NovelToon NovelToon
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Poligami
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.

Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Seorang pria muda menghampiri Nay yang duduk di pojok belakang ruangan kuliah, senyumnya merekah saat menyapa,

"Halo Ibu Nay! Kita ketemu lagi di sini. Gimana kabarnya, Bu?"

Nay terkejut sejenak, tubuhnya kaku seperti tersentak oleh suara itu. Matanya seketika menerawang ke masa lalu, mengingat kembali hari-hari menjadi mahasiswi di Semarang.

Di tengah keramaian kegiatan kemahasiswaan, di situlah ia pertama kali bertemu dengan Umar, bukan sebagai teman satu jurusan atau dari perguruan yang sama dengan suaminya sekarang.

Sementara itu, Pak Umar duduk tenang di barisan paling depan, tampak siap memulai kuliah pagi pukul delapan. Nay mencuri pandang ke arah suaminya, melihat bagaimana pesonanya begitu memikat. Wajahnya yang karismatik dan sikapnya yang tenang membuat banyak mahasiswi sering kali tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Dalam hati, Nay sedikit tersenyum, mengakui betapa sulitnya mengalihkan pandangan dari Umar yang begitu memikat.

Nay tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan gelombang perasaan yang bergejolak di dadanya.

“Halo, Adam. Aku sehat. Kamu gimana?” tulisnya dengan hati-hati di secarik kertas, berharap hubungan mereka tetap hangat meski kehidupan sudah berkelok berbeda. Adam, yang duduk tak jauh di depannya, melemparkan selembar kertas berisi tulisan tangannya. Di belakang kelas, dosen Umar sudah mulai membuka materi, tapi mata Adam tetap waspada, tak ingin kena tegur karena tertangkap mengobrol di kelas. Dengan jari yang sedikit gemetar, Nay membaca tulisan itu.

“Jadi, apa benar Bu, gosip yang beredar pak dosen Umar dengan Bu Nay sudah menikah?”

Jantung Nay berdebar, matanya terangkat sesaat menatap Adam yang tersenyum malu tapi penuh harap. Ia mengambil kertas itu dan menulis di bawah pertanyaan tadi, berusaha menjaga suasana tetap ringan.

"Alhamdulillah, gosip itu benar," tulis Nay dengan tangan sedikit gemetar.

Ia menyerahkan kertas itu kembali ke Adam, yang kemudian membacanya sambil tersenyum kecil, pandangannya ikut tertuju pada Nay. Adam segera kembali fokus menatap dosen Umar yang sedang menjelaskan materi kuliah dengan penuh semangat di depan kelas.

Nay pun menoleh, matanya tak lepas mengikuti setiap gerak-gerik pria itu. Ada rasa takjub yang semakin mengembang di dadanya, disertai kebanggaan dalam hati karena bisa memiliki suami sehebat dosen Umar.

*****

Airin duduk di ruang tamu sambil mengunyah camilan yang dibawanya. Matanya sesekali melirik ke pintu ruang dosen Umar yang sedikit terbuka. Di dalam sana, Nay terlihat asyik berbincang dengan dosen muda itu, sambil sesekali menyeruput kopi dingin dan mencicipi kue yang baru saja dipesan secara online.

“Aku senang sekali, akhirnya dosen Umar memilih Nay sebagai istrinya,” pikir Airin dalam hati.

Senyum tipis terukir di bibirnya, menghapus bayang-bayang gosip yang dulu kerap menghantui. Kini, mereka sudah resmi menjadi pasangan suami istri, tak perlu lagi takut pada bisik-bisik miring ketika berdua di ruangan yang sama. Udara di sekitar terasa lebih ringan, seolah hubungan itu memberikan kelegaan bagi semua yang tahu.

Di antara teman dosen yang juga duduk santai, Airin merasakan damai yang sulit dijelaskan, sambil terus memandangi pintu yang tetap tertutup sedikit itu dengan penuh harap.

Jam menunjukkan pukul setengah dua belas siang, masih ada waktu sebelum dosen Umar mengajar di siang hari setelah shalat Dhuhur. Saat ini, mereka berdua memanfaatkan waktu luang untuk menikmati makan siang bersama. Namun, ketika Nay dan Umar asyik menikmati kue-kue yang sudah dibeli, tiba-tiba muncul seorang wanita muda berpenampilan menarik yang mencari dosen Umar.

Di ruang tamu yang dipenuhi deretan sofa empuk itu, beberapa dosen tengah berbincang santai. Mata mereka sesekali melirik ke arah seorang wanita muda yang berdiri canggung di pintu masuk. Salah satu dari mereka menunjuk ke arah sebuah ruangan,

"Itu ruang dosen Umar," katanya pelan, seolah ingin membantu.

Di benak Airin, muncul pertanyaan berputar tak henti. Siapa sebenarnya wanita itu? Apa urusannya dengan Umar? Dengan langkah ragu, wanita muda itu mengangkat tangan dan mengetuk pintu.

