NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Bab 24 -

Aryo melangkah ke dalam gedung kantor polisi dengan napas yang sedikit tertahan; kepala dan hatinya masih penuh sisa-sisa kejadian yang baru saja berlalu. Di lobi, pandangannya seketika tertumbuk pada Gladys. Sosoknya yang anggun dan tenang membuat Aryo terhenti—pakaian rapi dan sikap penuh wibawa membuatnya tampak seperti penguasa ruang itu.

“Sudah berapa hari ya sejak terakhir kita ketemu?” Gladys menyapa, suaranya halus namun mengandung pertanyaan ringan.

“Aku rasa lima hari. Kenapa tanya?” Aryo membalas, mencoba bersikap biasa.

Aryo lalu melemparkan rayuan kecil, setengah bercanda. “Kamu makin menawan.”

Gladys mengangkat alis, setengah tertawa. “Berani ya kamu menggombali polisi.”

“Hanya kalau polisinya Gladys,” Aryo membalas sambil mengedipkan mata satu kali—senyum kecil yang mencoba mencairkan suasana tegang di kepalanya.

Gladys tertawa pelan, lalu mengantarnya ke ruang kerja yang rapi—meja, berkas, monitor yang memancarkan lampu-lampu kecil tanda aktivitas pengawasan malam itu. Ketika mereka duduk, Aryo langsung menyinggung hal yang menjadi beban pikirannya.

“Ngomong-ngomong, soal empat polisi itu bagaimana kabarnya?” Aryo menanyakan inti dari kunjungannya, nada suaranya penuh harap.

Gladys menatapnya serius. “Namamu sudah dihapus dari daftar tersangka.” Kalimat itu bagai beban yang terangkat; Aryo merasakan kelegaan yang tiba-tiba. Ia tidak ingin namanya terus-menerus dikaitkan dengan insiden itu.

“Oke—lega mendengar itu. Terima kasih, Gladys,” Aryo menjawab singkat, menahan rasa lega yang ingin keluar.

Setelah jeda sejenak, Gladys berganti wajah menjadi serius. Ia mencondongkan badan, nada bicaranya menurun—ada hal yang lebih berat untuk disampaikan. “Aku ingin bicara soal kejadian di terowongan waktu itu. Menurut penyelidikan kami, kamu bertindak untuk membela diri. Mereka sebenarnya mencoba menculik Meliana.” Ucapan itu membuat ekspresi Aryo berubah; kekhawatiran untuk keselamatan Meliana kembali mengusik ketenangan yang baru saja datang.

“Sudah tahu siapa ketua mereka?” tanya Aryo cepat, berharap ada nama yang bisa ia lacak.

Gladys menggeleng. “Identitasnya tidak terdaftar di sistem kami. Kelompoknya dikenal sebagai Ular Beracun. Anggota yang masih hidup sudah kami bekuk dan masukkan penjara. Sayangnya ada satu orang yang kabur dan berhasil merusak CCTV—kuduga ada bantuan dari luar karena sistem sempat rusak semalam.” Penjelasan Gladys memberi tahu Aryo bahwa situasinya lebih rumit dari sekadar geng kriminal biasa.

Mendengar hal itu, Aryo menahan napas. Kalau satu pelaku dari Ular Beracun masih berkeliaran — apalagi dengan dukungan dari pihak lain — maka ancaman terhadap Meliana belum berakhir.

“Lalu, kalian sudah tahu siapa yang menyewa mereka?” Aryo menekan, mencari arah yang jelas pada penyelidikan.

“Mereka bungkam,” Gladys menjawab singkat. “Yang ditangkap tidak mau buka mulut.”

Aryo menarik napas panjang; rasa frustasi bercampur kecemasan. “Kamu harus lebih waspada, Aryo. Kita belum bisa menyimpulkan siapa dalangnya. Kenapa mereka menargetkan kamu atau Meliana, itu masih misteri.” Pesan Gladys tegas—kewaspadaan ekstra harus jadi prioritas.

“Baik, Gladys. Aku mengerti.” Aryo mengangguk; kewaspadaan menjadi kata kunci malam itu.

Selesai urusan, Gladys mengantarnya keluar pintu. Saat mereka berdiri di lobi, Gladys melempar pertanyaan lain—lebih santai namun tajam. “Ngomong-ngomong, mobilmu baru?”

Aryo terdiam sekejap—ia sadar tadi membawa Ferrari ke kantor polisi. “Oh, itu mobil teman,” ia cepat-cepat membuang perkataan yang menjelaskan lebih jauh, memaksakan nada biasa.

Gladys sedikit mengernyit—seakan bisa mencium kebohongan—namun tidak menggali lebih jauh malam itu. “Baiklah. Aku kabari kalau ada perkembangan. Sampai jumpa.”

Setibanya Aryo di kantor, ia disambut oleh Chris yang tampak segak di lantai 30. “Hei—ke mana saja? Kamu dicari Bu CEO,” seru Chris saat melihat Aryo muncul.

“Aku sudah bilang tadi—baiklah, terima kasih Chris,” Aryo mendecak pelan, sedikit terganggu karena harus buru-buru menemui Meliana. Ia cepat melangkah menuju lift.

