NovelToon NovelToon
Senjakala Di Madangkara Dalam Kisah Mengais Suka Diatas Luka

Senjakala Di Madangkara Dalam Kisah Mengais Suka Diatas Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Action / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:96
Nilai: 5
Nama Author: Eric Leonadus

Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.

Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Babak Kedua Puluh Delapan

# 28

Di sebuah bukit yang agak jauh dari tempat dimana Raden Bentar dan 10 orang prajurit pengawal istana beristirahat, di sebelah Utara ... disinilah Permadi membawa kudanya sendirian. Bukit itu begitu sunyi, sepi dan lengang ... setelah memastikan tak ada orang yang mengikutinya, ia mengeluarkan sebuah sangkar kayu dimana di dalamnya terdapat seekor burung merpati berwarna hitam.

‘Raden Bentar itu ... sepertinya dia hendak memisahkanku dengan Shakila sehingga kami kesulitan untuk berbagi informasi. Jika ini terus menerus terjadi, lama – kelamaan hubunganku dengan Shakila merenggang dan bukannya tidak mungkin rencana kami bakal berantakan. Ia harus segera disingkirkan, mumpung saat ini dia bersamaku. 10 prajurit itu, jelas tidak ada apa – apanya dengan 10 pembunuh bayaran sewaan kami. Kami bisa mengalahkannya dengan mudah. Tapi, aku harus menjalankan rencanaku ini dengan rapi dan bersih. Baik, akan kuminta Juragan Gurinda untuk mempersiapkan penghadangan. Yah, itulah yang harus kulakukan sekarang. Lebih cepat, lebih baik. Juragan Gurinda aku bergantung padamu untuk saat ini,”

Permadi segera meraih sebuah kantong lain yang tergantung di pelana kuda sebelah kiri. Ia mengeluarkan alat tulis dan selembar daun lontar. Tak lama kemudian, jari – jemarinya sudah bergerak cepat menari – nari di atas permukaan daun .lontar itu.

‘Gurinda ... aku dan Raden Bentar dalam perjalanan menuju Banten Girang ... segera utus 10 pembunuh untuk menghadang kami, 3 hari lagi di kaki bukit KALAS. Tertanda Permadi,’

Demikianlah yang tertulis pada daun lontar itu, surat itu diselipkan pada kaki kiri burung merpati dan melepaskannya ke arah Timur. Permadi tidak menyadari bahwa ada beberapa pasang mata tengah mengawasi segala gerak – gerik dan tindak tanduknya.

_____

Setelah melepaskan merpati itu ke arah Utara, Permadi memacu kudanya ke arah Barat. Ia masih belum menyadari ada beberapa orang mengikutinya dari jarak yang agak jauh. Selain enam orang, masih ada beberapa prajurit utusan Raden Bentar, dan seorang laki – laki berbaju biru mengenakan topeng tengkorak perak yang bergerak seringan kapas.

Sesampai di sebuah pasar, para penguntit itu memisahkan diri, berbaur dengan orang – orang yang berlalu lalang, membuat Permadi semakin tidak menyadari bahwa ia tengah diikuti banyak orang. Begitu sampai di pelataran pasar, ia turun dari kuda, menuntunnya dan mulai menyusuri jalanan di sepanjang pasar. Pandangannya menyapu ke seluruh penjuru pasar hingga terhenti pada kedai makan yang diapit oleh dua buah kedai penjual buah – buahan dan sayur – sayuran. Kedai itu terdapat sebuah papan nama dari kayu meranti bertuliskan tiga huruf aksara Jawa “MARWATI”. Permadi tersenyum, kemudian bergegas menuju ke warung itu, setelah menambatkan kudanya, ia melangkah masuk.

“SAMPURASUN .... “

Sapa Permadi, suaranya memantul dari dinding satu ke dinding lain, terbawa oleh angin semilir ke arah dalam, hingga akhirnya terdengar balasan dari salam tersebut.

“RAMPES...”

Bersamaan dengan itu, dari dalam muncullah seorang wanita agak gemuk mengenakan kebaya berwarna hijau lumut dan rambutnya yang kelabu disanggul. Usianya sekitar 58 tahun. Sekalipun demikian kulitnya masih kencang, nyaris tak nampak garis – garis ketuaan pada wajahnya. Saat sepasang matanya yang bulat beradu pandang dengan tatap mata Permadi, wanita itu tersenyum manis.

