NovelToon NovelToon
Jati Pengantin Keramat

Jati Pengantin Keramat

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Tumbal
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Septi.sari

Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.

Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.

"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"

Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.

Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.

2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.

Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jati Keramat 11

Disana, tepatnya di ruangan yang sangat luas. Pak Woyo sedang sibuk mengurut kaki Ibunya-Eyang Wuluh. Sementara Bu Asih, dia kini sibuk dengan meja jahitnya. Wanita setengah baya itu tampak menjahit sebuah busana.

"Pak, Mas Mukti hilang!" Pekik Nanda.

Pak Woyo reflek menghentikan pijatannya, ia mantap sang Ibu sekilas lalu kini bangkit dari duduknya. Wajah Pak Woyo sedikit tersentak.

"Bu ... Aku mau ikut keluar sebentar! Ibu di rumah sama Asih." Pandangan Pak Woyo menoleh ke belakang, "Asih ... Saya mau keluar! Titip Ibu!" Ucapnya acuh.

Dan bukan hal pertama lagi dalam pandangan Nanda saat ini. Untuk sebab itu Nanda memutuskan tinggal di Kota, agar tidak hal menyedihkan setiap harinya.

Setelah Ayah dan Anak itu pergi, kini ruangan besar itu mendadak hening. Bu Asih sejak tadi terus saja menekan kakinya, berharap jahitannya malam itu akan selesai juga.

"Asiiiihhhh ...."

"Asiiihhhh ...."

Bulu kudu leher Bu Asih meremang, seakan suara lirihan itu tepat ada dibelakang tubuhnya.

Gluk!!!

Bu Asih menelan ludahnya dengan susah payah. Keringatnya mengucur, hingga membuat detakan jantungnya berpacu lebih cepat. Hingga ...

PRANG!

Reflek saja Bu Asih langsung menoleh. Dan rupanya, Eyang Wuluh yang baru saja akan turun, kakinya tanpa sengaja menendang asbak stainlees, hingga menimbulkan suara yang menggema kuat.

"Ibu tidak apa-apa?" Bu Asih baru saja mengakhiri jahitannya. Kini ia bangkit, berjalan pelan kearah tempat mertuanya.

Eyang Wuluh tak menjawab. Iya langsung berlalu masuk ruangan samping, berjalan menggunakan tongkat menuju kamarnya.

Bu Asih kini menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kayu besar beralaskan bantalan empuk. "Ya Allah Gusti! Sudah 30 tahun lebih aku tinggal di rumah ini. Tapi kenapa hawanya kerasa banget mistisnya."

Melihat jahitan bajunya belum terselesaikan, Bu Asih kini bangkit lagi, berjalan ke arah meja jahitnya untuk melanjutkan.

***

Hingga pukul 12 malam pun Mukti belum di temukan. Semua warga desa, bahkan sampai Kades pun ikut turun tangan, namun hasilnya nihil.

"Sepertinya pencarian ini sudah cukup sampai disini! Besok saya akan panggilkan tim sar untuk menyelusuri sungai. Kalian boleh kembali ke rumah masing-masing!" Jabar Pak Woyo menengahi.

Semua orang yang sudah berkumpul di balai desa, kini langsung kembali pulang, karena memang sudah pada lelah dan ngantuk.

Sementara Bu Niken, ia terus saja terisak, berjalan pulang di dampingi sang putri-Nita.

Nita dan Niken harus melewati jembatan kayu, karena rumahnya ada di utara desa. Entah hilang kemana Mukti saat ini.

Mereka berdua tidak sendiri. Ada beberapa orang juga yang melewati jembatan kayu itu. Dan sama seperti biasa. Hawanya sunyi, karena memang tengah malam hari.

Nita berhenti. Kedua tanganya terlepas dari rengkuhan bahu sang Ibu. Semua tetangganya juga terkejut dengan sikap gadis itu.

"Bapakkkkk ... Pulanglahhhh ....!!!"

Kedua tangan Nita meneropong suaranya, hingga membuat suasana malam itu semakin terasa menyayat. Suara Nita terbawa angin, tersesak seok di udara, dan tak jelas kemana hinggapnya.

Air matanya luruh. Ia tidak dapat membayangkan, bagaimana hari-harinya tanpa sang Ayah. Mukti adalah sosok figuran Ayah yang sangat menyayangi putrinya. Semasa sekolahnya dulu, Nita selalu di antarkan sang Ayah dengan sepeda butut itu. Mukti rela mencari kayu di hutan, demi membelikan seragam buat sekolahnya dulu. Dan yang membuat luka itu membekas, Mukti tidak pernah makan saat diberi jatah makan mandornya, dan lebih membawanya pulang.

Perekonomian keluarga Nita saat dulu tidak begitu baik. Bu Niken bahkan selalu merebus singkong untuk sarapan pagi keluarganya.

