karena kebutuhan.
Namun lagi-lagi, Samantha mengejutkannya.
"Aku rasa masalah kemarin cukup menguras perhatian semua orang," ucap Samantha, meletakkan sendok dengan anggun. "Tapi sudah selesai. Clara sudah dapat peringatan dari HR, dan aku sudah memastikan semua dokumen evaluasi tim lengkap. Aku tidak suka drama, apalagi di tempat kerja."
Nathaneil mengangkat alis, mencoba menyembunyikan keterpukauannya. Wanita ini... benar-benar tidak bisa ditebak. Tidak panik, tidak mengeluh, tidak mencari tumpuan. Ia melindungi dirinya sendiri, dengan kecerdasan dan ketegasan yang nyaris menakjubkan.
Dan entah kenapa, itu membuat Nathaneil semakin terikat.
Samantha meliriknya sekilas. "Kau juga pasti sedikit terganggu dengan gosip itu, ya?"
"Sedikit," jawabnya pelan, menyesap kembali anggurnya. "Tapi aku tidak terlalu peduli... selama orang-orang yang benar-benar penting tahu siapa kita sebenarnya."
Mata mereka bertemu. Sunyi sejenak. Seolah dalam diam itu, mereka sedang mengukur kekuatan masing-masing.
Nathaneil tersenyum tipis. Ia sadar, ia telah memilih wanita yang tepat. Cantik, pintar, dan tahan banting. Seseorang yang tidak mudah dirobohkan... kecuali oleh dirinya sendiri. Dan justru karena itulah, keinginannya untuk memiliki wanita itu tumbuh semakin dalam. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga pikirannya. Seluruh keberadaannya.
Namun untuk saat ini, ia hanya mengamati.
Dan menunggu celah berikutnya.
...****************...
Langit malam menurunkan suhu kota dengan perlahan. Angin di balkon hotel berembus lembut ketika Nathaneil dan Samantha berdiri berdampingan, membisu. Mereka baru saja tiba kembali di suite tempat mereka menginap setelah makan malam panjang yang mengalir tenang namun penuh makna.
Tak ada satu pun percakapan tentang pekerjaan yang terlalu dalam, tak juga rayuan yang menggantung. Tapi semua terasa cukup berbahaya. Karena di antara mereka, ada kesadaran akan garis yang samar, antara kekuasaan dan perasaan, antara manipulasi dan ketertarikan.
Samantha melepas sepatu hak tingginya, langkahnya ringan namun penuh kehati-hatian. "Terima kasih untuk makan malamnya," ujarnya sambil berjalan menuju lemari, menyiapkan pakaian ganti.
Nathaneil hanya mengangguk, matanya mengikuti setiap gerak wanita itu dari balik bayangan. Ia menyandarkan tubuhnya di ambang pintu kamar, kedua tangannya menyilang di dada.
"Kau terlihat anggun malam ini," katanya akhirnya, suaranya rendah, nyaris seperti gumaman yang menyelusup ke tengkuk Samantha.
Samantha berhenti sesaat, menoleh dengan senyum tipis. "Aku tahu kau senang mendengar pujianmu sendiri."
Nathaneil tertawa pelan, lalu mendekat, cukup dekat hingga ia bisa mencium samar wangi lembut di tubuh Samantha. Tapi wanita itu tidak mundur. Kali ini tidak. Ia tetap berdiri di tempat, menatapnya langsung. Tegas. Bukan karena tidak takut, tapi karena ia harus tetap tenang agar tidak kehilangan kendali.
"Aku pikir... kau akan bicara soal gosip itu," Nathaneil berkata pelan. "Atau memintaku melakukan sesuatu. Kau tahu aku bisa menghentikan mereka semua dengan satu telepon."
Samantha menghela napas. "Dan membiarkan semua orang berpikir kau memang membelaku karena aku selingkuhanmu? Tidak. Aku tidak butuh itu."
Nathaneil diam. Sekali lagi wanita itu menolak untuk dijadikan korban, atau alat dalam permainan kekuasaannya.
"Kenapa kau begitu keras?" tanyanya, hampir seperti keluhan. "Tak lelah terus menahan diri dariku?"
"Karena kau bukan tempatku beristirahat," jawab Samantha datar, matanya tajam menembus sosok pria itu.
Malam itu tidak berakhir dengan pelukan hangat atau kecupan manis seperti yang Nathaneil harapkan. Hanya ada ketegangan yang mengendap di udara, seperti arus listrik tak kasat mata yang mengalir di antara mereka.
Samantha masuk ke kamar mandi, menutup pintu perlahan. Sementara Nathaneil berdiri seorang diri di ruang tamu suite, menggenggam gelas wine yang masih setengah penuh.
Ia menyesapnya sambil tersenyum kecil.
Wanita ini memang berbahaya, pikirnya.
Dan ia semakin yakin, ia tidak bisa lagi membiarkannya pergi.
...****************...
Nathaneil tidak tidur malam itu.
Ia duduk di kursi kulit hitam dekat jendela besar suite, menatap gemerlap lampu kota New York yang tak pernah benar-benar padam. Matanya tak bergerak, tapi pikirannya melayang. Ke wanita di balik dinding kamar itu. Samantha.
Dia berbeda. Terlalu berbeda.
Wanita lain, mereka selalu menatapnya dengan penuh harap, tubuh mereka lunak dan mudah dibentuk. Mudah jatuh, mudah dibeli. Tapi Samantha... Samantha memiliki lapisan-lapisan yang tidak bisa dikupas dengan uang atau kekuasaan. Ia datang dengan luka, dengan rahasia, dengan ketabahan yang justru membuatnya semakin memikat.
Nathaneil mendongakkan kepala, menyesap sisa wine di gelas kristal, lalu tersenyum miring.
"Dia tahu cara melindungi dirinya… tapi tidak cukup untuk melindungi dirinya dariku," gumamnya pelan, seakan meyakinkan dirinya sendiri.
Dari awal, semua ini seharusnya sekadar permainan. Obsesi kecil untuk menguasai sesuatu yang tak mudah ditaklukkan. Tapi kini, ketika Samantha menolak bantuan, melawan dengan anggun, menyusun kata-kata dengan ketegasan tanpa membentak, dia justru semakin terjerat.
Ia tak bisa melihat wanita itu berdiri di samping lelaki lain. Tidak Leonard. Tidak siapa pun. Bahkan jika Samantha akhirnya membencinya, bahkan jika ia harus menghancurkan semua dunia di sekitar wanita itu, ia tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Nathaneil merasakan desakan yang asing dalam dadanya. Bukan cinta. Ia tidak percaya pada cinta. Tapi sesuatu yang jauh lebih menyesakkan.
"Kau membuatku seperti ini, Samantha," bisiknya.
Tangannya mengepal di sisi tubuh, mata menatap bayangan samar tubuh wanita itu yang bergerak di balik pintu kamar. Dia tahu Samantha sedang bersiap tidur. Mungkin menenangkan dirinya. Mungkin memikirkan Leonard.
Dan itu cukup untuk membuat Nathaneil ingin memecahkan sesuatu.
Samantha telah menanamkan dirinya terlalu dalam. Dan jika suatu hari nanti wanita itu memilih untuk pergi… Maka akan ada harga yang harus dibayar.
Bukan oleh Samantha saja. Tapi oleh dunia.