Aku memang perempuan bodoh soal cinta, pacaran 5 tahun tapi menikah hanya 8 bulan. Tak pernah mendengar nasehat dari orang tua dan sahabatku, perkara pacarku itu. Aku nekad saja menikah dengannya. dalihku karena sudah lama kenal dengannya aku yakin dia akan berubah saat menikah nanti.
Ternyata aku salah, aku serasa teman tidur saja, bahkan aku tak diberi nafkah lahir, ditinggal dikontrakan sendiri, keluarganya tidak pernah baik padaku, tapi aku masih bodoh menerima dan sabar menghadapi tingkahnya. Bahkan cicilan dan biaya rumah sakit aku yang meng-cover. Gila gak? bodoh banget otakku, hingga aku di KDRT, dan itulah titik balikku berpisah dengannya, hingga menemukan kebahagiaan bersama seseorang yang sama sekali tak kukenal, tapi bisa mewujudkan impian pernimahan yang aku inginkan, hanya karena apa? restu orang tua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KECELAKAAN
Ponselku bergetar terus dari nomor tak dikenal, mana pakai kode daerah lagi. Aku pun mengangkat panggilan tersebut, ternyata dari kepolisian. Jelas aku kaget, ada apa ini?
Saudara Akbar mengalami kecelakaan di daerah pinggir kota, sekarang korban dirawat di rumah sakit daerah ini.
Baik saya akan segera ke sana.
Setelah memastikan kalau panggilan ini dari polisi, aku mengajak Sulthan menuju ke rumah sakit daerah itu. Mau bagaimana pun aku tetap panik. Tak lama, Dika pun meneleponku dan mengabarkan kondisi Akbar.
Hampir 2 jam perjalanan ke sana, aku ditemani Sulthan, adikku, dan langsung diarahkan ke UGD. Ada Dika dan beberapa teman touringnya.
Dika menceritakan kronologinya, dan motor Akbar terbelah jadi dua, beruntung Akbar terpental ke rumput bahu jalan, sehingga tak terlindas truck tronton. Tanganku gemetar saat ditunjukkan motor yang baru saja tadi siang aku bayari cicilannya. Betapa kerasnya benturan itu, dan Akbar masih diberi kesempatan untuk selamat.
Aku pun menghubungi keluarga mas Akbar. Setelah sekian lama aku tak berkomunikasi lagi. Panggilanku pun lama sekali diangkat. "Kenapa kamu baru menghubungi, sengaja kan. Emang ya kamu itu menantu gak becus. Sudah malam begini baru kasih kabar. Kebangetan kamu!"
Sulthan mendengar teriakan ibu mertuaku, karena aku menjauhkan ponsel tersebut, bahkan Dika pun ikut menemaniku di rumah sakit. Aku tak membalas, langsung aku mengucap salam dan kumatikan panggilan pada ibu mertuaku itu.
"Sudah kuduga!" ucap Dika di saat aku menunggu di luar UGD. Sulthan aku suruh beli air mineral di kantin rumah sakit.
"Pasti hubungan kalian gak berjalan lancar kan. Sikap mertua kamu begitu. Aku juga dikasih tahu Melda bagaimana tindakan Akbar ke kamu."
Aku tersenyum pasrah. "Bilang aja aku bodoh!" Dika menggeleng.
"Gak punya otak lebih tepatnya!" makin parah teman kuliahku menghinaku. Agak benar sih, dulu saat pacaran secara bertahap aku diperlihatkan tabiat buruk Akbar, tapi aku masih menerima dan meyakini akan berubah setelah nikah. Belum lagi restu orang tua tak turun, masih aku teruskan saja. Sekarang bisa dilihat gonjang-ganjing rumah tanggaku tak pernah berhenti.
Dika pamit setelah Akbar dipindah ke kamar inap. Yang paling parah hanya kaki, kepalanya lecet sedikit tapi tak ada benturan ataupun gegar otak.
Sulthan sudah tidur di sofa, karena aku memilih naik kelas 1 dari kelas asuransi kesehatan mas Akbar, sehingga Sulthan bisa tidur dengan nyenyak.
"Mir!" panggil mas Akbar mulai sadar.
"Hem," jawabku yang masih terjaga sedang bermain ponsel. Aku hanya berempati sebagai istri, tapi aku tak kasihan juga dengan keadaan Mas Akbar, bahkan tadi sempat mengumpat syukurin, kualat dengan istri. Spontan saja batinku begitu.
"Siapa yang bayarin kamar inapku ini, naik kelaskan?" tanyanya di saat matanya sudah membuka penuh.
"Ya siapa lagi."
"Ibuku gak mungkin mau."
"Ya sudah kalau gak mau."
"Tapi aku gak punya uang tabungan, gajiku bulan ini sudah aku buat touring kemarin."
