Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”
“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Eva Dan Arsen
Eva mengenakan dress panjang milik Julia, sebuah gaun yang memancarkan kemewahan dan keanggunan dalam setiap lekuknya. Dress itu sebenarnya masih baru, tergantung rapi di lemari selama berbulan-bulan karena Julia belum pernah sekalipun mengenakannya. Entah karena belum menemukan momen yang tepat atau hanya sekadar menunggu suasana hati yang sesuai. Tapi hari ini, dress itu akhirnya dikenakan—oleh Eva.
Gaun tersebut berwarna hitam pekat, begitu dalam dan elegan, seperti malam tanpa bintang. Terbuat dari kain satin berkualitas tinggi, dress itu jatuh mengikuti lekuk tubuh Eva dengan lembut dan sempurna, menciptakan siluet yang menawan dan memikat. Bagian dada dress dihiasi dengan detail keemasan yang halus dan artistik, mencuri perhatian tanpa berlebihan. Kilau emasnya memantulkan cahaya dengan cara yang memukau, memberikan kesan glamor namun tetap anggun.
Lengan panjang dress itu membalut tangan Eva dengan pas, menyatu indah dengan kulit kuning langsatnya yang bersinar di bawah sinar lampu ruangan. Gaun itu benar-benar terlihat seperti dirancang khusus untuk tubuh Eva yang tinggi semampai. Setiap gerakan kecilnya tampak anggun dan berkelas, membuat siapapun yang melihat pasti akan sulit mengalihkan pandangan.
Riasan Eva pun tak kalah memesona. Ia memoles wajahnya dengan makeup tipis, hanya sekadar mempertegas fitur wajahnya yang memang sudah cantik secara alami. Foundation ringan meratakan warna kulitnya, blush on tipis memberi rona segar di pipi, dan eyeliner yang samar menggarisbawahi matanya yang jernih. Maskara memperpanjang bulu matanya, membuat tatapannya terlihat lebih dalam. Dan lipstik pink lembut di bibirnya memberi sentuhan manis, menyempurnakan seluruh penampilannya dengan kesan feminin yang sederhana namun memikat.
Saat Eva melangkah keluar kamar dengan penuh percaya diri, aura anggun terpancar dari dirinya. Julia, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung menatapnya dengan mata berbinar.
“Kamu yakin ke sana sendirian, Va?” tanya Julia dengan nada khawatir saat Eva menghampirinya.
Eva tersenyum lembut, berusaha meyakinkan sahabatnya. “Kamu jangan khawatir, aku enggak apa-apa.”
Namun Julia menggeleng pelan, sorot matanya tetap serius. “Tapi aku enggak bisa biarin kamu pergi sendirian.”
Eva terkekeh pelan, mencoba mencairkan suasana. “Hei, aku bukan anak kecil,” katanya sambil mengangkat alis dan menatap Julia dengan pandangan menggoda.
Tiba-tiba, perhatian Julia teralih saat melihat kakak laki-lakinya, Arsen, berjalan menuju pintu. Langkah laki-laki itu tenang dan teratur, seperti biasa. Dengan cepat, Julia berdiri dan memanggil, “Kak Arsen!”
Arsen menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah adiknya. “Ada apa?” tanyanya datar, seperti biasa.
“Kak Arsen mau keluar rumah, kan?” tanya Julia sambil berjalan mendekati kakaknya.
“Iya,” jawab Arsen singkat, tanpa ekspresi.
Julia langsung tersenyum penuh ide. “Kalau begitu, aku bisa minta tolong dong, Kak. Antarkan sahabatku ke rumah mertuanya.”
Eva langsung terbelalak. Ia tidak menyangka Julia akan berkata seperti itu. “Jul, aku bisa berangkat sendiri,” ucapnya buru-buru, setengah protes.
Namun Julia malah menoleh dan menatap Eva dengan pandangan yang tak bisa dibantah. “Kamu enggak boleh pergi sendirian,” katanya tegas. Lalu ia kembali memohon pada kakaknya dengan suara manja, “Boleh yaa? Please!”
Nada rengekan Julia seperti anak kecil yang sedang merengek minta dibelikan es krim. Arsen memandang adiknya dalam diam. Wajahnya tetap datar, tapi matanya menunjukkan pertimbangan. Julia memang adik kesayangannya, dan selama ini, ia hampir tak pernah menolak permintaannya.
Pandangan Arsen pun berpindah pada Eva yang terlihat canggung dan gelisah. Dia menilai sebentar, lalu akhirnya berkata singkat, “Iya.”
Julia langsung bersorak kecil. “Yeeeyyy! Eva, sekarang kamu berangkat dengan kak Arsen yaa. Kalau begitu, aku ke kamar dulu. Aku mau bikin jurnal dulu. Byee!” katanya ceria sambil melenggang pergi, meninggalkan Eva yang masih terpaku di tempat.