Chris mengejar langkahnya sambil menggoda, “Aku penasaran, kamu bukan sekadar pengawal Bu Meliana, ya?”

Pertanyaan itu membuat Aryo harus ekstra hati-hati; Chris adalah orang yang setara kemampuannya, dan kedekatan kerja mereka memang sering menimbulkan desas-desus. “Kenapa kau berpikir begitu?”

“Karena kulihat dia bolak-balik mencari kamu. Kalian berdua terlalu sering terlihat sama.” Chris menyindir sambil tersenyum—dan diam-diam membuat Aryo sedikit bangga, meski tak mau mengakuinya.

“Hei, mana mungkin. Aku hanya bodyguard,” Aryo menangkis, berusaha minimalisir gosip.

“Tidak ada yang tidak mungkin,” Chris menyahut santai, melempar ulasan yang membuat Aryo semakin ingin mengakhiri percakapan. Aryo memutuskan berjalan sendiri ke ruang Meliana.

Sebelum masuk, Aryo mengangkat telepon untuk mengonfirmasi satu hal. “Gaston, bagaimana kabarmu? Perkembangan apa?”

Di ujung telepon, suara Gaston terdengar serak. “Bang, sori… aku lagi luka-luka,” jawabnya singkat.

“Apa? Kenapa bisa begitu?” Aryo terkejut.

“Aku dikeroyok anggota Nagajaya yang ternyata lebih handal,” Gaston menghela nafas. Aryo khawatir, cepat menanyakan seberapa parah lukanya.

“Untungnya tidak terlalu, Bang,” Gaston meyakinkan. “Aku masih bisa lanjut.”

“Aku jaga saja. Hati-hati, Gon—jangan sampai kau lebih dulu mati dariku.” Aryo bercanda, kebiasaan mereka sejak lama yang sedikit meringankan suasana.

Gaston membalas singkat, lalu keduanya membahas soal langkah selanjutnya—Gaston masih memantau gerak-gerik Nagajaya sementara Aryo memberinya info bahwa satu anggota Ular Beracun kabur dari penjara. Mereka sepakat untuk tetap waspada.

Jam pulang pun tiba. Saat mengantar Meliana pulang ke kondominium, Aryo melakukan kesalahan kecil tapi mencolok: di garasi dia salah mengambil mobil—bukan sedan biasa, melainkan Ferrari yang terlalu mencolok untuk dipakai pulang. Ia lupa membedakan dengan mobil lain setelah beberapa hadiah mewah belakangan ini membuatnya terbiasa.

Meliana terperanjat begitu masuk ke mobil. “Ini mobil siapa? Kamu pinjam lagi sama papa?” ia bertanya setengah menuduh.

Aryo menepuk jidat, menyadari kebodohan itu. Ia memutuskan menyusun alibi cepat melalui Thania. “Ini… ini mobil Thania tadi malam,” ia berkata terbata-bata, berharap penjelasannya cukup.

Meliana tak mudah percaya. “Hmm—tidak meyakinkan.” Ia terpaksa duduk di kursi depan, posisi kakinya menekuk sehingga rok tampak merosot—suasana canggung yang membuat Aryo semakin tak nyaman. “Pandangan lurus ke depan! Kau ini aneh, malah bawa Ferrari. Aku lebih nyaman naik sedan biasa.”

Di rumah, Aryo memilih mengonfrontasi Thania supaya alibi itu terdukung. Ia menanyakan secara langsung: “Thania, jujur—katanya Ferrari itu mobilmu, benar?”

Thania, dengan gayanya yang ceria, menjawab seperti biasanya. “Oh, Aryo punya Ferrari? Oh iya, itu dari ba—” ia mulai, lalu Aryo buru-buru menyela agar cerita tetap rapi.

“Meliana, Ferrari itu aku pinjam dari Thania. Kemarin aku antar ke rumahnya untuk ganti mobil. Di garasinya banyak mobil mewah, jadi aku pinjam salah satu. Aku memang suka Ferrari.” Aryo menuturkan alibi yang sudah disiapkan sebelumnya, berharap Meliana percaya.

Meliana menatap Thania tajam; intuisi dan rasa curiga masih bersemayam. Thania hanya menjawab singkat dengan gaya manja: “Betul, betul, betul.” Cara bilangnya seperti anak kecil yang berusaha tidak terjebak dalam konspirasi.

“Aku mencium bau kebohongan,” Meliana mengomel, menyilangkan tangan. “Tadinya kupikir kau mencurinya, atau sekadar minta ke papaku tanpa izin.”

“Aku bukan kriminal, Bu CEO. Mana mungkin aku pencuri?” Aryo menepis tuduhan itu, suaranya menahan sakit hati yang samar.

“Justru karena kau tampak tenang—orang yang baru membunuh biasanya tidak bisa segitunya. Ada yang aneh,” Meliana berkata tegas. Tuduhan itu membuat Aryo terdiam, sejenak termenung.

