Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Rega
Suara langkah Ethan menggema keras di lorong bawah tanah Amox. Pria itu tidak menatap siapa pun; tubuhnya bergerak cepat, bahunya tegang, auranya begitu gelap.
“Selamat malam, Tuan Ethan.”
Anak-anak Amox membungkuk hormat saat ia melewati mereka.
Ethan tidak membalas. Ia mendorong pintu baja menuju lorong terdalam, ruang inti Amox. Lampu redup dan bau logam memenuhi udara. Pintu terakhir terbuka setelah ia menempelkan jarinya di akses pemindaian.
Sambo yang sedang menyusun senjata di rak dinding, menoleh cepat.
Ethan mendekat. “Mana Celine?”
Nada suaranya tidak tinggi, namun Sambo yang telah mengenal Ethan bertahun-tahun, tahu itu suara pria yang berada di ambang ledakan.
Sambo melepas sarung tangannya, meletakkannya pelan. Dia jarang meninggalkan pekerjaannya di tengah-tengah. Ini cukup untuk menegaskan: Ethan sedang tidak bisa diabaikan.
“Celine tidak ada di sini.”
Rahang Ethan mengetat.
“Rega membawanya ke Montgo Hospital.”
BRAK.
Tendangan keras mendarat di meja hingga hampir terjungkal. Beberapa dokumen di atasnya jatuh berserakan di lantai. Ethan menekan nomor di ponselnya tergesa-gesa dan Rega langsung mengangkat di nada pertama.
Suara yang terdengar menantang di ujung sana membuat Ethan meledak.
“Shit! Fuck!” Teriakannya menggema di seluruh ruangan.
Sambo mendekat, namun Ethan sudah berlari keluar tanpa mendengarkan apa pun lagi.
Montgo Hospital, salah satu rumah sakit bertaraf internasional milik Montgomery Corp berdiri megah seperti monumen kekuasaan modern. Lima tahun terakhir, sejak Ethan Montgomery menjabat sebagai Presiden Direktur, jaringan bisnis keluarga itu melebarkan sayapnya ke sektor pelayanan kesehatan. Rantai bisnisnya nyaris sempurna: alat medis dipasok oleh anak perusahaan Montgomery, obat-obatan berasal dari farmasi milik mereka sendiri. Sebuah sistem tertutup yang menghasilkan keuntungan berlapis.
Langkah Ethan menggema di lantai marmer lobby utama. Seluruh staf yang berpapasan refleks menundukkan kepala dengan sikap profesional yang nyaris kaku. Namun Ethan tidak memperlambat langkahnya, tidak menoleh, tidak memberi isyarat apa pun.
Tanpa berhenti di meja resepsionis, tanpa menunggu pengawalan, Ethan langsung menyerbu lorong menuju bangsal VIP. Jas mahalnya yang lembab berkibar ringan di belakang tubuh tinggi itu, kontras dengan aura tergesa yang jarang terlihat darinya. Para perawat saling bertukar pandang, merasakan sesuatu yang tidak biasa. Presiden Direktur Montgomery Corp tidak pernah datang tanpa alasan, dan malam ini langkahnya terlalu cepat untuk sekadar kunjungan formal.
Pandangannya langsung tertuju pada Rega berdiri di ruang tunggu. Ethan langsung meraih kerahnya, siap menghajar.
Rega tidak tinggal diam, ia membalas memegang kerah Ethan. “Pukul aku kalau berani.”
Raga yang sejak tadi juga ikut di sana, langsung menahan keduanya mencoba menengahi.
“Cukup!”
Ethan mendorong Rega ke dinding. “Kau tahu di mana Celine dan kau diam? Kau berani menyembunyikannya dariku?”
Ia bergegas, hendak masuk. Namun dengan sigap, Rega menahan pintu dengan satu tangan menghalangi Ethan.
“Dia sedang istirahat. Kau tidak bisa masuk sekarang.”
Ethan melotot, tatapan predator yang siap membunuh. “Kau berani menghalangi aku?”
Rega mendorong balik. “Kenapa aku harus takut?”
Raga menahan dada keduanya. “Rega, Ethan, hentikan!”
Rega mengabaikan saudara kembarnya. Sorot matanya menatap lurus hanya pada Ethan, tajam dan menusuk.
“Harusnya kau yang berhenti.” Perlahan, kemarahannya berubah menjadi kekecewaan. “Berhenti menyakiti Celine.”
Ethan tidak menunggu lagi, kesabarannya telah habis. Tinju kanannya melayang di pipi Rega.
BUGH.
Rega terdorong sedikit, namun bukan tampak terluka ia malah terkekeh. Tawa pendek yang terdengar begitu dingin. Bak ejekan, tawa itu memperparah emosi Ethan. Ia mengangkat tinjunya lagi, tapi ucapan Rega membuat ruang itu terasa berhenti bernafas.
“Celine mengorbankan nyawanya untukmu.”
Ethan terdiam satu detik.
“Peluru yang seharusnya bersarang di tubuhmu, menghilangkan setengah paru-paru kanannya kalau kau lupa.”
Ethan membeku, pengorbanan Celine menamparnya semudah itu.
Rega melanjutkan, suaranya serak tapi tegas. “Kau tahu dia tidak bisa kedinginan, tapi kau malah membiarkannya kehujanan di luar sana.”
