Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.
Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?
Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.
Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 24 — Rapat Evaluasi
Pagi itu udara terasa berat di kantor Vibe Media.
Langit di luar jendela masih kelabu, seperti ikut menahan napas untuk sesuatu yang buruk.
Ryan duduk di meja kerjanya, jasnya sedikit kusut, tangan menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin.
Di layar, email singkat dari HR menunggu dibuka:
> “Kepada Ryan Miller,
Mohon kehadirannya pada rapat evaluasi pukul 10.00 di ruang konferensi lantai 15.
Dihadiri oleh: Liam Dawson, Trisha Carter, dan perwakilan HR.”
Ryan mengembuskan napas panjang. “Jam sepuluh, ya? Baiklah.”
Ia menutup laptopnya, lalu menatap bayangannya di kaca jendela.
Sedikit senyum muncul di bibirnya—samar, tapi cukup untuk menutupi gugup yang menggerogoti dadanya.
---
Sementara itu, di kubikel seberang, Emma memperhatikan Ryan diam-diam.
Ia tahu rapat itu pasti sudah diskenariokan.
Dan ia juga tahu, Ryan terlalu keras kepala untuk minta bantuan.
Emma berdiri, pura-pura menata map di meja.
Samantha yang duduk tak jauh darinya menoleh. “Kau kelihatan gelisah. Ada apa?”
Emma berbisik, “Ryan dipanggil rapat evaluasi.”
Samantha melotot. “Oh, tidak. Itu biasanya bukan evaluasi. Itu pembunuhan reputasi.”
“Makanya aku nggak bisa diam.”
Emma menarik napas panjang. “Aku harus cari tahu apa yang mereka rencanakan.”
---
Pukul 10.00 tepat, ruang konferensi terasa seperti ruang sidang.
Liam duduk di ujung meja, jasnya rapi sempurna.
Trisha duduk di sebelah kanan, menatap layar laptop dengan ekspresi puas.
Perwakilan HR, seorang wanita paruh baya bernama Mrs. Jenkins, duduk di tengah, siap mencatat setiap kata.
Ryan masuk dengan langkah tenang, meski napasnya sedikit berat.
“Silakan duduk, Ryan,” ujar Liam datar.
“Terima kasih, Pak.”
Liam menyandarkan punggung. “Kita di sini untuk membahas performamu di proyek New York Style. Trisha sudah menyiapkan laporan singkat.”
Trisha tersenyum kecil, lalu membuka file di layar besar.
“Selama tiga minggu terakhir, Ryan menunjukkan inisiatif yang… fluktuatif,” katanya dengan nada manis yang beracun. “Ada beberapa kesalahan input data, keterlambatan minor dalam revisi desain, dan—”
Ryan memotong pelan, “Desain itu tertahan karena approval dari bagian marketing belum turun. Aku sudah kirim tiga reminder, tapi tidak dibalas.”
Trisha menatapnya seolah baru mendengar alasan paling lucu di dunia.
“Oh tentu, tapi sebagai lead, kau tetap bertanggung jawab atas keterlambatan, kan?”
Ryan menatap layar tanpa menjawab.
Ia tahu, setiap pembelaan hanya akan terdengar seperti alasan.
Liam mengetuk meja pelan. “Kami tidak di sini untuk menghukummu, Ryan. Hanya ingin tahu apakah kau masih fokus pada pekerjaanmu… atau mungkin terganggu hal lain.”
Nada “hal lain” itu meluncur perlahan, tapi sarat makna.
Ryan tahu arah pembicaraan itu.
Dan Emma—yang diam-diam berdiri di luar ruang konferensi, pura-pura membawa tumpukan berkas—juga tahu.
---
Di dalam ruangan, suasana makin menegang.
Trisha menatap Ryan dengan senyum dingin. “Mungkin kamu terlalu sibuk memperhatikan hal-hal di luar tugasmu, ya?”
Ryan menatap balik. “Kalau maksudmu Emma, aku tidak pernah—”
“Emma?” potong Liam, pura-pura terkejut. “Siapa yang bilang tentang Emma?”
Ryan terdiam.
Liam tersenyum samar, seperti seekor kucing yang baru saja menjatuhkan vas bunga dan berpura-pura polos.
“Ryan,” katanya lembut, “kau anak yang pintar. Tapi di dunia profesional, kedekatan pribadi bisa jadi bumerang. Aku hanya tidak ingin kau menghancurkan kariermu karena salah fokus.”
Ryan menatapnya tajam. “Aku nggak salah fokus, Pak. Tapi kalau seseorang berusaha menjebak aku, itu cerita lain.”
