"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Judul Bab 25: Janji di Bawah Hujan
Hujan mengguyur deras atap tenda, menimbulkan suara ritmis yang menenangkan. Di dalam tenda yang hangat, Cakra dan Shifa duduk berdampingan, diselimuti jaket tebal dan selimut tipis yang mereka bagi berdua. Sebuah laptop kecil menyala di depan mereka, memutar film komedi lama yang berkali-kali membuat Shifa tertawa hingga menutup mulutnya, menahan suara.
Cakra tersenyum, sesekali ikut tertawa, meski sorot matanya tak lepas dari wajah gadis di sebelahnya. Sudah lama ia tidak merasakan keheningan seperti ini bukan karena sunyi, tapi karena hatinya terasa ringan, meski hanya sebentar. "Ini bagian favoritku," bisik Shifa pelan, menunjuk layar. “Yang ini?” Cakra mengerutkan dahi. “Yang kucingnya bisa ngomong?”
Shifa tertawa pelan, “Iya. Soalnya absurd banget.” Mereka saling bertukar pandang, dan untuk sejenak, seakan dunia luar tak ada. Namun, momen itu pecah begitu saja. Sirene darurat meraung dari luar, nyaring dan memecah kesunyian. Suara itu disusul oleh langkah kaki yang tergesa-gesa dan teriakan para komandan yang mulai membagi instruksi di bawah hujan deras. Cakra langsung bangkit. Wajahnya yang tadi hangat berubah tegang dalam sekejap. Ia menutup laptop, meletakkannya di samping, dan segera menuju ke sudut tenda tempat ia menyimpan seragam tempurnya. Shifa hanya bisa menatap, jantungnya berdebar. Matanya mengikuti gerak cepat Cakra yang mulai mengenakan rompi dan sepatu botnya. Ia tahu arti bunyi sirene itu.
Cakra berdiri tegak, cepat-cepat mengganti pakaian. Jaket hangat ia lempar ke sisi ranjang lipat, digantikan oleh rompi tempur, celana loreng, dan sepatu bot berlumpur. Tangannya sedikit gemetar saat merogoh kantong untuk mengecek peluru cadangan dan HT. “Cakra, standby di pos utama. Serangan di sektor Desa Baruna. Segera ke barak.”
Suara dari HT terdengar jelas. Denting logam dari peralatan yang disiapkan personel lain terdengar di luar tenda, menyatu dengan deru hujan yang menggila. Shifa menatap dari sudut tenda, matanya tak berkedip. Ia lalu melangkah pelan, hingga berdiri di depan Cakra yang tengah mengencangkan sabuk senjata. “Jangan pergi.” Suara itu lirih, nyaris tenggelam oleh tiupan angin. Tapi cukup untuk menghentikan gerakan Cakra sesaat.
Cakra tidak menjawab. Ia hanya menarik napas, lalu kembali sibuk dengan perlengkapannya. Tapi Shifa tidak menyerah. Ia maju satu langkah, menatap langsung ke matanya yang mulai mengeras. “Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?” Cakra menunduk. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. “Karena itu tugasku.” “Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?”
Diam.
Kata-kata Shifa seperti hantaman. Cakra tak bisa membantah. Ia hanya mengepalkan tangannya erat. "Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau ngantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Ibumu.” Suara Shifa bergetar. Ia mencoba menahan air matanya yang mulai menggenang. Cakra akhirnya menatapnya. Tatapannya penuh luka. “Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu.”
“Iya,” Shifa tersenyum getir. “Kamu udah pilih jalanmu. Tapi pernah nggak kamu tanya, jalan itu nyakitin siapa aja?” Cakra menarik napas dalam. Dadanya sesak. “Shifa, kamu tahu aku nggak bisa kabur dari semua ini.” air mata itu mulai mengalir. “Aku nggak suruh kamu kabur! Aku cuma pengin kamu hidup! Kenapa itu susah dimengerti?”
Hening.
Sirene mulai terdengar pelan dari arah barak utama—tanda tim siap diberangkatkan. Detik-detik terasa menekan. “Dulu, waktu kamu cerita soal ayahmu, aku kira kamu cuma bangga. Tapi ternyata kamu juga pengin jadi dia. Bahkan kalau harus mati muda juga.” Cakra menggigit bibirnya. “Aku nggak pengin mati, Shifa. Tapi aku juga nggak bisa berhenti. Kalau aku mundur sekarang, itu bukan cuma lari dari tugas. Itu lari dari diriku sendiri.”
Shifa akhirnya menangis. Ia tidak bisa menahannya lagi. “Lalu aku harus apa? Nunggu kamu pulang dalam peti?” Cakra mendekat, mencoba meraih bahunya. “Aku janji pulang.” Tapi Shifa menepis tangannya. “Jangan janji. Ayahmu juga janji ke ibumu dulu.” Langkah kaki dari luar mendekat. Seorang prajurit memanggil, “Danton! Semua tim siap!” Shifa membalikkan badan, tidak ingin melihat kepergiannya. Tapi sebelum melangkah keluar dari tenda, ia berbisik: “Kalau kamu mati… kamu bukan cuma nurunin warisan ayahmu, Cakra. Kamu juga nurunin lukanya.” Cakra terdiam. Kata-kata itu menghujam lebih dalam dari peluru manapun. Ia menatap langit mendung yang menggantung berat di luar tenda. Hujan masih turun, tapi tak mampu menyejukkan api yang membakar dadanya.
Ia mengepalkan tangan… lalu berjalan. Tanpa menoleh ke belakang. Hujan tak mereda. Angin semakin liar, mengoyak ujung tenda dan menampar wajah siapa pun yang berdiri di luar. Langkah Cakra meninggalkan tenda terasa berat. Ia tidak menoleh. Tak ingin melihat bayang Shifa berdiri dalam luka yang baru saja ia ciptakan. Tapi suara terakhir Shifa terus bergema dalam benaknya: “Kalau kamu mati… kamu bukan cuma nurunin warisan ayahmu, Cakra. Kamu juga nurunin lukanya.”
Langkahnya menyatu dengan langkah-langkah lainnya. Para personel bersenjata lengkap berjalan cepat menuju lapangan kecil di dekat barak. Suara sepatu menghantam genangan, riuh dalam koordinasi tegang. Beberapa rekan prajurit menepuk pundak Cakra pelan. "Santai, bro. Fokus di evakuasi. Jangan nekat.” Cakra hanya tersenyum tipis “Jangan biarin emosi jalan duluan. Kita semua satu tim.” Cakra hanya mengangguk. Wajahnya dingin. Tapi jantungnya berdegup kacau.
Danki berdiri di atas peti logistik yang dijadikan panggung darurat, membagikan perintah: “Prioritas utama: evakuasi warga sipil dari titik pusat serangan. Setelah semua aman, kita tarik mundur. Jangan kejar kontak. Paham?!”
“SIAP!” jawab semua prajurit serempak. Cakra berdiri di baris depan. Wajahnya basah, entah karena hujan atau air mata yang belum sempat jatuh. Petir menyambar tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Kilatnya menyibak langit kelabu, diiringi gelegar guntur yang membuat tanah seperti bergetar. Di depan lapangan, kendaraan taktis sudah siap. Mesin-mesin berat meraung dalam irama perang.
Cakra menaiki salah satu kendaraan bersama satu regu kecil. Saat pintu besi ditutup, suara hujan berubah menjadi gema sunyi di dalam. Tapi pikirannya tak tenang. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan wajah Shifa. Wajah ibunya. Dan wajah sang ayah yang kini cuma hidup lewat cerita dan kenangan. “Apa benar ini satu-satunya cara untuk menghormati warisan itu?”
Tanya kecil dalam hatinya. Tapi tak sempat dijawab. Kendaraan mulai bergerak. Roda-roda berlumpur menggilas tanah yang basah, membawa mereka menuju Desa Baruna. Menuju kemungkinan yang tak pasti. Di luar, petir kembali menyambar. Langit makin kelam. Tapi Cakra sudah memilih jalannya. Dan tak ada yang bisa membalikkan arah.
