Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13: ANTARA MIMPI DAN LUKA
"Selalu saja kau seperti ini."
Suara itu terdengar lembut, mengalun seperti lonceng angin di telinga Guang Lian. Namun, di balik kelembutannya, terselip nada omelan yang manja.
Guang Lian mendapati dirinya berbaring di atas dipan kayu cendana yang harum. Tubuhnya dibalut perban putih yang masih merembeskan darah samar. Di sampingnya, duduk seorang wanita yang kecantikannya sanggup meruntuhkan sebuah kerajaan.
Rong Yue.
Wajahnya dipenuhi kecemasan yang berusaha ia tutupi dengan ekspresi kesal. Mata indahnya yang lebar, dengan bulu mata lentik yang bergetar pelan, menatap Guang Lian lekat-lekat. Kulitnya seputih porselen, kontras dengan bibir tipisnya yang merah merekah alami. Rambut hitam panjangnya tergerai bergelombang, jatuh menutupi sebagian bahunya yang ramping.
Pemandangan itu membangkitkan kerinduan purba dalam jiwanya.
"Apa kau dengar, Tuan Pahlawan?" Rong Yue mengerucutkan bibirnya, alisnya bertaut lucu. "Kau terus saja melangkah maju, bertarung tanpa henti demi orang lain. Apa kau tidak pernah memikirkan dirimu sendiri? Jika kau hancur, siapa yang akan menjahit lukamu selain aku?"
Guang Lian terdiam. Ia menikmati omelan itu. Senyum tipis perlahan terukir di sudut bibirnya yang pucat.
"Aku mengenal empat maniak bertarung di dunia ini," lanjut Rong Yue, suaranya melembut, jarinya mulai bermain di dada Guang Lian yang terbalut perban. "Dan keempatnya... adalah dirimu, Guang Lian."
Guang Lian tertawa pelan. Ia memaksakan diri untuk duduk bersandar. "Jika aku berhenti mengayunkan pedang, orang-orang di belakangku akan dalam bahaya, Yue."
Rong Yue terdiam. Ia mencondongkan tubuhnya. Aroma bunga musim semi yang memabukkan menguar, mengisi rongga dada Guang Lian.
Wajah mereka kini hanya berjarak sejengkal. Napas hangat Rong Yue menyapu kulit wajahnya.
"Orang-orang yang kau lindungi itu..." bisik Rong Yue. Tatapan matanya berubah. Dari hangat dan penuh cinta, menjadi dingin dan penuh misteri yang kelam. "...bukankah pada akhirnya, merekalah yang akan menancapkan pisau di punggungmu?"
DEG.
Jantung Guang Lian seakan berhenti berdetak. Kata-kata itu bukan sekadar pertanyaan. Itu adalah ramalan. Itu adalah kutukan.
Tangan halus Rong Yue terulur, membelai rahang tegas Guang Lian, lalu turun perlahan ke lehernya. Sentuhannya dingin, namun membakar.
"Dan lihatlah sekarang..." Bibir Rong Yue melengkung membentuk senyum nakal yang asing. "...bukankah wajah bocah Klan Mo ini begitu tampan untuk kau huni?"
Wajah Rong Yue semakin dekat. Bibir merahnya terbuka sedikit, siap melumat bibir Guang Lian—
"HAAH!"
Mo Long tersentak bangun. Matanya membelalak lebar.
Realitas menghantamnya dengan keras. Namun, sensasi 'dekat' itu belum hilang.
Tepat di depan wajahnya—kurang dari dua jari jaraknya—sepasang mata bulat milik seorang wanita muda sedang menatapnya dengan panik.
"KYAAA!"
Wanita itu terperanjat hebat. Keseimbangannya goyah. Tubuhnya yang condong ke depan jatuh menimpa Mo Long.
BUGH!
"Arkhh!" Mo Long mengerang. Lutut wanita itu mendarat tepat di perutnya yang masih cedera, sementara wajah wanita itu terbenam di dadanya. Sensasi lembut dan kenyal menekan dada bidangnya sesaat.
"Ma-maaf! Maafkan aku!"
Wanita itu buru-buru bangun dengan wajah merah padam, sepucat kepiting rebus. Ia mundur terhuyung-huyung, nyaris menabrak meja obat.
Mo Long menyipitkan mata, berusaha memproses situasi. Wanita di depannya mengenakan jubah tabib magang yang sedikit kebesaran. Wajahnya manis, mirip dengan pelayan setianya, Min Mao. Tapi wanita ini lebih dewasa, lebih tinggi, dan... berisi di tempat yang tepat.
BRAK!
Pintu kamar terbanting terbuka.
"Ada apa?! Aku mendengar teriakan!"
Kepala Hu Wei muncul di ambang pintu, matanya menyapu ruangan dengan waspada. Ia mendapati tabib magang itu sedang membungkuk-bungkuk panik ke arah Mo Long.
