Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Bahagia Justru Menjadi Bencana
Balutan gaun pengantin putih gading terasa dingin di kulit Mulia Anggraeni. Hari ini, ia akan menikah dengan Ikhsan. Di tengah semua penderitaan dan kehilangan, hari ini seharusnya menjadi awal yang baru. Ia berdiri di belakang pintu ballroom mewah, jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena gugup, tapi karena bayangan wajah Bu Hanim yang selalu menghantuinya.
Di hadapannya, Ikhsan terlihat gagah dalam setelan jas putih, menunggunya di depan meja akad. Senyum Ikhsan penuh janji, penuh harapan. Di barisan tamu, Kartika terlihat anggun, matanya berkaca-kaca bahagia. Mereka semua siap untuk menyaksikan sumpah suci.
Penghulu sudah membuka suara, memulai rangkaian ijab kabul. Mulia menarik napas dalam-dalam. "Aku siap," bisiknya pada wedding organizer di sampingnya.
Tepat ketika Ikhsan hendak mengucap kalimat pertamanya—
DOR!
Satu suara tembakan yang keras, memekakkan telinga, mengguncang seluruh gedung. Suara itu berasal dari area lobi, nyaring dan menakutkan, memecah keheningan sakral aula pernikahan.
Para tamu undangan, yang tadinya duduk rapi, langsung panik bukan main. Mereka berteriak histeris, bangkit dari kursi, dan berlarian mencari perlindungan. Suasana berubah dalam sekejap dari khidmat menjadi kekacauan brutal.
"Tiarap! Semuanya tiarap!" teriak salah satu petugas keamanan Ikhsan.
Ikhsan, dengan refleks cepat, langsung menoleh ke belakang. Matanya mencari Mulia. Ia melihat Mulia berdiri mematung di ambang pintu, wajahnya pucat pasi, matanya memancarkan rasa shock yang mendalam.
DOR! DOR! DOR!
Rentetan tembakan kembali membahana suaranya di koridor gedung. Suaranya memantul, menciptakan gema menakutkan yang membuat kepanikan semakin menjadi-jadi. Teriakan histeris dan suara langkah kaki yang berlarian bercampur baur.
"Mulia!" teriak Ikhsan. Ia melompat dari kursinya, mengabaikan protes dari Penghulu dan tim legal.
Kartika langsung merunduk di bawah meja, wajahnya tegang. Ia melihat kekacauan itu dengan mata kepala sendiri. "Ya Tuhan, Hanim!" bisiknya penuh ketakutan.
Ikhsan berlari menuju Mulia. Tepat saat ia meraih tangan Mulia, seorang satpam di dekat pintu masuk ballroom roboh. Darah segar seketika mengalir membasahi karpet merah. Seorang tamu undangan wanita yang mencoba lari juga menjerit kesakitan, kakinya tertembak.
****
Mulia melihat semua itu. Ia melihat darah, ia mendengar suara tembakan yang mematikan. Ingatannya langsung melayang pada detik-detik kematian ibunya. Ia merasakan trauma yang sangat hebat.
"Ikhsan... ini mereka. Ini Bu Hanim," bisik Mulia, tubuhnya gemetar hebat. Ia tidak menangis, tapi matanya kosong, dipenuhi kengerian.
Ikhsan menarik Mulia dengan kuat. "Kita harus pergi, Lia! Sekarang!"
"Tidak! Tamu-tamu!" Mulia mencoba melawan, tapi Ikhsan lebih kuat.
"Tim keamanan sudah mengurusnya! Kita harus selamat dulu!" Ikhsan menarik Mulia ke area panggung yang tersembunyi di balik tirai backdrop besar.
Mereka berdua merangkak masuk ke ruang utilitas di balik panggung. Bau debu dan kain tua menusuk hidung. Mulia terengah-engah, tubuhnya bersandar pada dinding yang dingin.
"Mulia, kamu harus tenang," Ikhsan memegang kedua bahu Mulia. "Mereka tidak akan menemukan kita di sini."
DOR! DOR! Suara tembakan terdengar lebih dekat, seolah pelaku kini memasuki ballroom utama.
Mulia menutup telinganya, tubuhnya bergetar tak terkendali. "Aku tidak mau, Ikhsan! Aku tidak mau ada lagi yang mati! Ini salahku! Semua ini salahku!"
"Bukan salahmu, Lia! Dengarkan aku!" Ikhsan mengguncang bahunya dengan lembut. "Ini adalah ulah Bu Hanim. Dia melakukan ini karena dia pengecut! Dia tidak mau melihat kita bahagia!"
"Kenapa? Kenapa dia harus sejahat ini, Ikhsan?" Mulia akhirnya menangis, air matanya membasahi pipi. "Dia sudah mengambil ibuku! Sekarang dia mau mengambilmu juga!"
"Dia tidak akan mengambil siapa pun, Lia. Aku janji," kata Ikhsan, memeluk Mulia erat. Ia merasakan tubuh Mulia yang dingin dan bergetar di pelukannya. Ia menoleh ke lubang kecil di dinding. Ia melihat bayangan dua orang berpakaian serba hitam, bersenjata, melangkah masuk ke dalam aula, mencari-cari.