Aku menghela nafas pendek. "Ya sudah, aku bayar. Mau gimana."
"Maaf ya, nanti kalau aku sudah punya uang. Aku ganti."
"Hem!" jawabku, sudah kuanggap uang hilang, yakin sekali gak bakal dibayar. Omongan doang. Urusan Nafkah saja sampai sekarang gak dibayar.
Kehebohan terjadi saat mertuaku datang. Ia menangis, sembari mengelus dada mas Akbar, kedua kakak iparku gak menyapa juga. Biar saja.
Hingga, datanglah dokter yang merawat Akbar tadi malam, plus seorang perempuan cantik, entah siapa itu.
Dokter mengatakan kalau kondisi Mas Akbar agar segera dioperasi, karena alat di rumah sakit ini kurang memadai sehingga dirujuk ke rumah sakit pemerintah kota. "Pasien langsung bisa dirujuk setelah menyelesaikan administrasi," ucap perawat, asisten dokter tersebut.
Aku mengangguk, dan perempuan yang dipanggil dokter Aruni itu pun menyilahkanku untuk segera menyelesaikan administrasi. "Punya uang kan kamu?" tanya mertuaku, dan aku mengangguk saja. Tak mau ambil pusing.
"Istri Mas Akbar baik ya," puji Aruni pada mertuaku.
"Itu kewajiban saja, kalau suaminya lagi susah ya kewajiban istrinya merawat!" ujar ibu mertua pada Aruni, masih bisa aku dengar karena sengaja memperlambat keluar kamar.
Saat aku selesai urusan administrasi, mas Akbar pun segera dinaikkan ke ambulance untuk berangkat ke rumah sakit kota, lagi-lagi aku dan Sulthan yang menemani. Sedangkan mertua dan kakak iparku naik mobilnya aruni.
Selama di dalam ambulance aku tak mengajak bicara mas Akbar sama sekali. Capek saja. Mungkin aku masih sabar mau peduli dengan mas Akbar sebagai baktiku menjadi istri.
"Aruni itu keponakan ibuku," ucap Mas Akbar tiba-tiba. Mungkin dia juga tak suka kalau aku hanya diam saja. Makanya cari bahan obrolan tentang Aruni. "Dia dokter di rumah sakit kota!"
"Oh!" jawabku begitu saja.
"Karena dia aku cepat mendapat rujukan ke rumah sakit kota." Aku tersenyum sinis, menyimpan ponselku sebentar.
"Bukannya karena administrasi yang sudah aku bayar ya, makanya kamu bisa segera dirujuk ke sana?"
"Habis berapa?"
"Gak sampai 3 juta!" ucapku jutek.
"Coba kalau kamu gak naik kelas, pasti gratis."
Aku tersenyum lagi, "Iya sih, harusnya tetap di kelas dua. Biar aku dan Sultan tidur di lantai rumah sakit sambil jaga kamu," sindirku dan dia kemudian diam saja.
Lama kita berdiam, apalagi aku menerima panggilan telepon dari ibu dan Dika. Jadi Akbar hanya menjadi pendengar saja.
"Nanti kalau aku terapi jalan, kamu bisa gak temani aku terapi?"
"Lihat nanti, Mas!" jawabku, tak mau janji karena bagaimana pun aku juga kerja. Ya kali aku kena sp gara-gara merawat suami yang tak peduli akan kewajibannya pada istri.
"Kok lihat nanti, kan suami kamu lagi sakit. Harusnya aku prioritas kamu yang utama."
"Masalahnya kalau aku gak bekerja, terus kita harus riwa-riwi terapi, uangnya buat ke sana ke mari dari mana? Kamu? atau keluarga kamu mau bantu?"
Telak sekali, mas Akbar langsung melipat bibir. "Apalagi sepeda motor kamu terbelah dua begitu, sudah aku ajukan klaim asuransi lewat Mbak Sari."
"Siapa Sari?"
"Petugas leasing yang menagih bayar cicilan ke kontrakan," ujarku sesantai mungkin sembari melihat ekspresi mas Akbar dan tampak dia malu sekali. Terlihat jelas kalau hidupnya numpang denganku.
"Maaf ya, Mir."
"Gak perlu minta maaf, kata ibu kamu itu sudah kewajibanku sebagai istri."
"Ibu bilang begitu karena aku sudah menikah."
"Tapi ibumu pernah gak mengingatkan kamu untuk memberi nafkah pada aku sebagai istri kamu?"
Kembali mas Akbar diam kalau berurusan nafkah. Dia mulai tak punya muka kalau dihadapkan soal nafkah sedangkan dua kejadian dalam hidupnya sudah aku tanggung, cicil motor dan biaya rumah sakit. Entah apalagi setelah ini.
"
up teros sampe pagi