Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.
Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Helen tidak masalah dengan hal itu selama Bobby tidak masuk ke dalam rumah. Ia takut jika Bobby masuk, akan terjadi hal yang tidak diinginkan dan bisa merusak hidupnya seumur hidup, seperti pamannya dahulu.
“Jadi gini—”
“Kenapa?”
Helen mencoba menunggu dengan sabar apa yang akan dibicarakan Bobby. Namun, Bobby tetap saja panik, tangannya berkeringat dingin.
“Sebenarnya lo mau bicara apa sih? Kalau emang nggak ada yang mau lo bicarain, ya nggak usah. Daripada lo maksa begitu.”
“Nggak bisa. Gue harus kasih tahu sekarang, detik ini juga, karena gue nggak mau nyembunyiin hal ini terus-terusan.”
Helen merasa pria itu ribet sekali. Ia yakin Bobby pasti akan membicarakan hal-hal yang tidak diinginkannya.
“Gue suka sama lo, sebenarnya, Helen.”
“Terus?”
Bobby merasa kecewa dan tidak menyangka Helen akan menanggapi seperti itu.
“Dari semua yang gue omongin, lo cuma bilang ‘terus’? Nggak ada respons lain gitu?”
“Lo berharap gue jawab apa?”
Bobby semakin kecewa. Ia merasa Helen benar-benar tidak menghargai perasaannya yang sudah berusaha jujur.
“Ya udah, gue mau bilang makasih karena udah suka sama gue. Tapi gue nggak bisa suka sama lo, karena gue udah punya pria lain.”
“Pria itu Pak Bos, kan? Gue tahu kalau lo itu matre dan sukanya sama pria yang banyak duit. Kalau bukan pria banyak duit, pasti lo nggak mau.”
Helen merasa kesal mendengarnya. Ia tidak menyangka Bobby ternyata sama saja dengan pria-pria lain pada umumnya.
“Gue kira lo beda, ya. Ternyata lo sama aja. Iya, bener, gue suka sama pria banyak duit. Terus kenapa? Rumah ini juga yang beli Pak Bos, kalau lo mau tahu. Gue bahagia, dan gue seneng banget jadi simpanan dia. Paham, lo?”
Bobby tidak menyangka bahwa wanita yang selama ini ia sukai adalah simpanan bosnya sendiri.
Walaupun bosnya adalah pria tampan, Bobby tahu bahwa pria itu hanya memainkan perasaan wanita dan tidak benar-benar serius dengan Helen. Namun, ia tidak mengerti kenapa Helen justru menyukai pria yang kejam dan keji seperti itu.
“Sebelum terlalu jauh dan terlambat, gue saranin lo jangan salahin Pak Bos. Dia itu nggak pernah menghargai wanita, dan banyak wanita yang dia dekati. Jadi jangan pernah berharap dia bisa setia sama lo.”
“Kata siapa gue setia sama dia? Gue juga cuma manfaatin dia aja, kok. Namanya juga banyak duit. Kalau gue nggak punya uang, gue bisa minta sama dia. Jadi gue nggak perlu takut kehabisan uang.”
Xavier, yang mendengar semua itu dari balik tembok, merasa sangat sakit hati. Ia tidak menyangka Helen bisa berbicara seperti itu tentang dirinya kepada pria lain, Bobby.
Xavier merasa Helen yang selama ini ia cari memang Helen, tetapi bukan Helen yang sekarang. Helen yang ia kenal seolah sudah tidak ada lagi, dan tidak akan pernah bisa ia temui untuk selamanya.
Bobby merasa kecewa, tetapi ia tetap berusaha mencintai Helen apa adanya, meski sadar Helen adalah wanita yang matre.
“Gue nggak masalah kalau lo matre, tapi gue mau lo jadi pacar gue.”
“Lo yakin bisa ngasih semua yang gue mau? Gue itu banyak mintanya, lho. Kalau nanti gue banyak minta terus lo marah, terus lo mukul gue lagi? Gue nggak mau dipukul-pukul. Gue manusia, gue nggak suka kejahatan.”