Suasana langsung berubah tegang begitu pintu terbuka. Nay dan Umar terdiam, wajah mereka mencerminkan kejutan yang sulit disembunyikan. Wanita itu, Citra terlihat anggun tapi kehadirannya seperti menyulut bara di dada Nay. Mata Nay menyipit, dadanya sesak oleh campuran cemburu dan gelisah.

"Kenapa Citra ada di sini? Apa dia sudah tahu tentang kita?" gumam Nay dalam hati, jari-jarinya menggenggam erat lengan kursi, berusaha menahan kegelisahan yang tiba-tiba membanjiri perasaannya.

Nay menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan diri.

"Haruskah aku pura-pura santai saja, seperti tak terpengaruh kehadirannya?" pikirnya, matanya sesekali mencuri pandang ke Umar. Hatinya bergejolak, campur aduk antara rasa penasaran dan was-was yang sulit dijinakkan. Tiba-tiba, suara Citra memecah kekacauan itu.

"Mas Umar, aku ingin bicara empat mata. Ini penting!" ucapnya dengan nada tegas yang membuat jantung Nay seakan melompat dari tempatnya.

Nay menahan napas, menatap wajah Citra yang serius, kemudian mengalihkan pandangannya ke Umar, mencari tahu apakah ada yang tak beres. Ada kegelisahan samar di mata keduanya, yang semakin mengeratkan kecemasan dalam dada Nay.

"Apa yang mau dibicarakan Citra? Tentang hubungan mereka? Atau sesuatu yang lebih serius?" gumam Nay dalam hati, tubuhnya kaku menahan gelombang takut yang mengalir.

Nay sudah bersiap berdiri, ingin memberi ruang buat Citra dan Umar bicara empat mata. Tapi tangan Nay tiba-tiba ditahan erat oleh Umar.

"Tunggu dulu," kata Umar dengan nada tegas, matanya tak lepas dari Citra.

"Kalau kamu memang ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan, sebaiknya Nay tetap di sini. Biar nggak timbul fitnah-fitnah yang nggak perlu."

Citra menunduk, terlihat ragu sebelum akhirnya mengangguk pelan. Nay duduk kembali dengan perasaan campur aduk, tak berani mendekat tapi matanya terus menelusuri tiap gerak-gerik Citra. Dalam hati Nay bergolak tanda tanya.

"Apa sih sebenarnya yang mau Citra sampaikan? Kenapa dia nggak ingin aku dengar sendiri?" Hati kecilnya menahan cemas, tapi ia memaksakan diri untuk tetap fokus pada pembicaraan yang mulai mengalir.

"Mas Umar, kabar itu sampai juga padaku akhirnya. Abah dan Ummi duduk berdua, suara mereka bergetar saat menceritakan semuanya, bahwa kamu telah menikahi wanita lain. Dadaku sesak, jantungku berdetak tak beraturan, bukan karena terkejut, tapi karena sakit yang menggerogoti hingga sulit kubendung. Aku pejamkan mata, mencoba menahan air mata yang mengancam tumpah.

"Apa benar ini semua? Bagaimana bisa? Kamu dan keluargamu yang selama ini menjanjikan perjodohan ini, tiba-tiba saja mengingkar? Apa aku tidak pernah berarti?" gumamku, suaraku hampir pecah. Kutegakkan kepala, berusaha terlihat kuat, tapi Citra memandangku dengan mata basah.

“Kamu tahu, Mas?” suaranya bergetar, tapi penuh kepedihan.

“Kamu dan keluargamu bukan hanya ingkar janji. Kamu... kejam.”,”

Mata Citra berembun, tetapi dia menegakkan kepala, berusaha keras menahan agar tak terlihat rapuh. Di depan Umar, ia harus kuat. Di depan Nay, yang kini duduk membeku, bibir Nay tercekat, matanya melirik ke segala arah seperti mencari celah untuk kabur dari ruangan yang panas ini.

Napas Nay sesak, jelas ia tak mau terseret ke dalam pusaran kekacauan ini. Tapi Umar menggenggam tangan Nay dengan erat, seakan cuma dialah yang penting di dunia ini, seolah keberadaan Citra hanyalah bayangan yang tak berarti. Citra terpaku, hatinya terjebak di lorong gelap yang sepi, ditinggalkan tanpa petunjuk arah.

"Maafkan aku, Citra," suara Umar menghujam, tegas namun dingin, membekas sampai ke tulang.

"Aku harus memutuskan perjodohan kita. Aku tak mencintaimu. Aku hanya menganggapmu seperti adik kandung. Orang yang aku cintai... adalah Nay."

Tangannya meremas erat jemari Nay, seolah takut kehilangan sesuatu yang sebenarnya tak lagi bisa dia genggam. Citra hanya terpaku, matanya membelalak, bingung menatap sosok yang berkata dingin tanpa sekalipun menatap matanya.

"Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu? Tanpa menatap aku, tanpa rasa bersalah sedikit pun?" pikirnya dengan dada yang sesak, jantung berdegup kencang sampai nyaris pecah.

Ada rasa sesak dan sakit menggerogoti hatinya, seperti puing-puing harapan yang runtuh bersamaan dengan kata-kata itu.

"Kenapa Nay? Kenapa bukan aku?" gumamnya dalam hati yang terbelah.

Lalu ada Mas Umar, yang dengan dingin menyampaikan semuanya seolah Citra ini hanya sampah yang tak pantas tahu kejelasan, apalagi belas kasih. Semua kalimat itu bergelayut di pikirannya, membentuk badai pertanyaan yang tak mungkin pernah terjawab.

Citra membenci perasaannya sendiri, membenci betapa ia masih saja berharap, setitik kecil penyesalan yang pasti takkan pernah ada.

"Mas, aku lebih dulu kenal kamu sebelum Nay," suaranya bergetar ketika dia protes.

"Kenapa gara-gara Nay, kamu berpaling dariku?" ucapnya, suara itu membuat mata Nay terlihat berkaca-kaca, beban rasa bersalah yang tiba-tiba menghampiri.

Nay menarik napas dalam-dalam, wajahnya terlihat lelah dan penuh penyesalan.

"Mbak Citra, maafkan aku. Di sini aku yang salah, bukan Mas Umar," suaranya lirih, namun tegas.

Umar mengerutkan dahi, matanya tajam menatap Nay, jelas hatinya menolak menerima semua ini hanya karena Nay. Namun kemudian Umar menghela napas, menepuk bahu Nay perlahan.

"Tidak, bukan kamu, Nay. Aku yang sudah memilih kamu. Jangan bawa rasa bersalah itu. Kamu istriku," ucapnya dengan nada tegas, penuh keyakinan.

Citra, yang dari tadi diam menyimak, perlahan melangkah mundur. Matanya memerah, bibirnya bergetar menahan isak. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan berlari keluar ruangan dosen itu, suaranya tercekat di kerongkongan.

Sesaat kemudian, sepasang mata para dosen saling bertukar pandang. Senyum tipis tersungging di bibir mereka, seolah sama-sama memahami drama yang baru saja berlalu. Suasana ruang dosen seolah terasa semakin berat, tapi juga penuh kemenangan diam-diam yang tersembunyi.

Salah satu dosen senior menepuk meja, senyum sinis mengembang di bibirnya.

“Nah, bener, kan? Pasti banyak cewek-cewek yang tergila-gila sama Pak Umar.” Matanya berbinar, seakan menantang reaksi yang lain.

“Gimana nggak, dia itu idola. Jadi wajar kalau mereka protes kenapa Pak Umar harus nikah.” Dia terkekeh pelan, menambahkan,

“Hari ini kita nyatakan hari patah hati nasional, karena Pak Umar akhirnya resmi melepas masa lajangnya.”

Tawa kecil berhamburan dari meja lain. Beberapa dosen saling bertukar pandang sambil tersenyum geli. Selama ini, Pak Umar memang terkenal bikin gaduh, bukan karena kuliahnya, tapi gara-gara penggemarnya yang kadang kelewat ekstrim, bunga-bunga segar, parsel buah, sampai makanan yang dikirim bertubi-tubi. Suasana jadi hangat dengan gurauan itu, meskipun ada sedikit rasa iri yang tak bisa disembunyikan.

Saat senyum mengembang di bibir Airin, matanya tertuju pada pintu ruangan dosen Umar yang terbuka sedikit. Hatinya berdegup kencang, campur aduk antara lega dan sesak.

“Aku harus berhenti mengejar pria itu,” gumamnya pelan, seolah melepaskan beban yang telah lama menyesakkan dada. Karena kini, tak ada lagi harapan, dosen Umar sudah memilih wanita lain, sosok yang jauh lebih nyata dari sekadar bayangan di angannya.

Airin menelan perih yang mencoba menari di tenggorokannya, namun di balik senyum itu tersimpan luka yang tak mudah hilang. Ini bukan sekadar tentang cinta yang kandas, tapi tentang belajar melepaskan sesuatu yang selama ini ia yakini sebagai impian terindah..

1
tina napitupulu
nyesak tak tertahankan...
Shaffrani Wildan
bagus
Dhani Tiwi
kasuhan nay... tinggal aja lah si umar nay..cari yang setia.
tina napitupulu
greget bacanya thorr...gak didunia maya gak didunia nyata banyak kejadian serupa../Grievance/
Usman Dana
bagus, lanjutkan
Tini Hoed
sukses selalu, Thor
Ika Syarif
menarik
Sihna Tur
teruslah berkarya Thor
Guna Yasa
Semangat Thor.
NAIM NURBANAH: oke, terimakasih
total 1 replies
Irma Kirana
Semangat Mak 😍
NAIM NURBANAH: Terimakasih banyak, Irma Kirana. semoga nular sukses nya seperti Irma menjadi penulis.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!