“Waduh ... waduh ... waduh ... Den Permadi, bagaimana kabarnya ? Lama sekali tidak berkunjung kemari ...” kata wanita itu ramah dan renyah. Suaranya merdu menyejukkan hati siapapun yang mendengarnya. Permadi tersenyum sambil menyalami tangan wanita itu, “Baik – baik saja, Bu... Bagaimana dengan Ibu Marwati sendiri ?” kata Permadi.

“Ibu juga baik – baik saja, Den. Hhmm, setelah tinggal di Madangkara dan menjadi salah satu orang yang paling berpengaruh, Aden tampak lebih tampan, gemuk dan awet muda. Silahkan duduk, Den,” Dari tata caranya berbicara, tindak tanduknya yang menggemaskan, membuat siapa saja tidak bosan memandangnya. Menandakan ia sudah cukup berpengalaman dalam melayani dan menjamu para pelanggannya. Termasuk Permadi yang sudah menjadi langganan warung Marwati sejak masih kanak – kanak.

“Ibu terlalu memuji. Dari dulu sampai sekarang ... saya tetap saja seperti ini. Saya kira Ibu-lah yang tampak semakin awet muda dan cantik,” Permadi balas memuji, membuat wajah wanita itu memerah karena malu, “Jangan begitu, Den... Ibu jadi malu, nih. Itu semua berkat doa Aden sehingga kita bisa bertemu lagi dalam keadaan sehat. Sebentar ibu akan menyiapkan jahe hangat, ya ...”

“Terima kasih, Bibi Mar,” ujar Permadi sambil menarik sebuah bangku dan segera duduk sementara wanita yang dipanggil dengan sebutan ‘Ibu Mar,’ itu segera menyibukkan diri membuatkan secangkir jahe manis dan hangat, sementara, Permadi mengamati ke sekeliling ruangan dan pandangannya terhenti pada sebuah patung BUAYA RAKSASA yang digantung di tengah ruangan.

Tak lama kemudian Bu Mar kembali sambil membawa nampan berisi satu buah gelas air jahe yang masih mengepulkan asap tipis. “Nah ini, Den silahkan diminum,” kata wanita itu.

Permadi mengangguk perlahan lalu menyesap air jahe yang baru disajikan oleh tuan rumah, “Ah, segar sekali jahe manis buatan Bu Marwati. Ruangan ini tak berubah, ya, buaya raksasa yang konon telah banyak memangsa hewan ternak dan manusia itu masih terpajang rapi pada dinding sebelah kanan tempat biasa Paman Hiduni duduk sambil membakar tembakaunya,”

“Saya sengaja tidak ingin memindahkan itu ataupun memusnahkan buaya itu, den. Itu adalah satu – satunya peninggalan mendiang Hiduni, suami saya...”

“Saya paham dan mengerti, Bu...” sahut Permadi, “Saya sendiri juga ikut memburu buaya itu sekalipun saya masih terlalu kecil dan belum mengerti apa – apa untuk dihadapkan pada peristiwa pertarungan Paman Hiduni melawan buaya pemangsa manusia itu dan nyaris merenggut nyawanya. Beliau mempertaruhkan nyawa demi keselamatan, ketenangan dan kedamaian penduduk Desa Sembawa ini,”

“Benar, den.... sebelum beliau wafat, beliau sempat menanyakan keadaanmu berulang kali. Saya yang tidak tahu dimana aden tinggal, terpaksa berbohong dengan mengatakan aden mendapat tugas dari ayahandanya untuk mengembangkan usahanya di luarg kota,”

“Oh, begitu ... saya menyesal sekali tidak dapat menemui paman Hiduni di saat – saat terakhirnya,” kata Permadi.

“Jangan merasa bersalah untuk itu, den... itu sudah kehendak Dewata Yang Agung. Penyesalan yang berlebihan, tidak akan mungkin membangkitkan seseorang dari kematian. Lebih baik kita lapangkan dada dan memulai sesuatu yang baru yang berguna untuk kita,” hibur wanita yang dipanggil dengan sebutan ‘Ibu Mar’ itu sambil menepuk – nepuk bahu Permadi, “Aden sudah lama tidak berkunjung ke desa Sembawa ini semenjak menjadi salah satu punggawa di Kerajaan Madangkara. Hari ini datang kemari, pastilah ada urusan yang sangat penting dan mendesak sekali, bukan ?”

