"Jangan, Mas! aku sudah bersuami."
"Suami macam apa yang kamu pertahankan itu? suami yang selalu menyakitimu, hem?"
"Itu bukan urusanmu, Mas."
"Akan menjadi urusanku, karena kamu milikku."
"akh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N_dafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
*
“Sialan! Ajeng udah berani main-main sama gue.”
Rendy mencak-mencak di rumahnya karena sampai hari berganti, Ajeng tak kunjung pulang juga.
“Bukan main-main, Bos. Tapi, dia lagi ngambek.”
Rendy menarik nafasnya dalam-dalam, guna menetralisir rasa gundahnya.
“Gue harus gimana, Don? Gue bener-bener nggak mau cerai sama Ajeng.”
“Coba cari di rumah orang tuanya, Bos.” usul Doni.
“Kalau nggak ada juga, gue bisa malu sama orang tuanya. Belum lagi kalau ditanya macam-macam. Mana ibunya Ajeng itu kan udah sensi banget sama gue sejak gue mau nikahin Brina.”
“Kalau begitu, maunya bos gimana? Monik aja juga nggak tahu Ajeng dimana.”
“Apa gue benar-benar udah keterlaluan ya, Don? Perasaan, gue biasa aja sama dia. Gue tetap anggap dia sebagai istri gue kayak biasanya.”
“Tapi, tidak dengan perhatian, Bos. Bos benar-benar pilih kasih. Mulai sekarang, kayaknya Bos harus siap memilih antara Ajeng atau Sabrina.”
“Kenapa begitu? Ini masih bisa dibicarakan, Don.”
“Saya nggak yakin bisa, Bos. Bos ini kayak nggak tahu gimana perempuan aja. Sabrina akan selalu mengambil waktu Bos Rendy, sementara Ajeng tidak suka kalau Bos selalu mementingkan Brina. Tapi, kalau Bos lebih mementingkan Ajeng, pasti hidup Bos kacau sekali "
“Mas! Mas Rendy!”
Tiba-tiba, seseorang berlari panik ke arah Rendy. Secara otomatis, Rendy dan Doni berhenti membahas Ajeng.
“Ada apa?” Tanya Rendy yang ikut panik karena gadis muda itu juga panik.
Ya, dialah Monik, gadis yang selalu bersama istrinya.
“Saya tahu Mbak Ajeng dimana, Mas. Barusan, dia hubungin saya.”
“Kamu serius?” Rendy memastikan.
Monik pun mengangguk tanpa ragu.
“Coba lihat!”
Gadis itu menunjukkan ponselnya kepada Rendy.
“Dia pakai nomor baru?”
“Iya, Mas. Katanya biar nggak ketahuan sama Mas Rendy.”
Rendy mengangkat satu alisnya. “Kamu kan orang terdekat Ajeng disini, kenapa kamu beritahu saya?”
Monik sedikit gelagapan ditanya seperti itu. “Saya... Saya cuma kasihan sama Mbak Ajeng, Mas. Kalau nggak sama Mas Rendy, nanti Mbak Ajeng sama siapa.”
Rendy mengangguk mengerti.
“Ya sudah, berikan nomornya ke saya! Saya akan cari dia secepatnya.”
Monik menurut. Dia memberikan nomor itu kepada Rendy yang kemudian digunakan lelaki itu untuk melacak istrinya melalui seseorang yang sudah dia percaya.
“Jadi, dia bersembunyi di hotel, Don?”
Doni mengangkat bahunya. “Mungkin, Bos.”
“Kalau begitu, kita kesana sekarang.”
Doni tak membantah. Meskipun pikirannya tak selalu sejalan dengan Rendy, tapi lelaki itu selalu menuruti perintah bosnya.
Tak butuh waktu lama, Rendy sudah sampai di hotel tempat nomor telepon Ajeng terdeteksi.
Dengan sangat tak sabar, dia lantas mengetuk pintu hotel, hingga seseorang di dalam sana cepat membukanya juga.
Namun, saat Ajeng tahu jika dirinya lah yang datang, wanita itu langsung buru-buru menutup pintu lagi.
Sayangnya, sebelum Ajeng benar-benar menutup pintu, suaminya itu sudah lebih dulu menahannya.
“Kita bicara dulu, Dek. Kasih Mas kesempatan.” Rendy langsung mengiba.
“Nggak mau. Siapa yang kasih tahu aku disini? Monik? Tapi, aku nggak kasih tahu Monik kalau aku disini.”
Saat pura-pura kesal, Ajeng tersenyum sinis di dalam hatinya. Dia sengaja mengkambing hitamkan Monik, yang sebenarnya sedang bekerja sama dengannya.
Ya, Ajeng yang menyuruh Monik memberi tahu Rendy, agar sandiwaranya terkesan natural. Sengaja, Ajeng harus seperti ini supaya rencananya berjalan mulus.
“Sudahlah, nggak perlu bahas itu. Kita bicarakan yang penting saja tentang hubungan kita.”
“Sudah ku bilang, aku mau cerai sama kamu.”
“Jangan kayak gitu, Dek. Kita bisa bicarakan baik-baik.”
“Nggak mau. Nanti kamu kurung aku lagi.”
“Maafin Mas. Mas janji nggak akan kayak gitu lagi.”
“Aku nggak percaya.”
“Terus, gimana biar kamu percaya?” Rendy terlihat frustasi.
“Kita bikin perjanjian dulu.”
Lelaki itu menghela nafas panjang. “Baiklah, perjanjian apa?”
“Perjanjian kalau kamu nggak akan ngurung aku lagi dan akan berusaha adil sama dua istrimu. Kalau kamu ingkar, aku akan laporin kamu atas tuduhan wanprestasi.”
“Kenapa harus seperti itu segala?”
“Kalau nggak mau ya udah, aku akan gugat cerai kamu aja.”
Dengan berat hati, Rendy menarik nafasnya dalam-dalam. “Baiklah… mana perjanjiannya?”
“Aku belum bikin. Sementara, kasih aku waktu disini dulu sampai aku bikin surat perjanjiannya.”
“Nanti kamu kabur lagi.”
“Kamu bisa awasin aku.”
“Oke.”
Dengan mudahnya, Rendy menyetujui. Karena lelaki itu tak sabar, dia mendesak Ajeng menyelesaikan surat perjanjiannya sore ini juga.
“Oke, deal!” Ajeng menjabat tangan Rendy. “Kalau seperti ini, aku akan tenang.”
Rendy tersenyum puas meskipun sedikit was-was. Sebenarnya, perjanjian itu adalah perkara mudah. Namun, karena dia masih sulit mengontrol Sabrina, Rendy cukup cemas akan kewalahan mengatur dua-duanya.
Namun meskipun begitu, dia sudah lebih tenang karena istrinya kembali lagi.
“Ya udah, kita pulang ya… kelamaan di hotel, duitmu habis nanti.”
“Hem…” Ajeng terlihat tak suka dan terpaksa.
Tapi, di balik sikap yang dia tunjukkan, Ajeng menyimpan sisi yang lainnya lagi, yang tak pernah diduga oleh Rendy.
‘Dasar bodoh!’