Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. TAKUT POSISINYA DIREBUT
Agnes segera menuju pelataran begitu mendengar suara klakson mobil suaminya. Dengan senyum yang menghiasi wajahnya ia melangkah penuh semangat menghampiri sang suami. Matanya seketika berbinar begitu melihat tak hanya suaminya yang pulang, tapi juga ibu mertuanya.
"Mama." Setelah mencium punggung tangan sang suami, Agnes berpindah memeluk ibu mertuanya.
"Gimana kabar kamu, Nak?" tanya bu Diah setelah mengurai pelukan. Sejak Agnes pulang dari rumah sakit, ia belum pernah mengunjunginya.
"Alhamdulillah baik, Ma."
Bu Diah tersenyum. Wanita paruh baya itupun menggandeng lengan menantunya memasuki rumah. Sementara Teddy mengambil rantang yang masih berada di dalam mobil dan setelah itu segera menyusul mama dan istrinya.
"Oh ya, Mama bawakan rendang kesukaan kamu," ujar bu Diah sembari menunjukkan rantang yang dipegang oleh Teddy.
"Wah, Mama tahu aja kalau aku lagi kepengen makan rendang," ujar Agnes sembari tersenyum sumringah. Ia memang berencana untuk meminta bi Ira memasak rendang untuk menu makan malam nanti.
"Oh ya, Fiona mana?" tanya bu Dia setelah duduk di ruang tengah, mengedarkan pandangan mencari keberadaan menantu ke duanya itu. "Mama juga buatkan sup ayam dan rujak buat dia," ujarnya.
Senyum Agnes seketika pudar. "Ada di kamarnya, Ma," jawabnya datar.
Bu Diah pun mendongak menatap putranya yang masih berdiri. "Teddy, kamu panggil Fiona ya," titahnya.
"Iya, Ma," jawab Teddy terlihat begitu antusias.
"Mas, biar aku saja yang panggil," cegah Agnes ketika suaminya hendak pergi.
"Biar Teddy aja, Nes, kamu disini saja temani Mama." Bu Diah menahan lengan menantunya yang akan berdiri, lalu meminta Teddy untuk segera memanggil Fiona.
Tanpa mengulur waktu lagi, Teddy pun segera menuju kamar istri keduanya setelah meletakkan rantang berisi rendang dan sup ayam serta rujak itu di atas meja.
Agnes menatap langkah suaminya yang kian menjauh. Entah kenapa ia merasa Teddy terlihat begitu bersemangat untuk memanggil Fiona.
"Semoga ini hanya perasaanku saja. Mas Teddy gak mungkin menyukai Fiona," gumamnya dalam hati.
"Nes, cobain deh," ucap bu Diah membuat Agnes terhenyak. Ia membuka rantang dan meletakkan wadah yang berisi rendang di hadapan menantunya.
Agnes menoleh dan memasang senyum yang nampak dipaksakan, lalu mencoba rendang buatan ibu mertuanya yang selalu pas di lidahnya. Enak, namun entah kenapa ia tiba-tiba tak berselera karena memikirkan suaminya dan juga Fiona.
Sementara itu, Teddy yang telah berdiri di depan kamar Fiona, mengetuk pintu sembari memanggil nama istri keduanya itu. Namun, tak ada sahutan membuatnya langsung membuka pintu yang tidak dikunci.
Tak terlihat keberadaan Fiona saat ia masuk, namun terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi yang menandakan wanita itu sedang berada di dalam sana.
Ia pun memilih duduk di tepi tempat tidur sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar yang cukup luas itu, namun terlihat seperti ruangan kosong dimatanya. Menatap nanar satu persatu benda yang ada di kamar tersebut, ranjang yang hanya memuat dua orang dan sebuah nakas kecil di sampingnya, lemari pakaian yang tak seberapa besar, serta meja rias berukuran kecil. Sangat berbeda jauh dengan kamar yang ditempatinya bersama Agnes, dipenuhi dengan berbagai fasilitas yang lengkap.
Padahal di keluarganya, Fiona adalah putri yang begitu dimanjakan, segala keperluannya selalu terpenuhi. Tapi di rumahnya, istri keduanya itu menjalani kehidupannya dengan kesederhanaan dan ia baru menyadari itu.
Ia termenung dalam kesendirian. Merenungi sikapnya selama hampir dua bulan ini yang begitu buruk memperlakukan Fiona sebagai istri.
Suara pintu kamar mandi yang terbuka membuatnya terhenyak. Ia pun segera berdiri dan tersenyum tipis pada Fiona yang baru saja keluar dari sana.
Fiona nampak sedikit terkejut melihat keberadaan Teddy di kamarnya. Ia mematung di ambang pintu, bingung ingin meneruskan langkah atau masuk kembali ke kamar mandi sebab saat ini ia tidak sedang memakai hijab. Ia baru saja selesai mengambil wudhu, hendak mengaji sembari menunggu waktu Ashar tiba.
Meski Teddy adalah suaminya, tapi ia sedikit risih sebab hubungan mereka tak seperti suami istri pada umumnya.
"Mas Teddy ada perlu apa kesini?" tanya Fiona akhirnya.
"Aku mau ajak kamu turun. Dibawah ada Mama mau ketemu sama kamu," jawab Teddy.
"Oh." Fiona kembali melanjutkan langkahnya, menghampiri sang suami yang terus menatapnya dengan senyuman tipis, membuat rasa dihati kian bergejolak, namun berusaha ia tepis.
"Mas Teddy duluan aja. Nanti aku menyusul," kata Fiona.
"Kita bareng aja," ucap Teddy.
Fiona tak lagi menggubris, ia lalu mengambil jilbabnya yang terletak di atas tempat tidur, kemudian memakainya.
"Fio," panggil Teddy.
Fiona yang hendak keluar kamar itu menghentikan langkahnya dan kembali berbalik menatap sang suami. "Kenapa, Mas?"
"Boleh tanya sesuatu?"
Fiona terdiam sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya.
Teddy pun melangkah maju dan berdiri tepat di hadapan Fiona. Menatap dengan lekat wajah istri keduanya itu yang kini terlihat lebih cantik dalam balutan hijab.
"Sejak kapan kamu merubah penampilanmu seperti ini?"
"Sejak kamu tidak pernah lagi menemui aku, Mas. Saat itu aku baru menyadari bahwa sebenarnya aku juga menyukai kamu. Aku ingin mencari mu, namun sebelum itu aku ingin lebih memantaskan diri untukmu. Aku belajar di sebuah pesantren tanpa aku sadari, ternyata aku sudah terlambat. Kamu telah menikah dengan wanita lain," ujar Fiona, yang hanya dapat ia katakan dalam hati.
"Mas, sebaiknya kita turun sekarang. Mama pasti sudah nungguin," ucapnya mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin lagi membahas masa yang telah lalu, yang hanya akan menciptakan luka dalam hatinya.
Teddy pun mengangguk, kemudian mengikuti langkah Fiona keluar dari kamar itu.
Sesampainya di ruang tengah, Fiona langsung mencium punggung tangan bu Diah dan dibalas pelukan hangat oleh ibu mertuanya itu. Menciptakan kehangatan menjalar ke hati dan mengobati sedikit rasa rindunya pada sang mama.
Agnes yang sejak tadi menunggu dengan gelisah, memasang wajah datar melihat kedekatan ibu mertua dan madunya. Namun, dalam hati menahan rasa cemburu yang hanya dapat ia pendam.
Ia pun mendekati suaminya kemudian berbisik. "Kenapa Mas lama sekali cuma manggil Fiona?"
"Maaf, tadi Fiona lagi di kamar mandi, jadi aku tungguin dulu," balas Teddy juga berbisik.
"Sup ayamnya udah dingin, Mama panaskan dulu ya." Bu Diah hendak beranjak tapi Fiona segera menahannya.
"Gak usah, Ma, gak apa-apa. Dingin juga enak, kok,"
"Beneran nih?" tanya bu Diah memastikan, sebab menurutnya sup ayam lebih enak dinikmati selagi hangat.
Fiona mengangguk.
"Ya udah kalau gitu, sekarang kamu cicipi sup ayam buatan Mama. Oh ya, ada rujak juga, biasanya kan Ibu hamil muda itu suka sama yang asam-asam gitu."
Fiona tersenyum dengan mata berkaca-kaca menatap wanita paruh baya didepannya. Membayangkan apakah sang mama juga akan melakukan hal yang sama jika mengetahui tentang kehamilannya.
"Gimana, enak gak?" tanya Bu Diah begitu Fiona mencicipi sup buatannya.
"Ini enak banget," jawab Fiona sambil tersenyum.
Agnes memalingkan wajah seraya menarik nafas dalam-dalam.
Perasaan takut tiba-tiba saja menguasai hati dan pikirannya, melihat kedekatan Fiona dan ibu mertuanya membuatnya takut posisinya akan direbut oleh wanita itu. Terlebih, ia beberapa kali mendapati sang suami terus menatap Fiona dengan tatapan tak biasa.
kasih faham thor ... /Angry/