"A-aku... aku akan memanggil Guru!" cicit wanita itu dengan suara gemetar, lalu berlari kencang menerobos Hu Wei, meninggalkan ruangan dengan telinga yang merah menyala.
Hu Wei menatap kepergian wanita itu dengan bingung, lalu beralih menatap tuannya.
"Tuan Muda... Anda sudah sadar?" Hu Wei bergegas mendekat.
Mo Long memijat pelipisnya yang berdenyut. "Di mana ini? Berapa lama aku pingsan?"
"Klinik Pengobatan Tabib Zhu," jawab Hu Wei hormat. "Tuan tidak sadarkan diri selama satu hari penuh setelah kejadian dengan Balai Hukum."
‘Satu hari...’
Mo Long memejamkan mata. Ingatan sore itu kembali berputar di kepalanya.
Balai Hukum mengepung mereka. Ratusan tombak terarah padanya.
Seorang bangsawan berjubah biru berteriak, "Kau harus ikut kami! Seseorang harus membayar semua kerusakan ini!"
Mo Long hendak menghunus pedangnya, berniat melawan. Namun saat ia memanggil Qi, jantungnya serasa diremas tangan tak terlihat. Urat-urat hitam menjalar ganas di lehernya. Panas. Sakit yang luar biasa. Itu adalah pemberontakan Qi Bayangan.
'Sial... tubuh ini belum siap menampung ledakan Qi sebesar itu...'
Lalu semuanya gelap.
"Aku ceroboh," gumam Mo Long pelan. "Fisikku memang kuat, tapi meridianku baru saja pulih. Memaksa menggunakan 'Langkah Bayangan Hantu' dan 'Pukulan Naga' secara beruntun adalah tindakan bunuh diri."
Langkah kaki berat terdengar dari lorong, membuyarkan lamunannya.
Seorang tabib tua dengan jubah putih lusuh masuk, diikuti oleh seorang pria berbadan kekar dengan kulit gelap dan tatapan setajam elang. Di belakang mereka, tabib magang yang tadi—masih dengan wajah merah—mengintip malu-malu.
Tabib tua itu langsung duduk di sisi ranjang, jari-jarinya yang keriput namun kokoh menempel di pergelangan tangan Mo Long, batu merah di tengah cincinnya bersinar redup saat menyentuh kulit Mo Long.
"Izinkan aku melihat ulu hatimu," perintahnya tanpa basa-basi.
Mo Long membuka bajunya. Di sana, tepat di tengah dadanya, terdapat memar kehitaman berbentuk seperti jaring laba-laba.
"Kau beruntung, Nak," ujar Tabib tua itu seraya menekan memar tersebut. "Qi Bayangan adalah energi yang sangat korosif. Meridianmu masih sempit seperti selokan, tapi kau memaksanya dialiri sungai deras. Sedikit lagi saja kau memaksakan diri kemarin, meridian utamamu pasti sudah meledak."
Mo Long mengangguk. "Aku mengerti."
Pria kekar di belakang tabib itu berdeham, menarik perhatian. Ia menarik kursi kayu, duduk dengan berat hingga kursi itu berderit protes.
"Namaku Hiroshi. Pemimpin Balai Hukum wilayah Long Ya," ucapnya tegas. Suaranya berwibawa, tipe orang yang tidak suka berbasa-basi.
"Maafkan kekacauan kemarin, Tuan Hiroshi," kata Mo Long tenang.
"Hmph. Kekacauan?" Hiroshi mendengus kasar. "Satu rumah bordil dindingnya jebol. Satu paviliun toko obat hancur. Residu Qi hitammu membuat warga sipil di radius lima puluh meter muntah-muntah dan demam. Kau menyebut itu hanya 'kekacauan'?"
Mo Long terdiam. Ternyata efek Qi Bayangan lebih beracun dari dugaannya.
"Tapi sudahlah," Hiroshi mengibaskan tangan. "Kakakmu, Mo Feng, sudah membereskan semuanya. Dia membayar ganti rugi tiga kali lipat dan menjamin kau tidak akan dihukum."
"Mo Feng..." Mo Long tersenyum tipis. Tentu saja. Kakaknya itu pasti tidak ingin kekacauan besar ini didengar oleh Patriark Mo Han.
"Dengar, Nak," suara Hiroshi merendah, lebih serius. "Kota Long Ya sedang tidak baik-baik saja akhir-akhir ini. Banyak kejadian aneh. Orang-orang tiba-tiba mengamuk dalam ilusi, menyerang keluarga sendiri. Bandit ditemukan tewas terbakar tanpa api. Dan sekarang, pertarungan antar kultivator di tengah kota."
Alis Mo Long terangkat. "Mengamuk dalam ilusi?"
Hiroshi tidak menjawab. Ia berdiri, merapikan sabuknya. "Cukup istirahatlah. Jangan buat masalah lagi di kota ini. Aku tidak mau sel penjara Balai Hukum penuh oleh Tuan Muda manja sepertimu."
