Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 25 Ketika Hati Bicara Lebih Dulu
Langit sore itu tampak mendung, seolah mencerminkan isi hati Galuh yang sedang kacau. Ia berjalan sendirian menyusuri koridor kampus setelah kelas usai, namun pikirannya tertinggal di atap kos tempat ia dan Saras semalam duduk berdua. Obrolan mereka, meski sederhana, meninggalkan jejak dalam di hati Galuh.
Saras memang tidak mengucapkan banyak kata, tapi tatapan matanya, caranya memandang, seolah berbicara lebih banyak dari seribu kalimat. Galuh tidak bisa berhenti memikirkannya. Ia tahu perasaan itu sudah semakin dalam, dan ia tidak bisa lagi menyembunyikannya, bahkan dari dirinya sendiri.
Namun, di sisi lain, bayangan Rangga kembali menghantui. Meskipun Saras tidak pernah menyebutkan hubungannya secara langsung, Galuh tahu ada sejarah antara mereka. Dan sejak kemunculan Rangga yang tiba-tiba tempo hari, Saras tampak lebih sering diam, lebih sibuk dengan pikirannya sendiri.
Di tengah lamunan itu, Galuh mendengar suara langkah cepat di belakangnya.
"Galuh!" panggil Ardi, salah satu teman sekelasnya.
Galuh menoleh dan tersenyum kecil. "Ada apa, Di?"
"Lo gak ikut rapat kepanitiaan festival bulan depan? Katanya lo ditunjuk jadi koordinator logistik."
Galuh mengerutkan dahi. "Serius? Gue gak dengar apa-apa."
Ardi mengangguk. "Baru tadi siang diumumin. Makanya, ayo ikut ke ruang hima sekarang."
Tanpa banyak pikir, Galuh mengiyakan. Mungkin menyibukkan diri adalah solusi untuk menenangkan pikirannya. Ia berjalan bersama Ardi menuju ruang himpunan mahasiswa, mencoba mengalihkan pikiran dari Saras. Tapi itu mustahil. Setiap hal kecil tetap mengarah kembali ke wajah Saras.
Di lain tempat, Saras duduk di pojok kamar kosnya. Ia menatap ponsel yang sejak tadi tidak berhenti bergetar. Pesan dari Rangga masuk satu per satu, semua bernada penuh penyesalan dan ingin bertemu. Saras menatap layar itu dengan tatapan kosong, lalu menghempaskan ponselnya ke kasur.
Ia menarik napas panjang, mencoba mengatur emosi yang meletup-letup. Semenjak Rangga kembali muncul, dunianya kembali berputar ke masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam. Ia membenci dirinya yang masih ragu, masih takut, dan masih merasa bersalah.
Namun yang paling membuatnya gelisah adalah Galuh. Cowok itu terlalu polos, terlalu tulus, dan Saras takut akan menghancurkannya jika terus dibiarkan dekat. Tapi entah kenapa, ia tidak mampu menjauh. Setiap kali Galuh ada di dekatnya, Saras merasa sedikit lebih tenang, sedikit lebih hidup.
Malam harinya, mereka kembali bertemu di dapur. Suasana canggung menggantung di udara. Saras sedang membuat teh hangat saat Galuh masuk.
"Mau bikin mie?" tanya Saras sambil menoleh sekilas.
Galuh mengangguk. "Iya. Tapi kayaknya kamu duluan, deh."
Saras menggeleng. "Udah selesai kok. Aku cuma bikin teh."
Galuh membuka lemari, mengambil mie instan, lalu mulai menyiapkan air panas. Suara mendidih dari ketel elektrik menjadi satu-satunya suara yang terdengar, selain detak jantung mereka yang makin keras.
"Kamu kelihatan capek," ucap Saras akhirnya.
Galuh melirik. "Iya, tadi rapat dadakan. Aku ditunjuk jadi koordinator logistik."
"Wah, keren. Kamu pasti bisa."
Galuh tertawa kecil. "Mudah-mudahan. Tapi aku lebih pengen tahu, kamu baik-baik aja, Sar?"
Saras terdiam. Pertanyaan itu, meski sederhana, membuat dadanya sesak. Ia ingin bilang tidak. Ingin mengeluh, menangis, bercerita. Tapi ia hanya menjawab, "Aku baik."
Galuh menatapnya lama. "Kalau kamu butuh cerita... aku di sini, Sar. Aku mungkin nggak ngerti semuanya, tapi aku bisa dengerin."
Saras tidak sanggup menahan air matanya. Ia segera membalikkan badan, pura-pura sibuk mengambil gelas, menyembunyikan wajahnya.
"Makasih, Galuh. Kamu... terlalu baik."
"Karena kamu juga baik," balas Galuh pelan.
Dan malam itu, tanpa perlu banyak kata, mereka tahu ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka. Meski masih diliputi keraguan, mereka sudah mulai berjalan ke arah yang sama. Meninggalkan bayang-bayang masa lalu, dan menyambut cerita baru yang masih panjang.