"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Kembali ke Akademi
Udara pagi masih basah oleh embun ketika Cakra berdiri di depan cermin, merapikan seragamnya untuk terakhir kali sebelum kembali ke akademi. Di balik pantulan kaca, matanya terlihat lebih tegas—lebih siap. Meski begitu, ada sorot sendu yang tak bisa ia sembunyikan.
Ibunya, dengan langkah pelan dan tangan menggenggam kotak bekal kecil, menghampiri dari balik pintu kamar.
“Yuk, berangkat. Nanti ketinggalan kereta,” ucapnya lembut.
Perjalanan menuju stasiun diisi keheningan yang hangat. Mobil berjalan pelan, seolah memberi waktu bagi keduanya untuk menyerap momen terakhir sebelum perpisahan sementara. Sesekali, Cakra melirik ke arah ibunya, ingin mengatakan sesuatu, tapi selalu urung. Ibunya pun sama. Hanya tatapan mata mereka yang berbicara.
Setibanya di stasiun, suasana pagi semakin ramai. Suara pengumuman keberangkatan bersahutan, menyeret waktu makin dekat ke momen perpisahan.
Di depan pintu masuk peron, sang ibu berhenti. Ia menatap Cakra lama, kemudian menepuk pundaknya dengan lembut.
“Jadi orang kuat itu bukan cuma di fisik, tapi juga di hati,” katanya, menahan getar di suaranya.
Cakra menahan napas sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya, Bu.”
Satu pelukan singkat mengakhiri percakapan itu. Tak perlu kata-kata lebih. Ia melangkah masuk ke peron dengan langkah mantap, membawa ransel di punggung dan semangat baru dalam dada.
Dari balik jendela kereta, sesaat sebelum kereta mulai melaju, ia masih sempat membalas lambaian ibunya—dan dalam benaknya, terlintas wajah Shifa yang tersenyum, menyemangati dari jauh. Hatinya hangat. Perjalanan ini bukan sekadar kembali ke akademi. Ini adalah langkah baru menuju versi dirinya yang lebih kuat.
Setelah berjam-jam duduk di dalam kereta, roda besi akhirnya berhenti di stasiun tujuan. Cakra turun dengan langkah mantap, udara dingin khas dataran tinggi langsung menyergap wajahnya—udara yang dulu terasa menekan, kini justru memberi semangat baru.
Begitu memasuki gerbang akademi militer, aroma tanah lembab dan suara sepatu beradu dengan aspal menyambutnya. Ia menatap sekeliling: barak, lapangan, dan gedung-gedung latihan yang tak berubah. Tapi ia tahu, dirinya kini sudah berbeda.
Langkah kakinya mantap menuju barak. Ransel berat di punggung terasa ringan karena semangat yang ia bawa dari rumah—dan dari seseorang di Bandung yang kini mulai memenuhi pikirannya.
Begitu membuka pintu barak, suara tawa langsung menyambut.
“Woy! Komandan baru datang juga akhirnya!” seru Darma, langsung menghampiri dan memeluk bahunya singkat. Senyum lebar tak bisa disembunyikan dari wajahnya.
Cakra tertawa kecil. “Gila lu, Dar.”
Hakim juga muncul dari arah tempat tidur. “Jangan lupa kita ya, Jenderal! Jangan mentang-mentang udah naik pangkat jadi sok sibuk!” katanya sambil melempar bantal kecil ke arah Cakra.
“Tenang aja. Kalian tetap pasukan paling bandel yang pernah ada,” balas Cakra sambil tersenyum lebar.
Cakra menaruh ranselnya, lalu duduk di ranjang dengan napas lega. Di tengah tawa dan candaan, ia merasa—untuk pertama kalinya sejak semester lalu—benar-benar siap. Bukan hanya secara fisik, tapi juga hati.
Semester baru dimulai dengan atmosfer berbeda. Kini, Cakra bukan lagi hanya taruna biasa. Ia berdiri di depan barisan dengan tanda pangkat kecil di pundaknya—penanda tanggung jawab besar yang baru saja ia emban sebagai Komandan Pleton.