Tanpa menunggu jawaban, Hiroshi berbalik dan melangkah pergi.
Tabib tua itu ikut bangkit. Sebelum keluar, ia menoleh pada murid perempuannya yang masih berdiri kaku di pojok ruangan.
"Yaohua, nanti malam antarkan makan malam dan oleskan 'Salep Penimbun Qi' ke punggung pemuda ini. Pastikan meridiannya rileks."
"B-baik, Guru!" jawab gadis bernama Yaohua itu gugup.
Tabib dan Hiroshi berlalu, menyisakan Mo Long, Hu Wei, dan Yaohua.
Hu Wei menyenggol lengan Mo Long pelan, berbisik lewat transmisi suara, "Tuan Muda, sepertinya Anda punya penggemar baru."
Mo Long hanya mendengus geli.
Malam turun menyelimuti klinik.
Cahaya lampu minyak bergoyang pelan, menciptakan bayangan panjang di dinding kamar.
Mo Long duduk bersila di atas dipan, bertelanjang dada. Otot-otot punggungnya yang tegap berkilat di bawah cahaya temaram.
Di belakangnya, Yaohua berlutut. Jari-jari lentiknya bergerak telaten mengoleskan salep dingin beraroma mint ke punggung Mo Long. Setiap sentuhan disertai tekanan lembut pada titik-titik akupunktur.
Suasana hening, namun sarat ketegangan yang aneh. Napas Yaohua terdengar sedikit berat, seolah ia sedang menahan sesuatu.
"Apa yang sebenarnya kau lakukan?" tanya Mo Long tiba-tiba. Suaranya datar memecah keheningan.
Tangan Yaohua berhenti di bahu Mo Long. "A-aku... sedang memijat titik meridianmu, Tuan. Agar aliran Qi kembali lancar."
Mo Long menoleh sedikit ke belakang. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring yang berbahaya.
"Bukan itu maksudku. Tadi pagi... saat aku pingsan... kau yang mengganti pakaianku, kan?"
Wajah Yaohua memerah padam seketika, bahkan sampai ke leher.
"I-itu... baju Tuan penuh darah dan keringat! Guru yang menyuruhku menggantinya! Aku tidak bermaksud mengintip atau..."
"Atau apa?" goda Mo Long.
"A-aku hanya membersihkan tubuh Tuan!" cicit Yaohua panik. "Sungguh!"
Mo Long terkekeh. Tawa yang rendah dan maskulin. "Tenanglah. Aku tidak marah. Justru aku harus berterima kasih."
Yaohua menunduk, menyembunyikan wajahnya yang panas. Ia kembali melanjutkan pijatannya, namun kali ini tangannya sedikit gemetar.
Beberapa saat berlalu dalam diam. Mo Long memejamkan mata, menikmati sensasi dingin salep yang meresap ke dalam kulitnya, meredakan rasa perih di meridiannya.
"Yaohua," panggil Mo Long lagi, kali ini nadanya berubah serius. "Tadi siang Hiroshi menyebut soal 'orang-orang yang mengamuk dalam ilusi'. Apa kau tahu sesuatu tentang itu?"
Gerakan tangan Yaohua terhenti total.
Keheningan yang menyusul terasa berat dan mencekam.
"Itu..." Suara Yaohua bergetar, ragu. "Itu topik terlarang di kota ini."
"Aku suka topik terlarang," sahut Mo Long. "Ceritakan."
Yaohua menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.
"Apa Tuan tahu tentang 'Seni Pembalik Aliran Qi'?"
Mata Mo Long terbuka. "Teknik sesat yang membalikkan arus Qi untuk melipatgandakan kekuatan secara instan? Teknik itu bisa membuat penggunanya gila dan meridiannya hancur."
"Benar," bisik Yaohua. "Kasus-kasus orang mengamuk itu... semuanya memiliki gejala yang sama. Meridian mereka terbalik, mata mereka merah, dan mereka berhalusinasi melihat monster."
"Menarik," gumam Mo Long. "Jadi ada seseorang yang menyebarkan teknik sesat ini di Long Ya?"
"Bukan hanya menyebarkan," suara Yaohua tercekat, sarat emosi yang tertahan. "Mereka... korban-korban itu... tidak melakukannya atas kemauan sendiri. Mereka dikendalikan. Dimanipulasi."
Yaohua bergeser sedikit, duduk di samping Mo Long. Matanya yang bulat kini berkaca-kaca, memancarkan kesedihan dan kebencian yang mendalam.
"Dan orang yang berada di balik semua ini..." Yaohua meremas ujung jubahnya hingga buku jarinya memutih. "...aku tahu siapa dia."
Mo Long menatap gadis itu tajam. "Siapa?"
Air mata menetes di pipi Yaohua. Ia menatap lurus ke mata Mo Long, dan berbisik dengan suara yang membuat udara malam terasa semakin dingin.
"Dia adalah suamiku."
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