Deru kendaraan taktis bersatu dengan derasnya hujan di atap logam. Di dalam, suasana sunyi, hanya terdengar suara alat komunikasi yang sesekali menyala dengan laporan singkat dari markas. Cakra duduk di sisi kanan, peta basah terhampar di pangkuannya. Jari-jarinya menunjuk jalur alternatif yang bisa mereka lalui agar tidak langsung bersinggungan dengan kelompok bersenjata. “Kita masuk lewat sisi utara, hindari jalan utama. Fokus evakuasi, jangan terlalu dalam kecuali situasi benar-benar terdesak.”
Suaranya tegas, meski terdengar sedikit serak. Dua anggota tim mengangguk. Salah satunya, Pratu Dirga, menatap Cakra dengan prihatin. “Bang,ini yakin?” Cakra hanya menoleh singkat. “Harus.” HT kembali menyala, suara dari markas terdengar: “Pos 3 melaporkan asap di sektor timur desa. Kontak senjata terdengar. Diperkirakan 6–10 orang bersenjata. Ada korban sipil. Situasi belum terkendali.”
Sunyi mendadak menyelimuti kendaraan. Semua pasang mata saling bertukar pandang, menyadari mereka mungkin akan menghadapi lebih dari sekadar evakuasi biasa. Komandan regu mengangguk ke arah Cakra.
“Kita tetap pada rencana. Fokus pada warga.” Cakra kembali menunduk, memeriksa senjatanya. Tapi gerakannya terhenti. Tatapannya kosong sejenak. “Kalau kamu mati… kamu bukan cuma nurunin warisan ayahmu, Cakra. Kamu juga nurunin lukanya.” Kata-kata Shifa kembali menyeruak. Membekas. Menggetarkan keyakinannya.
Ia memejamkan mata sesaat. Menarik napas dalam-dalam. Lalu tangannya menggenggam erat gagang senjata, seolah menyatukan kembali tekad yang sempat goyah. “Aku harus pulang.” bisiknya pelan, hanya cukup untuk dirinya sendiri. Di luar, petir kembali menyambar langit. Desa Baruna semakin dekat. Asap tipis mulai terlihat dari kejauhan, diselimuti kabut dan hujan yang belum reda. Kendaraan melambat. Tim bersiap. Waktu mulai menipis.
Hujan belum juga reda. Tanah basah di bawah sepatu mereka menimbulkan suara lirih setiap kali diinjak. Kabut mulai turun, menyelimuti hutan di pinggiran Desa Baruna, seolah menyembunyikan ancaman di balik setiap batang pohon.
Tim berhenti di sebuah bukit kecil, tempat yang cukup aman untuk memantau situasi tanpa terlihat. Cakra berjongkok di balik semak, mengenakan jas hujan loreng yang sudah penuh lumpur. “Formasi Delta. Tiga titik masuk. Fokus pada evakuasi warga. Kontak senjata hanya jika perlu,” ujar Komandan Regu di HT. Cakra mengangkat teropong. Pandangannya menyapu area desa yang sebagian sudah hangus. Api kecil masih menyala di satu sudut. Asap dan kabut menyatu, menciptakan siluet yang samar-samar.
Lalu, ia berhenti.
Di sisi kanan, dekat gudang tua, tampak seorang pria tua diikat pada tiang bambu. Wajahnya penuh luka, bajunya compang-camping, namun tetap dikenali oleh Cakra. Pak Roni. Kepala dusun. Orang yang dulu pernah menyelamatkan mereka saat logistik tim habis. Cakra menelan ludah. Matanya mengecil. Nafasnya mulai berat. Ini bukan sekadar operasi. Ini personal.
Di sekitarnya, gerak-gerik musuh mulai terlihat samar. Tiga, mungkin empat orang bersenjata, patroli dengan langkah ringan. Angin bertiup kencang. Hujan menampar daun-daun. Langit kelabu menggantung rendah, seolah menandakan badai sesungguhnya belum tiba. Cakra menurunkan teropong. Wajahnya perlahan berubah. Tegang. Rahangnya mengeras. Kedua tangannya mengepal di lutut. Ia tahu, penyergapan ini tidak akan mudah.Dan semakin ia menatap ke depan, semakin ia sadar… Kemungkinan ia pulang dari sini, sangat tipis.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf