Halwa adalah siswi beasiswa yang gigih belajar, namun sering dibully oleh Dinda. Ia diam-diam mengagumi Afrain, kakak kelas populer, pintar, dan sopan yang selalu melindunginya dari ejekan Dinda. Kedekatan mereka memuncak ketika Afrain secara terbuka membela Halwa dan mengajaknya pulang bersama setelah Halwa memenangkan lomba esai nasional.
Namun, di tengah benih-benih hubungan dengan Afrain, hidup Halwa berubah drastis. Saat menghadiri pesta Dinda, Halwa diculik dan dipaksa menikah mendadak dengan seorang pria asing bernama Athar di rumah sakit.
Athar, yang merupakan pria kaya, melakukan pernikahan ini hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibunya yang sakit keras. Setelah akad, Athar langsung meninggalkannya untuk urusan bisnis, berjanji membiayai kehidupan Halwa dan memberitahunya bahwa ia kini resmi menjadi Nyonya Athar, membuat Halwa terombang-ambing antara perasaan dengan Afrain dan status pernikahannya yang tak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Dinda yang sudah keluar dari sekolah, tetapi hatinya dipenuhi dendam, segera membuka ponselnya.
Ia yakin ini adalah kesempatan terbaik untuk menghancurkan Halwa seutuhnya di mata Afrain.
Ia mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Afrain.
[ Kak Afrain, aku turut berduka cita atas kepergian Ibumu. Aku sangat sedih melihatmu seperti ini. Tapi kamu harus tahu, semua ini salah Halwa. Dia sudah menghinamu dan keluargamu. Dia bahkan tidak malu datang ke pemakaman Ibumu bersama suaminya si 'Om-Om' itu, hanya untuk pamer! Dia memanfaatkanmu, Afrain. Wanita jahat itu memang pantas diusir dari sekolah!]
Afrain yang sedang duduk termenung di sudut rumah duka, memegang ponselnya yang bergetar.
Ia melihat nama Dinda dan membuka pesan itu dengan enggan.
Saat membaca setiap kalimat Dinda, pandangan Afrain semakin gelap.
Wajahnya yang sudah lelah dan sembab karena menangis kini dipenuhi ekspresi dingin.
Ia tidak lagi melihat simpati dari Dinda, ia hanya melihat pembenaran atas kebencian yang sudah membusuk di hatinya.
Afrain menatap ponselnya dengan tatapan sinis. Ia membalas pesan Dinda, singkat namun penuh ancaman.
[Terima kasih atas informasinya. Aku tahu apa yang harus kulakukan.]
Afrain mematikan ponselnya. Ia berdiri, tatapan matanya kini fokus pada satu tujuan.
Halwa tidak hanya mengambil kebahagiaannya, tetapi juga secara tidak langsung mengambil Ibunya.
Afrain bersumpah, ia akan membuat Halwa membayar mahal untuk semua air mata dan rasa sakit yang ia rasakan.
Sementara itu Athar masih berada di ruang kerjanya.
Pikirannya sibuk merencanakan semua hal untuk memastikan Halwa tetap aman dan pendidikannya berjalan lancar.
Ia sudah menghubungi guru privat terbaik yang besok sudah akan datang mengajar.
Athar melihat jadwal penerbangannya.
Ia mendapatkan undangan mendadak untuk menghadiri pertemuan penting selama dua hari di Rusia dan harus berangkat besok pagi sekali.
Ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Yunus.
"Yunus, besok pagi saya harus ke Rusia tiga hari. Saya minta kamu dan timmu menjaga Halwa dua puluh empat jam. Jangan biarkan dia keluar rumah tanpa pengawasan ketat. Laporkan semua kegiatannya padaku."
"Baik, Tuan," jawab Yunus.
Jam menunjukkan pukul dua belas malam. Halwa terbangun di kamar dan menyadari suaminya masih betah di ruang kerjanya.
Ia yang merasa gemas sekaligus ingin mengucapkan terima kasih, langsung bangkit.
Halwa mengganti pakaiannya dengan salah satu gaun tidur sutra halus yang mereka beli di Mall, yang terasa ringan dan lembut di kulit.
Ia menyemprotkan sedikit parfum yang baru dibelikan Athar.
Halwa berjalan perlahan ke ruang kerja Athar.
Tok... tok...
"Masuk," jawab Athar tanpa menoleh, matanya masih fokus pada layar.
Halwa mendorong pintu. Begitu ia melangkah masuk, aroma parfum lembutnya langsung memenuhi ruangan, menarik perhatian Athar.
Athar mendongak dan terdiam. Melihat Halwa yang dibalut kain sutra halus dengan cahaya remang-remang lampu kerja, membuat suaminya menelan saliva dengan susah payah.
"Sayang, ada apa? Kenapa belum tidur?" tanya Athar, suaranya sedikit serak. Ia menutup laptopnya.
"Mau menggoda suamimu ini?"
Halwa tersenyum nakal. Ia berjalan mendekat ke kursi kerja Athar, lalu dengan inisiatifnya, ia naik ke pangkuan suaminya.
"Aku merindukanmu. Jangan bekerja terus," bisik Halwa, melingkarkan lengannya di leher Athar.
Athar menghela napas, semua kekhawatiran tentang Rusia dan Afrain terlupakan. Ia mendekap pinggang Halwa dengan kuat.
"Kamu nakal sekali malam ini, Sayang," gumam Athar, mengangkat Halwa dari kursi dan menggendongnya keluar dari ruang kerja.