“Jebakan?” Trisha menyeringai. “Lucu. Semua laporan dan bukti ada di sini.”
Mrs. Jenkins dari HR menatap keduanya dengan bingung. “Tolong jaga nada bicara kita profesional.”
Liam menyandarkan tubuh, tenang. “Ryan, ini bukan interogasi. Kami hanya ingin memastikan kau masih bisa dipercaya sebagai bagian dari tim inti.”
Ryan mengepalkan tangan di bawah meja.
“Kalau kepercayaan diukur dari fitnah, maka aku sudah kalah sebelum dimulai.”
Liam menatapnya tajam. “Itu pilihan kata yang berani.”
“Yang benar tetap benar,” jawab Ryan pelan, tapi tegas.
Suasana membeku.
---
Sementara itu, di luar ruangan, Emma menahan napas.
Ia mendengar potongan percakapan dari balik celah pintu.
Setiap kata dari Liam seperti belati yang diarahkan ke Ryan.
Dan ia tahu, jika dibiarkan, rapat ini bisa jadi akhir bagi karier Ryan.
Ia menatap ke kanan—lorong menuju ruang arsip.
Lalu ide gila muncul di kepalanya.
“Baiklah, kalau mereka main kotor, aku juga bisa.”
Emma berlari kecil ke ruang arsip, membuka laptopnya sendiri, dan menyambungkan kabel ke jaringan internal Vibe Media.
Ia mencari folder proyek New York Style.
Beberapa klik cepat—dan ia menemukan file yang Trisha gunakan sebagai “bukti kesalahan” Ryan.
Dan di dalamnya, timestamp-nya tidak sesuai.
Beberapa baris data baru saja diubah kemarin malam.
Emma menutup mulutnya, ngeri.
“Trisha memanipulasi datanya…”
Ia mengambil tangkapan layar, mencatat tanggal dan jam modifikasi file.
Lalu menarik napas panjang.
“Baiklah, Dawson. Permainan dimulai.”
---
Kembali ke ruang rapat, Liam berdiri, hendak menutup pertemuan.
“Baik, saya rasa cukup. Kami akan memutuskan langkah berikutnya berdasarkan laporan Trisha dan catatan HR.”
Ryan berdiri pelan. “Apa pun keputusanmu, Pak, aku akan tetap kerja dengan jujur. Karena pada akhirnya, hasil nggak bisa dimanipulasi.”
Liam menatapnya datar. “Kau terlalu percaya pada keadilan, Ryan. Dunia kerja tidak seideal itu.”
Pintu terbuka.
Semua menoleh.
Emma masuk—wajahnya tegang tapi matanya menyala.
“Maaf, saya harus menyela.”
Liam berkerut. “Emma, ini rapat tertutup.”
“Ya, tapi saya punya bukti bahwa data laporan Trisha sudah diubah semalam. Dengan izin, saya pikir HR perlu melihat ini.”
Trisha membeku. “Apa?!”
Emma menyalakan tablet dan memperlihatkan tangkapan layar.
“Timestamp-nya jelas. Ada perubahan manual di file project_data_final.xlsx pukul 22.37 tadi malam.”
Mrs. Jenkins dari HR langsung maju. “Boleh saya lihat?”
Liam menatap Emma tajam, tapi Emma tidak bergeming.
Trisha berusaha tertawa. “Itu… mungkin glitch sistem.”
“Tentu,” jawab Emma datar. “Tapi kenapa glitch-nya cuma muncul di kolom performa Ryan?”
Ruangan hening.
Liam menyipitkan mata. “Kau bermain berbahaya, Emma.”
Emma menatapnya lurus. “Bukan saya yang mulai.”
---
Setelah rapat bubar, Ryan menyusul Emma ke koridor.
“Em, apa yang kamu lakukan barusan gila.”
Emma menatapnya, senyum kecil muncul di wajahnya. “Gila, tapi berhasil.”
Ryan tertawa pelan, menatapnya dengan rasa kagum yang tulus. “Kamu baru aja nyelametin karierku.”
Emma mengangkat bahu. “Kamu udah cukup banyak nyelametin aku dari masalah. Sekarang giliranku.”
Ryan mendekat sedikit, menatap mata Emma dalam. “Kamu sadar Liam nggak bakal diam, kan?”
Emma tersenyum samar. “Aku tahu. Tapi untuk pertama kalinya, aku nggak mau diam juga.”
Dan di balik kaca besar ruang rapat, Liam berdiri menatap mereka berdua dengan ekspresi dingin — namun di matanya, ada sesuatu yang lain: rasa terancam.
> “Baiklah, Emma,” gumamnya pelan. “Kalau itu perang yang kau mau… kita mulai.”