Dadanya bak terkoyak kuat, hingga tangisanya semakin dalam.

"Sudah, Ta! Aku yakin, Mas Mukti pasti akan di temukan! Kita berdoa saja!" Sahut Anton adik Bu Niken.

Ekor mata Nita seakan tidak ingin melepaskan aliran jernih sungai itu. Suara aliran itu tampak tenang, karena memang air tidak sebanyak bulan lalu.

Sementara di kediaman Pak Joko. Pria itu kini malah bersembunyi di pojok kamar, memeluk lututnya dengan keringat yang sudah membasahi tubuh coklatnya. Tatapan mata Pak Joko kosong, hingga hanya rintihan mulutnya yang keluar.

Heeeee ....!!

Aini yang tadi di minta untuk menjaga Ayahnya, kini gadis kecil itu duduk di luar sendirian sambil menunggu kedatangan sang Ibu dan Kakak.

"Jangan ... Jangan ganggu saya!!!" Pekik Pak Joko dari dalam kamarnya.

Aini sudah bangkit, kala melihat Ibunya dan sang Kaka berjalan ke rumah. Melihat wajah si bungsu itu ketakutan, Bu Siti langsung segera mendekat.

"Bu ... Bapak, Bu!" Suara Aini masih bergetar menahan ketakutan.

"Bapak kenapa, Ni?" Sela Gendhis mengedarkan pandanganya ke dalam.

Perasaan Bu Siti sudah tidak enak. Ia langsung masuk kedalam dan di ikuti kedua putrinya.

Srettt!

Korden kuno itu tersingkap, dan betapa terkejutnya Bu Siti saat melihat suaminya sudah meringkuk tidur di tanah. Sambil ... Tertawa sendiri.

"Ya Allah Bapak! Bapak kenapa bisa sampai tidur di tanah gini? Ayo bangun, Pak!" Pekik Bu Siti merasa frustasi.

Gendhis mendengar suara teriakan Ibunya. Ia dengan cepat masuk, dan membuka korden kamar Ayahnya. Wajah Gendhis tampak shock, hingga sorot matanya terlihat kuat. "Ya Allah Bu ... Bapak kenapa bisa seperti itu?" Gendhis kini ikut bersimpuh untuk menyadarkan kembali pikiran Ayahnya.

Puas tertawa cekikikan, Pak Joko di bantu Istrinya untuk bangkit. Ia saat ini di tidurkan kembali di atas ranjang kunonya itu. Namun setelah tertawa, Pak Joko kini malah meringsut ketakutan.

"Pergi, jangan mendekat! Saya tidak tahu apa-apan!" Pak Joko menangis terisak, bahkan sampai berteriak.

"Pak ... Sadar! Sebut Gusti Allah, Pak! Istiqfar! Memangnya Bapak melihat siapa?" Bu Siti yang tak sampai hati juga ikut menangis. Badan serta batinnya sudah lelah semenjak 1 minggu ini.

"Ada dua sosok pengantin! Tapi wajahnya nggak terlihat," lirih Pak Joko sambil memejamkan mata.

Gendhis mencoba menyadarkan sang Ayah. Ia kini menuangkan air dalam gelas, lalu segera diberikan kepada Ayahnya. "Bapak minum dulu biar tenang! Cepet di minum, Pak!"

Dengan tangan gemetar kuat, Pak Joko menerima air itu. Bahkan air tadi sampai terjatuh membasahi seprei, saking gemetarnya tubuh. Namun setelah itu Pak Joko langsung menenggak air tadi sampai tatas.

"Sudah, sekarang Bapak tidur lagi ya! Ibu temenin. Ayo tidur lagi!" Bu Siti merebahkan tubuh Suaminya. "Ndis ... Kamu mending cepetan ajak Aini tidur. Dan jangan lupa kunci semua pintunya!"

Gendhis mengangguk, setelah itu ia segera melenggang keluar.

Di dalam kamarnya. Ranjang yang tidak begitu luas, namun harus terbagi dengan sang adik juga. Gendhis pandang Aini, rupanya gadis kecil itu sudah terlelap.

Perlahan, Gendhis juga merebahkan tubuh lelahnya. Pikiranya terbang jauh, mengingat tentang sosok dua pengantin tanpa wajah itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa sosok itu menghantui Ayahnya sampai sebegitu kuatnya.

Suara dentingan jam diantara sunyinya malam, kini menemani malam lelah Gendhis. 'Apa aku tanyakan pada Mbah Narti ya? Dia pasti tahu sejarah tanah keramat itu. Tapi besok aku bekerja! Ah, kalau pulang kerja aku mampir kesana.'

Setelah itu barulah Gendhis terlelap.

***

1
Lucas
seru banget lo ceritanya
Septi.sari: Kak terimaaksih🙏❤❤
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!