Sore itu, di lapangan kecil dekat barak, matahari mulai turun perlahan di ufuk barat. Angin sejuk meniup lembut, namun ketegangan terasa di antara mereka yang berdiri tegak dalam barisan.
“Besok pagi jam 04.30 kita mulai lari pagi. Jangan ada yang telat. Siang, giliran barak kita jaga dapur, dan malam nanti, jaga malam dibagi dua shift. Siapkan stamina kalian,” ucap Cakra tegas.
Sorot matanya tajam, bahunya tegap. Aura kepemimpinan yang awalnya samar kini mulai jelas terlihat. Darma dan Hakim, yang berdiri di barisan kedua, saling melirik dan tersenyum bangga.
Namun, tidak semua wajah memancarkan antusiasme yang sama. Di ujung barisan, Arlan berdiri dengan wajah datar, matanya tak pernah sekali pun menatap ke arah Cakra.
Setelah apel selesai dan barisan dibubarkan, Cakra mendekat untuk mengajak Arlan bicara. Namun Arlan hanya mengangguk singkat, lalu melangkah pergi tanpa sepatah kata pun.
“Teu kitu atuh, Arlan mah,” gumam Darma pelan di belakang Cakra, dengan logat khas Bandung-nya. “Geus ti baheula oge mun aya nu unggul saeutik, manehna rada tarik nyanghareupan.”
Cakra menghela napas pelan. Ia tahu, menjadi pemimpin bukan berarti semua orang akan suka padanya. Tapi melihat sahabatnya menjauh seperti itu, tetap menyisakan rasa sesak di dada.
Di malam hari, saat barak mulai tenang dan lampu-lampu dimatikan satu per satu, Cakra termenung di ranjang. Tanggung jawab baru ini memang bukan hanya soal memberi instruksi—tapi juga soal menjaga, memahami, dan terkadang... merelakan.
Malam itu, barak perlahan tenggelam dalam keheningan setelah seharian penuh aktivitas. Udara dingin merambat melalui dinding beton, namun sudut tempat tidur di pojok barak terasa hangat oleh kehadiran tiga sahabat yang kini duduk beralaskan handuk dan kaos tipis—baru saja selesai mandi.
Cakra, Darma, dan Hakim bersandar di dinding, berbagi sisa camilan dan gelak tawa. Obrolan mereka awalnya ringan—tentang pelatih yang makin cerewet, tentang menu dapur yang makin hambar, hingga cerita iseng Hakim yang sempat tertidur di tengah apel sore minggu lalu.
Tapi tiba-tiba, nada bicara Cakra berubah. Ia menunduk sejenak, sebelum berkata pelan, “Kalian ngerasa Arlan berubah nggak?”
Darma langsung menoleh, ekspresinya lebih serius dari biasanya. “Iya, akang juga ngerasa, Cak. Arlan sekarang rada tarik. Mungkin... teu resep ningali akang jadi komandan.”
Hakim menyela, suaranya tenang. “Biasalah, bro. Nggak semua orang bisa nerima perubahan. Apalagi kalo sebelumnya merasa sejajar, sekarang harus nurut.”
Cakra menarik napas dalam, menatap langit-langit barak yang remang. “Padahal kita dulu dekat banget. Tapi ya... jadi pemimpin nggak harus disukai semua orang, kan?”
Darma menepuk bahu Cakra. “Nu penting mah adil. Akang buktikeun wae ku sikap jeung tindakan. Lamun maneh jujur jeung tegas, batur ogé moal bisa ngelak.”
Hakim mengangguk. “Lu punya kami, Cak. Gua yakin lu bisa pimpin kita dengan kepala dingin.”
Cakra tersenyum tipis, namun dalam hatinya ada keyakinan yang mulai menguat. Ia tahu perjalanan ini takkan mudah—tapi ia tak sendiri. Malam itu, di tengah keheningan barak dan redupnya lampu tidur, Cakra mengukuhkan tekadnya: ia akan memimpin bukan hanya dengan instruksi, tapi dengan teladan.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf