Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Terakhir
Pagi setelah pekerjaan rumah sudah rapi, aku berjanji bertemu dengan Vika di depan kantor perusahaan yang sama. Vika datang tepat waktu seperti yang dia kabarkan akan tiba pukul sembilan pagi. Dia sudah menunggu di halte depan kantor. Taksi berhenti tepat di depan halte itu. Vika menghampiriku.
"Apa kita terlambat, Vik?" tanyaku.
"Tidak, Mbak. Aman, masih ada setengah jam lagi," jawabnya. Kami bergandeng tangan masuk ke dalam kantor perusahaan bergedung besar itu. Tidak perlu menunggu konfirmasi lebih lama karena resepsionis telah mengerti kepentingan kami setelah mengatakan kami dari sekolah komunitas tuli.
"Silakan, pertemuan diadakan di meeting room lantai 6, ya, Bu Dita. Mari, saya antar," ujar resepsionis itu.
Rambutku yang tergerai terlihat berantakan terhempas angin kota, aku meminta waktu pada Vika untuk ke toilet sebentar selagi jajaran pihak perusahaan ini belum ada yang datang.
Seperangkat make-up dan dry shampo aku gunakan, seketika rambut awut-awutan dan mengembang menjadi halus dan tertata rapi.
Wajah yang pucat menjadi cerah dan flawless karena touch up make up yang aku berikan. Tidak tanggung-tanggung, beberapa kali tap-tap cushion menempel di sekitar wajah hingga leherku supaya tidak terlihat kucel karena ini menjadi pertemuan terakhirku dengan para orang perusahaan ini, aku akan berpenampilan sebaik mungkin sebagai salam perpisahan.
Dan alasan yang lainnya sebenarnya karena aku merasa gugup jika ini benar akan menjadi pertemuan terakhirku dengan pihak perusahaan, itu berarti akan menjadi pertemuan yang terakhir bagiku dengan kak Alan jika memang dia datang di pertemuan itu.
Bibir yang masih lembab terasa mulai kering dan pudar warnanya, kembali aku timpa dengan liptint berwarna peach yang menyerupai warna kulit bibir asli hanya saja memberikan kesan segar, hidup, dan glossy.
Wajah segar, penampilan rapi, dan tubuh yang wangi. Oke, limabelas menit waktu tersisa. Vika menelepon saking lamanya ditinggal aku yang cuma izin pipis. "Mbak, sudah selesai pipis atau masih di dalam?"
"Iya, Vik. Sudah selesai, aku kelu..."
Brak. Prang! Semua isi tas ku keluar berserakan di lantai halaman depan pemisah toilet pria dan wanita.
"Aduh, aduh ... hei."
"Maaf!" ucapku buru-buru memungut barang-barangku yang lolos sebelum resleting tas ditutup dengan benar. Aku tanpa sengaja menabrak seseorang sampai-sampai bedak yang baru menempel di pipiku yang lebar ini menempel dan berpindah ke pakaian orang yang ditabraknya.
"Maafkan say ..." ucapku selepas memungut barang-barangku di lantai.
Aku mendongak, kami bertatapan. Dia menunjukku dengan telunjuknya, senyuman lebar yang manis itu sangat aku kenal siapa pemiliknya.
"Eh, Dita, ya?"
Aku mengangguk. "Kak Alan! Maaf, Kak. Saya tidak sengaja tadi," ujarku tidak enak hati karena cushion yang semula di wajahku kini berpindah ke jas navy miliknya. Sungguh, siluet wajahku tercetak jelas di sana, dari pipi, hidung, dan bibir dengan liptint yang pink tergambar jelas sebelah di dadanya.
"Ini bagaimana, Kak Alan? Padahal waterproof, hanya bisa pakai cairan cleanser khusus," ujarku seraya menyibak jasnya yang tidak akan hilang tanpa carian khusus.
"Hahaha. It's okey, Dita. Kamu bawa cairan cleanser-nya?"
Sayangnya, tidak. Aku tinggal di apartemen karena aku pikir benda itu tidak akan dipakai hanya untuk mendatangi pertemuan yang tidak terlalu lama.
Kami membersihkannya di wastafel, tetapi beberapa lembar tisu dengan sabun cuci tangan rupanya tidak cukup membantu malam membuat noda semakin melebar.
"Maaf, Kak. Ini tidak membantu," ujarku penuh sesal. Niat hati ingin tampil cantik, malah menyusahkan orang lain.
"It's okey, Dita. Gini aja tidak apa."
"Tapi, jasnya masih basah begini," ujarku mengelap bekas cipratan air dengan tisu wajah.
Tuk-tuk-tuk. Suara langkah seseorang terdengar mendekat.
"Mbak Dita, apa masih di dal..." Vika tercengang setelah dia mendorong pintu toilet wanita dan melihatku yang sedang berdiri membungkuk di depan kak Alan. Dia langsung berbalik badan dan menutup wajahnya.
"Mbak Dita!!!!! Apa yang sedang kamu lakukan?" teriak Vika kencang.
Vika tercengang melihat keberadaaanku yang sedang berdiri di depan wastafel toilet wanita dengan seorang pria yang bersandar di tepiannya. Pasti karena dia melihat posisiku yang membungkuk ini di depan kak Alan yang membuatnya berpikir yang bukan-bukan, padahal aku sedang membersihkan bekas noda dan meniup bekas air yang membasahi jasnya.
"Mbak Dita kamu kan sudah bersuami!" ujar Vika. Sungguh, dia sudah salah paham.
"Tidak, Vika. Tunggu, dengar penjelasanku dulu," ucapku mengejarnya dan menahannya yang akan kabur.
Sedikit penjelasan yang bisa aku sampaikan padanya mengenai bagaimana kronologi kejadian yang sebenarnya.
Aku menjelaskan. "Seperti itu kejadiannya, aku tidak sengaja membuat noda di pakaiannya. Kamu bawa water cleanser?" tanyaku.
Untungnya Vika membawa water makeup cleanser, aku meminjamnya. Aku kembali ke toilet, bermaksud menebus kesalahanku padanya, sayangnya kak Alan sudah tidak ada di sana.