“Benar, Bu... Saya mendapat tugas dari Baginda Yang Mulia, Prabu Wanapati untuk mencari dan menyelidiki dalang usaha pembunuhan Sang Prabu,” jelas Permadi.

“Jagat Dewa Batara ...” seru pemilik kedai itu, “Orang tolol dan bodoh darimana dia, hingga berani berbuat senekad itu pada Sang Prabu ?!”

“Yah, seperti itulah manusia jaman sekarang ..., merasa memiliki sedikit ilmu kanuragan saja sudah berani bertindak macam – macam. Oh, ya... Apakah Nasi Liwet, Ikan Pindang Asam, Pelas Tongkol dan Sambal Terasi kesukaan saya, masih ada, Bu ?”

“Hm... itu adalah salah satu menu khas warung MARWATI, den ... mau pesan berapa bungkus ?” tanya wanita bertubuh tambun itu.

“Dua belas bungkus, Bi...” jawab Permadi sambil tersenyum melihat tingkah laku wanita pemilik kios itu.

“Dua belas bungkus, den ? Waduh saya beruntung sekali hari ini, dari tadi pagi, menu tersebut belum ada yang beli. Baiklah, akan segera saya siapkan. Sambalnya dibuat pedas, sedang atau tidak pedas ?” ujar Marwati.

“Pedas, bu...” sahut Permadi sementara dari sudut bibirnya tersungging senyuman tipis dan penuh misteri. Ia disibukkan oleh pikiran – pikiran jahatnya. Jarak Banten Girang dari Sembawa ini sudah tidak terlalu jauh. Dalam hati kecil Permadi, ia tak ingin identitasnya sebagai orang Kuntala diketahui oleh Raden Bentar. Itulah sebabnya, ia memisahkan diri dari rombongan untuk mencari kesempatan mengirim berita kepada Juragan Gurinda. Niatnya adalah untuk mencegah perjalanan Raden Bentar menuju Banten Girang dengan cara apapun. Ia harus mengulur waktu, hingga mendapat kabar dari Juragan Gurinda. Yah, mungkin dengan membuat rombongan itu sakit perut, perjalanan jadi tertunda.

“Den Permadi ...”

Sapaan itu mengejutkan Permadi, ia tampak kikuk sekali, “I... Iya, Bu Mar ada apa ?” tanyanya gugup.

“Lho, kok melamun, den ... saya sudah memanggil aden berkali - kali,”

“Ma ... maafkan saya, Bu... saya teringat masa lalu saat masih kanak – kanak, sering makan nasi liwet buatan bibi. Dulu saya dan teman – teman sering datang kemari, mencuri diam – diam nasi liwet itu dan menyikat habis semuanya. Imbasnya, kami langsung diare karena tak tahan dengan rasa pedasnya. Akan tetapi, setelah terbiasa makan nasi itu, kami tidak lagi diare ... ha ....ha .... ha,” Permadi berdalih.

“Hi ... hi... hi... hi... saya masih mengingatnya, den. Saat aden berhasil saya tangkap, pantat aden jadi sasaran bambu rotan. Kalau teringat itu, saya jadi menyesal sekali. Maafkan saya, den....” kata Bu Marwati sambil menyodorkan pesanan Permadi, “Ini, sudah selesai, den,”

“Terima kasih, Bu...” kata Permadi sambil menerima pesanan itu sementara tangan kanannya menyodorkan beberapa keping uang perak ke Marwati, “Ini, uangnya, Bu... cukup atau kurang ?”

“Ini terlalu banyak, den... ibu kembalikan saja satu keping,” kata Bu Marwati sambil hendak mengembalikan uang perak yang baru diterimanya satu keping, tapi, Permadi menolak.

“Ibu simpan saja kembaliannya hitung – hitung sebagai penebus kesalahan saya dan teman – teman karena telah mencuri dan membuat ibu kesal, marah dan merugi ... Nah, setelah tugas saya selesai, saya akan datang lagi, Bu,” ujar Permadi.

“Terima kasih, den.... Terima kasih ... semoga, Dewata Yang Agung membalas kebaikan aden,” Perempuan itu tak henti – hentinya mengucapkan terima kasih sementara tubuh Permadi sudah tidak kelihatan lagi.

..._____ bersambung _____...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!