Malam itu, Athar memberikan malam yang penuh kehangatan dan keintiman untuk mereka berdua, sebelum ia harus meninggalkannya esok pagi.
Janji untuk selalu melindungi Halwa, kini terasa semakin nyata dalam setiap sentuhan.
Malam itu menjadi malam yang indah, penuh gairah dan keintiman yang mendalam, sampai akhirnya mereka berdua terbaring di ranjang, napasnya tersengal-sengal.
Halwa memeluk tubuh Athar erat, merasakan kelelahan yang menyenangkan.
Athar membalikkan badan, menatap mata Halwa yang berkaca-kaca karena kebahagiaan.
Ia mencium bibir istrinya dengan lembut dan lama.
"Besok pagi, aku harus ke Rusia selama dua hari," bisik Athar, mengelus rambut Halwa.
Halwa mengerutkan kening, sedikit kecewa.
Athar menghela napas, lalu melepaskan kalung yang selalu melingkari lehernya kalung emas sederhana dengan liontin berukir inisial 'A'. Kalung itu terasa hangat di tangannya.
"Ini," Athar memasangkan kalung miliknya itu ke leher Halwa.
"Jaga dia dan jangan dilepas. Anggap ini aku yang menjagamu selama aku pergi. Aku sudah memperingatkan Yunus, tapi ini adalah penjagaan terbaikku."
Halwa menganggukkan kepalanya, menyentuh liontin kalung yang kini melingkari lehernya. Rasa aman menjalar ke hatinya.
"Iya, Athar. Aku janji tidak akan melepasnya."
Athar tersenyum puas, mencium kening Halwa, dan memeluknya hingga mereka kembali terlelap.
Keesokan harinya, Halwa sudah bangun lebih awal dari Athar.
Ia menyiapkan semua kebutuhan suaminya untuk perjalanan bisnis.
Athar keluar dari kamar mandi dan melihat Halwa sedang memasukkan kemeja ke dalam tas.
"Athar, kamu bawa kemeja yang mana? Yang biru navy atau yang oxford putih?" tanya Halwa, wajahnya serius memilihkan pakaian.
Yunus yang kebetulan masuk untuk menyiapkan teh di meja, tersenyum saat melihat Halwa sibuk dan perhatian sebagai seorang istri.
Ini adalah pemandangan yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.
"Yang biru navy saja, Sayang," jawab Athar, tersenyum melihat istrinya yang mendadak telaten.
Setelah selesai menyiapkan tas, mereka sarapan bersama di ruang makan.
Suasananya hangat, meski ada sedikit ketegangan karena Athar akan pergi.
Selesai sarapan, Halwa bangkit dan memeluk tubuh suaminya erat-erat.
"Lekas pulang," ucap Halwa dengan suara bergetar, membenamkan wajahnya di dada Athar.
Athar membalas pelukan Halwa, lalu mencium bibirnya.
"Tiga hari itu sebentar. Jangan menangis. Jaga dirimu, dan ingat janjimu. Aku akan segera kembali."
Athar memberikan Halwa senyum meyakinkan terakhir kali, lalu ia berangkat menuju ke bandara dengan pengawalan ketat.
Sementara itu, Halwa kembali ke kamar. Ia menarik napas dalam-dalam, menyentuh kalung Athar yang melingkari lehernya, dan mempersiapkan dirinya untuk memulai hari pertama home schooling yang akan dimulai sebentar lagi.
Sementara itu, di tempat lain, Afrain sudah mengambil langkah pertamanya.
Ia mendatangi sekolahnya dan mengajukan surat pengunduran diri dari sekolah.
"Saya akan pindah ke luar negeri dalam waktu dekat, Pak Hardiman. Maaf, saya tidak bisa melanjutkan sekolah di sini," ucap Afrain dengan wajah datar.
Kepala Sekolah, Pak Hardiman, yang masih berduka atas wafatnya Ibu Dyah, merasa iba.
"Tentu, Afrain. Kami mengerti. Semoga sukses di sana."
"Tolong, rahasiakan kepergian saya ini, Pak. Jangan sampai ada yang tahu," pinta Afrain dengan nada mendesak.
Pak Hardiman mengiyakan permintaan itu, menghormati privasi Afrain di tengah masa berkabung.
Setelah dari sekolah, Afrain kembali ke sebuah rumah tua yang ia miliki di pinggiran kota, tempat yang tidak diketahui siapa pun.
Saat ia membuka pintu, ia melihat seorang lelaki paruh baya, yang tampak cerdas dan rapi, terikat di kursi dengan mulut tersumpal kain. Lelaki itu meronta pelan karena ketakutan.
"Jangan berteriak atau aku akan membunuhmu," bisik Afrain, suaranya rendah dan penuh ancaman.
Lelaki itu, yang ternyata adalah guru privat yang disiapkan Athar, mengangguk kecil, matanya memohon.
Afrain menatap sinis. Ia tahu guru ini pasti datang ke rumah Halwa hari ini. Ini adalah kesempatannya.
Afrain kemudian masuk ke kamar mandi. Ia merubah total penampilannya.
Ia memotong sedikit rambutnya, mencukur bersih kumis tipisnya, dan mengenakan kacamata berbingkai tebal.
Ia juga mengganti pakaiannya dengan kemeja formal dan tas kerja yang ia rampas dari guru itu. Ia berusaha keras meniru gaya bicara dan penampilan sang guru.
Afrain kini telah menyamar. Dengan wajah tanpa emosi, ia mengambil kunci mobil.
Ia siap melangkah masuk ke kehidupan Halwa, memanfaatkan kepergian Athar untuk melancarkan pembalasan dendamnya.