"Mereka mencari kita," bisik Ikhsan. Ia menarik Mulia ke sudut paling tersembunyi.
****
Rentetan tembakan telah berhenti. Sebelum sirene polisi terdengar memecah kekacauan, orang-orang suruhan Bu Hanim sudah melarikan diri, menghilang dalam kekalutan dan kepanikan para tamu. Mereka meninggalkan jejak darah, air mata, dan gaun pengantin yang basah kuyup oleh ketakutan.
Di sudut tersembunyi ruang utilitas, Mulia masih gemetar dalam pelukan Ikhsan. Mereka selamat, tetapi pernikahan itu telah hancur total.
"Ikhsan... kita... kita gagal," bisik Mulia, suaranya dipenuhi keputusasaan.
"Kita tidak gagal, Mulia. Kita selamat," jawab Ikhsan, suaranya tegas meski ia menahan sakit di bahunya. "Pernikahan bisa kita ulang, tapi nyawa tidak."
Jauh dari gedung pernikahan yang kini disterilkan polisi, di kediaman mewahnya yang dijaga ketat, Bu Hanim duduk di sofa, menonton rekaman video yang dikirimkan orang suruhannya. Video itu menunjukkan ballroom yang berantakan, kursi-kursi terbalik, bunga-bunga berserakan, dan tangisan histeris para tamu.
Senyum puas merekah di wajah Bu Hanim. Senyum itu perlahan berubah menjadi tawa membahana, tawa yang kering, parau, dan sangat mengerikan—tawa kegilaan.
"Lihat, Dinda! Lihat!" seru Bu Hanim, matanya liar. "Wanita itu tidak jadi menikah! Hari paling bahagianya hancur! Aku menang!"
Dinda, yang duduk di seberangnya, menatap ibunya dengan takut. "Mama... ini gila. Ada orang yang tertembak. Polisi akan menangkap kita."
"Polisi? Mereka tidak akan menemukan apa-apa!" Bu Hanim membantah. "Mereka hanya melihat kekacauan. Tidak ada yang melihat wajahku. Dan mereka hanya melihat kekasih Ikhsan, si Mulia, yang trauma!"
Bu Hanim mengambil segelas wine mahal dan meneguknya cepat. Pikirannya sudah lama kehilangan akal sehat. Baginya, dendam adalah satu-satunya tujuan hidup. Kebahagiaan Mulia adalah racun yang harus ia musnahkan.
"Aku akan terus menerornya, Dinda. Aku akan pastikan dia tidak akan pernah bisa tidur nyenyak. Aku akan membuat hidupnya menjadi neraka," janji Bu Hanim. "Dia mengambil segalanya dariku: Suamiku, nama baikku, dan kebahagiaan anakku. Sekarang aku akan mengambil kebahagiaannya, satu per satu, sampai dia memohon untuk mati!"
****
Keesokan harinya, Bu Hanim mengambil langkah yang menunjukkan betapa gelap dan kejamnya jiwanya. Ia tidak hanya terobsesi pada Mulia, ia juga ingin membersihkan sumber utama dari penghinaan yang ia terima: perselingkuhan Pak Wibowo.
Wanita muda, selingkuhan Pak Wibowo yang terekam di hotel dan menjadi berita viral, kini menjadi target barunya. Bu Hanim melacak wanita itu—sebut saja Siska—ke sebuah apartemen sederhana.
Bu Hanim tiba di apartemen Siska, berpakaian serba hitam dan mengenakan sarung tangan. Ia tidak ditemani siapa pun. Ia ingin melakukan ini sendirian, merasakan setiap detik pembalasan dendamnya.
"Siapa Anda?" tanya Siska, terkejut melihat sosok Bu Hanim di depan pintunya.
"Aku? Aku adalah istri dari pria yang kau goda," jawab Bu Hanim, suaranya tenang namun dingin menusuk.
Siska langsung panik. "Tolong, Bu! Itu bukan salah saya! Dia yang merayu saya!"
"Semua wanita murahan selalu punya alasan yang sama," cibir Bu Hanim. "Kau menghancurkan rumah tanggaku. Kau membuatku malu di depan seluruh negeri. Kau pikir aku akan membiarkanmu hidup bahagia dengan uang suamiku?"
Siska mencoba lari, tapi Bu Hanim lebih cepat. Ia mendorong Siska ke dalam apartemen, mengunci pintu, dan menampar Siska dengan keras.
"Kau merampas kehormatanku! Kau membuat aku terlihat bodoh!" teriak Bu Hanim, amarahnya meledak.
Siska menangis dan memohon ampun, tapi Bu Hanim sudah tidak punya hati nurani. Dalam aksi brutal yang dipenuhi kegilaan, Bu Hanim menghabisi nyawa Siska tanpa ampun. Ia melakukan itu dengan tangan kosong, seolah Siska adalah hama yang harus dimusnahkan.
Setelah semuanya selesai, Bu Hanim membersihkan tangannya dengan tisu basah. Ia menatap tubuh Siska yang tak bernyawa tanpa sedikit pun rasa menyesal atau bersalah. Wajahnya hanya menampilkan kekosongan dan kepuasan dingin.
"Selesai," bisik Bu Hanim. "Satu masalah lagi beres."