“Lagipula, Aryo. Kau penjagaku. Kalau butuh apa-apa, bilang saja padaku,” Meliana menegaskan sambil berkacak pinggang—posisi yang membuat Aryo agak gugup karena mereka berdiri cukup dekat.

“Oh, aku kira kau benci aku,” Aryo berpura-pura polos, mencoba meredakan ketegangan dengan candaan.

Meliana segera menutup mulut, menyadari ia hampir berkata lebih dari yang dimaksud. Ia duduk, menenangkan diri. Thania bertepuk tangan kecil sambil mengejek: “Ciee, ada yang mulai manis nih.” Meliana membuang muka, menahan rasa geli malu.

Tiba-tiba ponsel Aryo bergetar—panggilan dari Gaston. “Sebentar aku angkat telepon dulu,” ia berkata, berdiri dan menjauh dari ruang santai untuk berbicara serius.

“Bang, bisa ketemu sekarang?” suara Gaston terdengar mendesak. “Aku kirim alamatnya.”

“Aku segera ke sana.” Aryo langsung mengambil jaket dan kunci mobil.

Meliana mendesak. “Mau ke mana malam-malam begini?”

“Ada urusan,” Aryo singkat. “Bukan urusan wanita.”

“Jangan mabuk-mabuk atau cari masalah,” Meliana memperingatkan, lalu menuduh dengan cepat: “Mau pamer mobil baru ya?”

Aryo tak membahas lebih jauh. Ia mengendarai Ferrari menuju alamat yang dikirim oleh Gaston. Jalanan malam menjadi latar bagi pikirannya yang terus meraba-raba kemungkinan: Roxil? Nagajaya? Siapa dalang sebenarnya di balik semua ini?

Di sebuah kafe remang, Gaston menunggu dengan wajah penuh jahitan—tanda perkelahian baru-baru ini. Ia menatap Aryo dengan mata yang masih menyimpan amarah. “Penjahat Ular Beracun yang mencegatmu di terowongan itu, suruhan Roxil,” ia mengungkapkan dengan nada yang memadukan kebencian dan informasi.

“Apa ini atas perintah Keluarga Zola?” Aryo segera menanyakan, mencari hubungan antara kelompok besar dan serangan yang terjadi.

Gaston menggeleng pelan. “Sepertinya Roxil masih menyimpan dendam sendiri,” jawabnya. Mereka lalu menimbang kemungkinan: balas dendam pribadi Roxil, atau permainan pihak lain yang memanfaatkan kebencian Roxil untuk tujuan mereka sendiri.

“Aku ragu pembunuhan terhadap Roxil bakal mengakhiri masalah. Mereka akan terus kirim orang sampai akar masalah tersingkap. Kalau bukan Keluarga Zola, lalu siapa yang diuntungkan?” Aryo merenung, membuka kembali daftar orang yang punya motif terhadapnya—sesuatu yang membuatnya semakin waspada.

Gaston, yang wajahnya masih merah karena luka, mengeluarkan kata yang penuh dendam, “Kalau begitu, bolehkah aku bunuh dia, Bang?” Wajahnya menunjukkan keinginan menutup masalah dengan cara ekstrem.

“Terserah kau, Gon. Tapi kau harus hidup kembali—itu prioritas,” Aryo menekankan. Strategi dan hidup lebih penting daripada pelampiasan emosi sesaat.

Setelah memutuskan berpisah, Gaston kembali ke tugasnya. Aryo memacu mobil pulang, memasuki garasi, namun belum sempat melangkah ke pintu kondominium—empat orang bertopeng menghadangnya.

“Ingat kami?” teriak mereka, suara penuh kebencian.

Aryo mengenali nada itu—mereka adalah kelompok perampok yang beberapa waktu lalu saling berseteru dengannya. “Oh, kalian perampok bank cemen itu. Kok bisa kalian lepas?” Aryo mengejek, menahan amarah dengan sindiran.

“Kami mau beri pelajaran!” mereka langsung menyerang.

Aryo menghindar sambil melontarkan ejekan yang semakin memperuncing emosi lawan. “Kalian nggak puas dengan pelajaran matematika SD dulu ya?” Ia mengolok saat mengelak serangan.

Dalam tempo cepat, Aryo menunjukkan kenapa ia dianggap andal: teknik bertarungnya melumpuhkan koordinasi mereka. Pistol mudah dilucuti dari tangan mereka, gerakan mereka tak sinkron dengan aksi Aryo yang efisien.

Satu per satu ia jatuhkan, kemudian mengikat tangan mereka menggunakan tali tambang yang selalu ia bawa—prosedur standar untuk memastikan para penyerang tak kabur lagi. Ia menjejalkan keempatnya ke bagasi sedan, menahan rasa jengkel sekaligus lega, lalu membawa mereka ke kantor polisi pada malam itu juga.

Sesampainya di luar kantor polisi, Aryo mengangkat telepon dan meminta bertemu dengan Gladys. “Gladys, aku ada hadiah buatmu,” ucapnya di ujung nada—seolah ingin menutup malam yang bergejolak dengan sebuah gestur kecil.

Hadiah apa ya??....

Bersambung.

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!