“Terus apa bedanya lo sama Pak Bos? Lo juga melakukan kejahatan, kan? Lo minta uang dia, tapi seolah-olah lo nggak mau ngelakuin apa pun yang dia suruh.”
Helen hanya tersenyum mendengar perkataan Bobby. Ia tidak menyangka pemikiran Bobby begitu kekanak-kanakan, sangat berbeda dengan Xavier.
“Udahlah, gue males bahas hal ini sama lo. Intinya, gue udah nolak lo, kan? Jadi jangan ganggu gue lagi. Gue nggak mau diganggu sama lo yang kayak anak kecil. Bikin ogah, tau nggak sih? Sekarang lo paham kenapa selama ini nggak ada wanita yang suka sama lo? Karena sifat lo kayak anak kecil. Ubah sifat lo sebelum lo nyesel di kemudian hari.”
Bobby terdiam. Helen langsung masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa lagi.
Helen menghela napas panjang. Ia berpikir kenapa dirinya bisa bersikap seperti itu kepada Bobby, padahal selama ini Bobby adalah orang yang selalu baik dan membantunya dalam keadaan susah maupun senang.
Sementara itu, Xavier langsung masuk ke dalam mobil. Ia tidak ingin berkata apa-apa lagi. Hatinya benar-benar hancur setelah mengetahui bahwa selama ini Helen hanya memanfaatkannya dan tidak pernah benar-benar mencintainya.
Masuk ke dalam mobil, Xavier duduk diam.
“Pak, kenapa mukanya ditekuk seperti itu?” tanya sopir yang sedang mengendarai mobil Xavier.
“Nggak ada apa-apa, Pak. Cuma saya merasa saja, mungkin di dunia ini saya tidak akan pernah bisa merasakan cinta.”
Sopir yang mendengar itu merasa bingung. Ada apa dengan Pak Bos? Padahal selama ini Pak Bos dikenal sebagai orang yang dingin dan tidak pernah peduli dengan urusan cinta. Kenapa tiba-tiba membahas soal perasaan?
“Ya sudah, mungkin Pak Bos lagi lelah saja. Kalau begitu, di sebelah kiri Bapak ada permen warna biru dan merah. Coba Bapak pilih permen yang mana.”
Xavier mendengarkan ucapan sopirnya dan tidak pernah menyangka akan benar-benar menuruti perkataannya.
“Saya pilih warna biru. Tandanya apa, Pak?”
“Kalau Bapak pilih warna biru, tandanya perasaan Bapak lagi sedih dan butuh teman. Tapi kalau yang merah, artinya Bapak lagi senang dan butuh hal-hal yang menyenangkan.”
Xavier yang mendengar itu merasa tertarik. Ia tidak menyangka permen sederhana bisa memiliki makna seperti itu.
“Bapak tahu dari mana arti permen itu seperti itu?”
“Sebenarnya permen itu nggak ada artinya, Pak. Saya cuma merumpamakan saja.”
Xavier terdiam. Ia terkejut karena tidak menyangka sopirnya bisa memahami perasaannya dengan tepat.
“Menurut saya, Bapak tidak perlu merasa sedih soal cinta. Bapak itu selalu dipenuhi cinta, lalu kenapa harus memikirkan soal cinta?”
“Mungkin karena saya pernah menyukai seseorang, tapi orang itu tidak pernah menyukai saya. Saya malah mengharapkan lebih dari wanita itu.”
“Sebenarnya Bapak tidak salah. Hanya saja wanita itu yang tidak bisa menilai kalau Bapak adalah orang yang baik untuknya.”
Xavier merasa terhibur. Ia tidak menyangka curhat dengan sopirnya bisa membuat hatinya sedikit lebih ringan.
“Wanita itu biasanya senang kalau ditarik ulur, Pak. Kalau Bapak terus mengejar, dia bisa bosan dan merasa Bapak terlalu mudah didapat.”
“Jadi menurut Bapak saya harus bagaimana?”
“Coba tarik ulur saja. Hari ini perhatian, besok nggak. Besoknya perhatian lagi, lalu hilang lagi. Nanti dia sendiri yang bereaksi berlebihan.”