Rega mendorong dada Ethan sekali lagi, tidak keras tapi penuh makna.
“Jika kau tidak bisa mencintainya sebagai wanita, bisakah kau menghargainya sebagai manusia yang menyelamatkanmu?”
Hening.
“Aku muak melihat sikapmu.” kata Rega penuh amarah, lalu berbalik meninggalkan lorong rumah sakit.
Raga mendekat, menepuk bahu Ethan pelan.
“Masuklah, dia pasti senang kalau kau ada di sini.”
Ethan mengangkat wajahnya pelan, tatapannya kosong.
Raga menghela napas, bersandar di dinding. Suaranya lembut namun penuh kejujuran. "Kuharap kau bisa menentukan perasaanmu, Ethan.” Perlahan ia tersenyum tipis. “Celine tidak selemah itu. Ia bisa menerima apa pun selama kau jujur.”
“Rega sangat emosional. Sama seperti kau, Celine juga sama berharganya baginya.”
Ethan tidak menjawab, ia hanya menatap pintu kamar Celine lama lalu melangkah masuk dengan sangat hati-hati. Di ranjang besar itu, Celine terbaring dengan selang oksigen di hidungnya. Pipi wanita itu memerah, bulu matanya basah entah oleh sisa air mata atau demam yang belum sepenuhnya turun.
Ethan berdiri di sisi ranjang, menatap Celine intens lalu meraih tangannya perlahan.
“Maaf…” bisiknya lirih.
Seolah kata itu menembus tidur Celine, kelopak matanya perlahan bergetar, lalu terbuka perlahan. Senyum kecil terbit, lembut dan tulus, seolah kehadiran Ethan adalah satu-satunya hal yang ia tunggu.
“Kau datang, Ethan.” katanya lembut.
Ethan mengangguk. “Maaf, aku menyakitimu.”
Celine menggeleng pelan, terlalu pelan hingga rambutnya nyaris tak bergerak. “Kau pasti sangat sibuk di kantor,” Ia tersenyum hangat, seperti menghibur Ethan. “Aku mengerti, Ethan. Aku percaya padamu.”
Ethan mematung. Kepercayaan yang begitu utuh dan tanpa tanda tanya, membuat dadanya terasa seperti dihantam sesuatu. Ia tidak mengerti bagaimana seseorang masih bisa mempercayainya setelah apa yang terjadi.
Ethan menelan napas. “Tadi… aku menolong keluarga staf yang kecelakaan.”
Celine menatapnya lebih lama, alisnya sedikit berkerut. Ada keterkejutan halus di sana. “Aku tidak tahu kau sedetail itu memperhatikan stafmu,” katanya tersenyum tipis. “Ini seperti bukan dirimu yang biasa.”
Senyum itu perlahan luntur, “Atau sebenarnya aku yang tidak benar-benar mengenalmu.”
“Celine!”
Ethan refleks menyentak, tidak nyaman dengan kalimat itu.
Celine menatap Ethan dengan mata sendu, seperti sedang melihat pria yang sangat ia cintai namun tak pernah benar-benar bisa ia pahami.
“Ethan…” panggilnya lembut.
Ethan langsung mencondongkan tubuh. “Ya?”
Celine menarik napas pelan, seperti mengumpulkan tenaga.
“Aku ingin minta sesuatu.”
Ethan langsung menebak. “Kau mau dipeluk?”
Biasanya Celine akan langsung berbinar dan merentangkan tangannya lebar, tapi malam ini ia menggeleng.
“Aku ingin seluruh staf Montgomery Corp hadir di pesta pernikahan kita lusa.”
Ethan terdiam sepersekian detik, lalu mengangguk tanpa keraguan. Hanya butuh satu kalimat untuk Montgomery bisa mewujudkan keinginan sederhana itu.
Celine tersenyum tulus, “Terima kasih, Ethan.”
Ia mengangkat tangannya yang lemah, merentangkan kedua lengan seperti anak kecil meminta dipeluk.
“Peluk aku…” pintanya manja, penuh kerinduan.
Ethan memeluk tubuh kecil itu dengan erat. Ia merasakan panas tubuh Celine, napasnya yang berat, dan aroma khas dari kulitnya.
“Jangan menangis,” bisik Ethan di dekat telinganya. “Aku tahu… aku keterlaluan kali ini.”
Celine memejamkan mata, air matanya justru mengalir deras. Pelukan ini, entah kenapa tidak sehangat biasanya.
celine apapun yg terjadi jangan goyah.
tetap cuek,dingin dan jangan noleh² lagi kemasa lalu.
tak stabil suka naik turun tensi..
dokter bidan tak sanggup obati..
masalahnya cintaku yang kurang gizi..
💃💃💃💃💃 aseeek.. lanjutkan ethan..
pengorbanan celine terlalu besar hy untuk se ekor ethan...
cepatlah bangkit dan move on celine dan jauh jauh celine jangan terlibat apapun dgn amox apalagi yg didalamnya ada ethan² nya...
mungkin si SEthan merasa bersslah dan ingin bertanggung jawab atas kematian ayahnya Cantika, karna mungkin salah sasaran dan itupun sudah di jekaskan Raga & Rega.
tapi dadar si SEthan emang sengaja cari perkara, segala alasan Cantika punya adik, preettt...🤮🤮🤮