“Julia…Jul." panggil Eva, setengah putus asa. Tapi Julia pura-pura tidak mendengar. Dia memang sengaja melakukan itu. Dalam hatinya, ia hanya ingin Eva sedikit lebih dekat dengan kakaknya—si dingin yang sulit didekati itu.
“Ayo,” ucap Arsen pelan, tapi tegas.
Eva menoleh padanya dan tersenyum kikuk. Rasa takut dan gugup menguasai dirinya. Arsen memang pria tampan, tapi sikapnya yang kaku dan wajahnya yang selalu serius membuat Eva gugup bukan main.
“Ehh, aku pergi sendirian saja, Kak,” katanya pelan, mencoba mundur.
“Jangan bertingkah. Adik saya sudah menitipkan kamu. Cepat ikuti saya,” jawab Arsen tanpa kompromi, lalu berbalik dan berjalan meninggalkan Eva.
Eva hanya bisa melongo, bingung dan pasrah. Dengan langkah ragu, ia akhirnya menyusul Arsen dan masuk ke dalam mobilnya. Suasana hening menyelimuti mereka. Di dalam mobil itu, hanya terdengar suara mesin yang menderu pelan dan detak jantung Eva yang berpacu kencang, tak sabar menanti apa yang akan terjadi dalam perjalanan yang tak terduga ini.
***
Mobil melaju perlahan meninggalkan rumah, membawa dua sosok yang terjebak dalam keheningan yang canggung. Eva duduk kaku di kursi penumpang, menatap lurus ke depan dengan kedua tangan tergenggam di pangkuan. Sesekali ia melirik ke arah Arsen yang tengah fokus menyetir, wajahnya seperti biasa—datar dan sulit dibaca.
Beberapa menit berlalu tanpa percakapan, hanya diisi dengan suara AC dan deru mesin. Sampai akhirnya Eva tidak tahan lagi dengan suasana dingin itu.
“Kak Arsen…” ucapnya pelan.
“Hm?” sahut Arsen tanpa menoleh.
“Kamu selalu gitu, ya?”
Arsen mengernyit. “Selalu gimana?”
“Selalu… dingin. Datar. Serius. Kayak nasi dingin lupa diangetin,” jawab Eva cepat, suaranya datar tapi nadanya menyindir sambil menahan tawa.
Arsen menoleh sekilas, menatapnya datar. “Itu kalimat bercanda, ya?”
Eva mengangguk cepat. “Iya. Tapi kalo kamu anggap serius juga gapapa sih,” katanya, masih setengah bercanda.
Arsen tidak membalas. Tapi ujung bibirnya tampak naik sedikit—nyaris tak terlihat, tapi Eva cukup peka untuk menyadarinya.
“Aku enggak ngerti kenapa Julia bisa tahan hidup serumah sama kakaknya yang aura-nya kayak... perpustakaan,” lanjut Eva sambil nyengir.
Arsen menghela napas pendek. “Kamu banyak ngomong, ya?”
“Yap. Daripada diem dan bikin suasana kayak pemakaman,” balas Eva dengan santai.
Arsen meliriknya lagi. “Kamu enggak takut, ya, ngomong kayak gitu ke orang yang nyetirin kamu?”
Eva tertawa kecil. “Kalau kamu mau ngebuang aku di jalan juga enggak apa-apa. Asal kasih tahu dulu, biar aku bisa buka pintunya dengan anggun. Gak lucu kalau dress ini nyangkut.”
Arsen akhirnya menggeleng pelan. “Kamu lucu, tapi nyebelin.” dia mengatakan itu dengan wajah datar, tanpa ekspresi sedikit pun.
Eva pura-pura bangga. “Terima kasih. Aku memang paket lengkap.”
Sunyi sejenak, lalu Arsen berkata dengan nada serius, tapi nadanya terdengar lebih lembut dari biasanya. “Kamu... cantik malam ini.”
Eva terdiam. Matanya membelalak pelan. “Eh?”
“Maksud saya, dressnya bagus,” tambah Arsen cepat, seperti mencoba memperbaiki ucapannya.
Lalu, kecanggungan kembali melanda mereka. Hingga akhirnya, mobil Arsen berhenti di depan rumah keluarga Wicaksana.
Eva membuka seatbelt nya, lalu dia menatap Arsen. "Makasih yaa, kak. Karena sudah mengantar aku ke sini."
"Aku hanya menuruti keinginan adikku." jawab Arsen
Eva mengangguk cepat, walaupun dia sedikit kesal dengan nada kaku Arsen. Dia pun turun dari mobil, Arsen pun bersama mobilnya meninggalkan tempat itu. Dalam perjalanan, Arsen selalu memikirkan Eva. Entah mengapa, wajah manis Eva menghiasi ingatan nya.
"Ingat Arsen, dia istri orang." gumam Arsen
***